Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Batman V Superman: Dawn Of Justice


“We know better now, don't we? Devils don't come from hell beneath us. They come from the sky.” 

Siapa kuasa menolak pesona yang ditawarkan oleh Batman v Superman: Dawn of Justice? Dua huruf komik paling dikenal di semesta ini dipertemukan, disandingkan, kemudian dipertarungkan dalam satu film – plus ditambah pula kehadiran Wonder Woman di tengah-tengah mereka – ialah semacam mimpi lembap bagi semua penggila komik (maupun penikmat film superhero) dimanapun mereka berada. Tidak peduli seberapa sering DC melaksanakan kesalahan abad menginterpretasikan ulang karya-karya mereka ke medium film, antisipasi khalayak ramai terhadap kemunculan Batman v Superman akan tetap tinggi. Kapan lagi coba memperoleh kesempatan menjadi saksi mata tabrak kekuatan antara Ksatria Malam dengan Manusia Baja di layar lebar? Kapan lagi coba mampu memperoleh kesempatan menjawab pertanyaan #WhoWillWin yang diajukan di sosial media untuk pertempuran dua superhero ini? Kesempatan semacam ini mungkin tidak akan datang dua kali. Mungkin. Masalahnya kemudian yaitu dengan hype membumbung tinggi ke angkasa mengingat judul bombastisnya sendiri mengisyaratkan akan lahirnya pertempuran terdahsyat sepanjang sejarah umat manusia, Batman v Superman sayangnya tidak pernah benar-benar memenuhi potensinya. Tiada keistimewaan berlebih yang mampu penonton peroleh dari film ini selain pertemuan Batman, Superman, dan Wonder Woman. 

Melanjutkan apa yang berakhir sempurna di penghujung Man of Steel, permulaan Batman v Superman mengekspos kekacauan asing-gilaan yang menimpa Metropolis hasil dari pertarungan sengit Superman (Henry Cavill) melawan General Zod (Michael Shannon). Turut terseret sebagai korban – kantor hancur sementara beberapa pegawainya meregang nyawa – Bruce Wayne (Ben Affleck) mengamini kecaman masyarakat yang menganggap Superman sebagai bahaya besar bagi bumi. Memperoleh semacam penglihatan mengenai periode depan melalui mimpi-mimpinya, Bruce bertekad untuk menghentikan aksi Superman sebelum daerah tinggal mereka hancur awut-awutan. Dibantu oleh pelayan setianya, Alfred (Jeremy Irons), Bruce mempersiapkan dirinya sebagai Batman untuk menghadapi Superman yang jelas-terang secara kekuatan bukanlah bandingannya. Di saat bersamaan, terungkap pula bahwa Bruce ternyata bukan satu-satunya yang bernafsu menaklukkan si Manusia Baja alasannya seorang ilmuwan kaya raya berjulukan Lex Luthor (Jesse Eisenberg) memiliki niatan serupa. Bahkan, Lex telah melangkah sedikit lebih jauh dibandingkan Bruce dengan mengakuisisi Kryptonite. Perseteruan antara tiga pihak inilah yang lantas melandasi terciptanya pertempuran paling akbar sepanjang sejarah... atau setidaknya begitulah keinginan Lex Luthor (maupun si pembuat film, tentu saja). 

Kesabaran adalah kunci terpenting untuk bisa menikmati Batman v Superman: Dawn of Justice. Jangan berharap setidaknya separuh dari durasi film yang merentang sampai 150 menit bakal diisi momen-momen genting penahan nafas sebagai bekal menuju pertarungan puncak Batman dan Superman sebab Zack Snyder lebih memilih untuk berjalan kalem. Kelewat santai, malah. Sepanjang dua pertiga pertama, film memang mengalun begitu perlahan hampir tanpa ada sengatan berarti untuk membuat penonton ketagihan dalam mendambakan menit-menit berikutnya. Niatan Chris Terrio dan David S. Goyer selaku peracik skrip bahwasanya baik, memperlihatkan fondasi kisah berwujud motif atas munculnya rivalitas dua hero ini sehingga penonton bisa terhubung (atau memahami) tabrakan-gesekan diantara mereka. Hanya saja, ketimbang fokus terhadap perkembangan huruf Bruce Wayne, Clark Kent – sosok di balik kostum Superman, atau Lex Luthor, si pembuat film justru meracau kemana-mana dengan memasukkan subplot ini itu, abjad pendukung ini itu, yang dominan tidak mempunyai relevansi berpengaruh pada film secara keseluruhan kecuali berdalih bahwa kesemuanya ini merupakan penghubung ke film-film berikutnya. Selain berimbas ke laju film yang lambatnya bolehlah ditandingkan dengan Flash dari Zootopia (bukan huruf milik DC!), kedalaman cerita maupun huruf gagal terengkuh sampai-hingga mencurigai gelombang amarah Batman kepada Superman, “apa perlu sebegitunya?." Lalu, "bukankah kesalahpahaman ini seharusnya bisa untuk tidak dibiarkan berlarut-larut?."

