Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Koala Kumal


“Jodoh jangan dinantikan, tapi dicari. Kamu boleh patah hati, tapi jangan tutup hati kau.” 

Suka atau tidak, sulit untuk menyangkal bahwa Raditya Dika telah mempunyai basis penggemar yang terhitung masif dan loyal. Apapun buah karyanya dilahap habis. Satu kunci keberhasilan Dika merangkul banyak pengikut dari bermacam-macam lapisan usia dan jenjang sosial adalah materi kupasannya yang erat dengan keseharian. Siapa sih belum pernah jatuh cinta? Siapa sih belum pernah dibuat bingung lantaran naksir seseorang yang bahkan tidak menyadari keberadaan kita? Siapa sih belum pernah merasakan sakitnya patah hati? Rasa-rasanya, serentetan problematika ini pernah dirasakan hampir seluruh umat insan. Dalam Koala Kumal – karya terbaru Dika yang menandai kembalinya beliau ke Starvision – Dika berbincang secara spesifik soal patah hati yang berangkat dari satu pertanyaan, “apa sih patah hati terhebat kau?.” Jawaban atas pertanyaan tersebut memang berisi dilema tipikal sang komika: korelasi percintaan berakhir tragis. Namun satu hal menarik, ada dukungan solusi yang lebih dewasa, elok, sekaligus hangat dari duduk perkara tersebut ketimbang sekadar ujug-ujug turun bidadari dari kayangan menuntaskan segalanya. 

Patah hati terhebat Dika (Raditya Dika) yakni sang kekasih yang segera menjadi istrinya, Andrea (Acha Septriasa). Dua bulan menjelang hari pernikahan, Andrea tiba-datang meminta biar hubungan mereka diakhiri lantaran ia telah jatuh hati dengan laki-laki lain, James (Nino Fernandez). Diputuskan begitu saja ketika Dika sedang sayang-sayangnya ke Andrea – bahkan tetek bengek ijab kabul termasuk video rangkuman perjalanan cinta, desain usul, sampai resepsi telah rapi jali – mengakibatkan Dika kesulitan membuka lembaran hidup gres. Selama setahun lamanya, produktivitas maupun kreativitas Dika sebagai penulis terkungkung oleh kekecewaan besar sampai-hingga sang ibu (Cut Mini) merasa perlu ikut turun gunung mencarikan pengganti Andrea agar putranya kembali bersemangat menjalani hidup walau pada akhirnya tak ada satupun usahanya yang membuahkan hasil. Titik jelas mulai terlihat dikala seorang gadis eksentrik pendiri klub buku bernama Trisna (Sheryl Sheinafia) mendadak nongol di hadapan Dika dan menunjukkan diri untuk ‘menyembuhkan’ Dika meski bekerjsama Trisna sendiri menyimpan ukiran luka besar yang belum tersembuhkan. 

Berkaca pada sinopsis tersebut, mungkin kita bisa gampang mengira akan kemana hati Dika berlabuh... atau tidak. Andrea berpaling darinya, kemudian tiba sosok pengganti dalam diri Trisna. Tapi rupanya Raditya Dika enggan menuntaskan konflik sesederhana itu. Ada sekelumit kompleksitas dibalik guliran penceritaan yang sepertinya begitu-begitu saja. Baik Dika maupun Trisna sama-sama memiliki kenangan jelek dengan korelasi percintaan terdahulu, dan mereka juga belum berusaha melupakannya, sehingga pintu hati masing-masing masih tertutup. Dan disinilah letak menariknya. Koala Kumal tidak lantas menyandingkan dua korban patah hati ini sebagai pasangan – seraya menertawakan pengalaman pahit keduanya – melainkan kita menyaksikan bagaimana mereka tumbuh lebih sampaumur sehingga mampu memaknai patah hati. Dalam satu adegan, ibu Dika berpesan, “jodoh jangan ditunggu, tapi dicari. Kamu boleh patah hati, tapi jangan tutup hati kamu.” Kenyataannya, walau pesan yang tersirat ibu Dika terdengar sepele, melupakan seseorang yang begitu dicintai dari kurun lalu kemudian membuka hati demi terwujudnya hubungan baru tidaklah semudah memasak mi instan. 

Ada proses cukup panjang menuju penerimaan sehabis dibentuk terjatuh yang harus ditempuh dan didalam perjalanannya membutuhkan kombinasi antara kesabaran, keberanian, serta keikhlasan semoga dapat mencapai what-so-called move on. Ya, move on tidak mampu dicapai hanya dengan memutus jaringan pertemanan di sosial media, berhenti bersilaturahmi, atau dalam tingkatan ekstrim, balas dendam. Singkatnya, it’s not as simple as it seems. Koala Kumal memberi sentilan kepada mereka-mereka yang pernah (atau sedang) patah hati dan belum bisa move on. Tentu penyampaiannya tidak terlampau serius sebab bagaimanapun, ini tetaplah film seorang Raditya Dika yang berarti kau tetap mendapati setumpuk humor bercitarasa abstrak sepanjang durasi mengalun. Tidak semuanya bekerja secara semestinya – banyak diantaranya berakhir garing – namun ketika berhasil, benar-benar berhasil. Adegan “efek dari obat pelemas otot”, “kencan kilat”, “pertengkaran flashdisk” dan interaksi awal-awal Dika dengan Trisna ialah momen terbaik dari Koala Kumal. Riuh rendah tawa renyah penonton bisa terdengar begitu terperinci. 

Disamping pembentukan kisah dan pemaparan ke bahasa gambar yang baik oleh Raditya Dika, Koala Kumal disangga ansambel pemain yang kokoh. Tidak ada keputusan yang lebih sempurna dari menempatkan Acha Septriasa dan Sheryl Sheinafia di lini utama mengingat keduanya mempunyai ‘daya ledak’ sama kuatnya. Acha, seperti biasa, tangguh saat diminta menangani momen-momen dramatik dan saat diminta melucu, dia terlihat effortless. Sosok Andrea di tangannya tidak dijelmakan sebagai abjad antagonis menyebalkan sebab kita dibentuk paham atas pilihannya meninggalkan Dika. Sementara Sheryl dalam debut aktingnya – kita segera melihatnya di versi terbaru Galih & Ratna – merupakan kejutan terbesar dari Koala Kumal. Tokoh Trisna yang eksentrik dan sedikit misterius dibawakannya penuh energi. Kehadirannya menunjukkan keceriaan pula kesejukan tersendiri bagi film, terhitung semenjak kemunculan pertama kalinya, hingga-hingga muncul ketidaksabaran untuk menantikan keberadaannya begitu ia bolos sejenak dari layar. She’s so damn good. Barisan pemain pendukung yang juga memperlihatkan sumbangsih bagus ke Koala Kumal antara lain Nino Fernandez, Cut Mini, Ernest Prakasa, Dwi Sasono, Yudha Keling, serta duo Anggika Bolsterli – Adipati Dolken dalam penampilan sangat singkat namun memberi kesan mendalam.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Koala Kumal"