Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Grudge (2020)


“I went to the house. I think something followed me home.”

“Astaghfirullah” ialah reaksi pertama yang saya lontarkan selepas menyaksikan interpretasi baru dari The Grudge pada malam tahun baru kemarin. Sebuah reaksi yang umumnya muncul seusai hamba menonton sebuah film yang menciptakan stok kesabaran menipis. Bayangkan, ketimbang bersuka cita bersama kawan-mitra erat, menyantap makanan lezat, atau melihat para musisi mempertontonkan kecintaannya pada musik di atas panggung, aku justru menghabiskan 90 menit untuk duduk di dalam bioskop guna menyimak sebuah tontonan yang sama sekali tidak memiliki suka cita di dalamnya. Yang ada hanyalah penderitaan, penderitaan, dan kebosanan. Hingga pada satu titik, saya meyakini bahwa penderitaan yang dialami oleh para huruf dalam film ini tak sebanding dibanding penderitaan yang harus dilewati penonton yang telah memutuskan untuk menentukan The Grudge sebagai film penutup di tahun 2019 (atau film pembuka 2020). Entah apa yang telah merasuki saya sampai-sampai nekat menebus satu tiket tontonan memedi ini sekalipun masih dibuat trauma oleh Rings (2017) yang tak kalah amsyongnya. Usai mengolesi kepala menggunakan satu botol minyak angin beraroma terapi kemudian melahap sepiring steak sebagai comfort food, aku pun mampu kembali berpikir jernih untuk berkata ternyata ada dua alasan utama yang melatarinya: 1) kecintaan pada franchise Ju-On (atau The Grudge untuk remake) yang mempunyai satu huruf demit sensasional berjulukan Kayako, dan 2) jejak rekam sang sutradara, Nicolas Pesce (The Eyes of My Mother), yang cukup meyakinkan. Ditambah lagi adanya fakta bahwa Sam Raimi turut bertindak sebagai produser, aku tentu optimis The Grudge versi anyar ini akan lebih mendingan ketimbang dua jilid pendahulunya yang ternyata oh ternyata terbukti salah kaprah. Duh, duh, duh…

Sebelum saya lanjutkan kembali sesi mengeluh dan curhat colongan, izinkan diri ini untuk mewartakan jalan dongeng dari The Grudge. Membawa penonton kembali ke satu dekade silam, film memperkenalkan kita dengan Detektif Muldoon (Andrea Riseborough) yang baru saja pindah ke sebuah kota kecil bersama putra semata wayangnya guna menyembuhkan kepedihan hati balasan meninggalnya sang suami. Tak berselang lama sejak dirinya kembali aktif bekerja, Muldoon bersama rekan kerjanya, Detektif Goodman (Demian Bichir), ditugaskan untuk mengusut satu penemuan mayit. Konon, mayat yang diidentifikasi sebagai Lorna Moody (Jacki Weaver) itu ditemukan telah membusuk di dalam mobilnya yang merangsek ke dalam hutan. Untuk satu dan lain alasan, Goodman menolak mencari tahu lebih jauh mengenai penyebab maut Lorna. Namun Muldoon yang notabene masih gres di kota justru merasa penasaran. Terlebih, ia mengetahui bahwa perkara ini memiliki keterkaitan dengan masalah yang pernah ditangani oleh Goodman dua tahun kemudian. Sebuah perkara yang menjadikan seluruh personil Keluarga Landers meregang nyawa. Tanpa sedikitpun menaruh kecurigaan mengenai bahaya yang mungkin mengintai, Muldoon pun memutuskan untuk menyelidiki masalah ini seorang diri. Terbantu oleh setumpuk berkas dimana beliau menerima isu mengenai keterlibatan distributor properti, Peter Spencer (John Cho), Muldoon lantas mengunjungi kediaman Landers di Reyburn Drive no 44 yang kini ditempati oleh Faith Matheson (Lin Shaye) bersama suaminya. Sekilas, terlihat tidak ada yang salah dengan rumah tersebut sampai kemudian protagonis kita ini menemukan satu kejanggalan yang mengaitkan Lorna dengan Faith, Peter, bahkan Keluarga Landers.