Apabila sedari awal Batman v Superman: Dawn of Justice ditujukan sebagai film hura-hura belaka, kekacauan naskah yang memiliki muatan berlebih dari seharusnya ini tentu bukan masalah krusial. Namun Batman v Superman sama sekali tidak ditujukan demikian. Dari banyaknya waktu menggali sisi personal Bruce Wayne maupun Clark Kent – termasuk menghadiahi Clark bertubi dilema – kita jelas mengetahui si pembuat film bermaksud menghadirkan Batman v Superman lebih dari sekadar popcorn movies (sekalipun ini murni begitu, hampir tidak ada sisi fun). Adanya ambisi besar untuk sesegera mungkin membentuk jalan bagi DC Extended Universe merupakan salah satu penyebab tidak mulusnya skrip dalam bercerita. Kemunculan singkat beberapa anggota Justice League – mirip Flash, Cyborg, dan Aquaman – terasa janggal pula dipaksakan, bahkan begitu pula dengan Wonder Woman dan Batman. Siap-siap untuk agree to disagree alasannya saya sangat ingin tau, selain untuk jualan dan tentunya penjembatan ke film-film penyesuaian komik DC berikutnya, apa sih signifikansi eksistensi Batman dan Wonder Woman disini? Seandainya sosoknya dihilangkan dari plot utama, apakah akan memiliki dampak masif terhadap pergerakan cerita? Kok rasa-rasanya tidak akan berpengaruh besar ya? Karena pada risikonya ini ialah mengenai Superman melawan Lex Luthor, bukan Superman melawan Batman (tanpa harus membocorkannya, kamu sudah mendapatinya lewat trailer). Lalu, terkait Lex Luthor, apa alasan yang mendasari kebencian sedemikian besar kepada Superman? Dan apa pula bisnis yang sebetulnya dijalankannya? 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak pernah memperoleh paparan balasan yang memuaskan. Malah sebenarnya ada pula pertanyaan lain yang sebaiknya tidak aku kemukakan demi menghindari spoiler. Kebingungan dan kelelahan yakni sahabat setia yang menemani selama 100 menit awal menyaksikan Batman v Superman. Yang kemudian menyelamatkan film sehingga kantuk masih kesulitan menyergap yaitu barisan pemain kelas A-nya mempertontonkan parade akting mumpuni. Memang kurang maksimal lantaran terbentur perkembangan karakter, namun Jeremy Irons, Holly Hunter (sebagai Senator June Finch), Laurence Fishburne (atasan Lois dan Clark), Amy Adams (Lois), Jesse Eisenberg, Henry Cavill, bahkan Ben Affleck sekalipun yang semula penunjukkannya disikapi skeptis, tetap menawarkan tanggung jawab dalam mengeluarkan kemampuan olah tugas terbaik mereka disini. Begitu pula Gal Gadot yang terlihat pas pula memancarkan karisma kuat sebagai Wonder Woman. Dialah pemain paling bersinar diantara padatnya kerumunan jajaran pelakon. Kemunculannya dalam wujud Diana Prince menciptakan kita berdecak kagum, sementara tepuk tangan meriah menyertai saat beliau muncul untuk pertama kalinya dalam balutan kostum Wonder Woman. Saya bahkan balasannya menentukan bergabung ke #TeamWonderWoman alih-alih #TeamBatman atau #TeamSuperman. Yes, she’s that good

Tidak hanya para pelakon Batman v Superman yang mampu mengangkat derajat film, tetapi juga adegan klimaksnya. Seperti telah saya singgung sebelumnya, menonton Batman v Superman membutuhkan kesabaran. Jika kau merasa ingin mengalah lantaran film tidak kunjung memberi hentakan mirip diperkirakan, bertahanlah alasannya 45 menit terakhir akan membayar lunas kelelahan yang didapat dari paruh pertama. Konfrontasi tamat yang melibatkan monster jelek rupa berjulukan Doomsday dihantarkan dengan intensitas cukup tinggi yang seketika memancing mata untuk melek, jantung berdegup kencang hasil dari perasaan bersemangat sekaligus tegang, dan telapak tangan ingin bertepuk-tepuk (sebagian besar disebabkan oleh Wonder Woman). Deskripsi singkat untuk menjlentrehkan seperti apa klimaks dari Batman v Superman adalah menggetarkan. Penonton dibawa memasuki fase ‘kesenangan total’ yang sedikit banyak memaafkan kesalahan-kesalahan Zack Snyder dan rekan-rekan kerjanya di permulaan hingga pertengahan film. Pemberian daya sentak selepas pertarungan yang menggiring penonton beralih ke fase ‘mengharu biru’ pun cukup efektif sehingga setidaknya membangkitkan harapan untuk mengetahui langkah apa yang selanjutnya ditempuh oleh DC Extended Universe utamanya dalam kaitannya penebusan kesalahan Batman v Superman yang ternyata oh ternyata jauh dari kesan gegap gempita.

Note : Tidak ada post-credits scene jadi kau mampu segera keluar dari gedung bioskop setelah film simpulan. 

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Batman V Superman: Dawn Of Justice"