Kala mengetahui The Grudge bakal dirilis di bulan Januari yang identik dengan film-film buangan dari studio besar, saya bantu-membantu sudah curiga. Tapi aku tidak pernah sedikitpun menyangka film ini bakal sangat mem-bo-san-kan. Hal paling mengerikan di sini bukanlah trik menakut-nakuti dari para memedinya, melainkan kenyataan bahwa saya telah menghabiskan waktu dan uang untuk menyaksikan sebuah film horor yang tak ubahnya kisah pengantar tidur. Bersyukurlah Sony Pictures cukup sadar diri dengan melepasnya dalam durasi sepanjang 90 menit saja alasannya bila lebih panjang sekitar 15-20 menit, aku meyakini bakal ada sejumlah penonton yang membentuk klub “paduan suara mendengkur” di dalam bioskop. Ya, The Grudge memang semembosankan itu. Padahal, menit pembukanya tampak menjanjikan. Ketika Fiona Landers (Tara Westwood) gres saja meninggalkan rumah kutukan, lalu didera satu dua ketaknormalan yang diorkestrai oleh Kayako dan pada risikonya membuatkan kutukan itu kepada keluarganya. Namun seusai pembuka yang memantik hasrat ingin tahu, film secara perlahan tapi pasti mulai kehilangan energinya. Dari seabrek aksara yang diajukan oleh Nicolas Pesce, tak satupun diantaranya yang sanggup menarik tenggang rasa penonton karena tanpa dibarengi pengembangan karakter memadai. Mereka semua selalu terlihat begitu menderita, mereka semua tampak sangat kelelahan, dan mereka semua terlihat tidak memiliki gairah hidup. Sungguh depresif. Ditambah atmosfer pengisahan yang senantiasa suram mengikuti upaya film untuk tampil creepy plus laju penceritaan yang tak lebih cepat dari siput berjalan, The Grudge terasa sulit diikuti. Dan saya masih belum menyebut pilihan film untuk menawarkan penghormatan kepada jilid terdahulu dengan menghadirkan plot bercabang yang tersusun atas tiga linimasa berbeda yakni 2004, 2005, dan 2006.  

Plot bercabang ini menuntut penonton untuk meletakkan fokusnya ke layar sebab ada banyak karakter berikut informasi yang mesti disusun oleh penonton. Apabila materinya memadai, tak sulit berkonsentrasi. Tapi dikala ketiga linimasa ini dibentuk oleh masalah (dan hasil simpulan) yang bisa dibilang senada seirama, kenapa mesti repot-repot menggunakan teknik bercerita maju mundur (tidak) manis? Demi menebalkan sisi misterius dari konflik utama? Atau semata-mata ingin menciptakan gambaran kompleks nan cerdas kepada penonton? Karena sejujurnya, The Grudge yang diperkenalkan sebagai reboot dari sebuah remake (halah!) ini tidak membutuhkan penyampaian yang dinjelimet-njelimetkan. Terlebih, penonton yang telah khatam tontonan horor – plus seri Ju-On dari Jepang atau Amerika – sudah mampu menduga dengan gampang apa yang tersembunyi dibalik misteri yang sama sekali tidak misterius ini. Yang disayangkan, keputusan untuk mendramatisir segenap masalah hingga sedemikian rupa turut berimbas pada terlupakannya pembahasan ihwal mitologi dibalik kutukan dendam membara. Selain satu baris kalimat di permulaan, adegan pembuka, serta sekelumit eksposisi di pertengahan durasi yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip, kita tidak benar-benar dibentuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa judul ini semestinya berada dalam rangkaian seri The Grudge. Sang antagonis utama dalam franchise ini, Kayako, hanya diposisikan sebagai cameo karena lebih memilih untuk berjalan-jalan keliling Amerika (mumpung dapet tumpangan gratis, ya kan?) dan menyerahkan tanggungan untuk menakut-nakuti aksara beserta penonton kepada anak didiknya yang masih berstatus sebagai trainee minim pengalaman. Saya bilang minim pengalaman, sebab mereka sama sekali tidak berhasil membuat aku meringkuk ganteng di bangku bioskop. Malah, mereka tergolong baik hati alasannya adalah bersedia membantu salah satu karakter untuk keramas maupun basuh muka. Sungguh mulia, bukan?


Hantu-hantu dengan tata rias seperti baru nyungsep di kubangan lumpur ini tak ubahnya hantu-hantu dari film horor lokal produksi Dee Company yang saking tak pedenya dengan kemampuan menakut-nakuti yang dipunyai, mereka lantas meminta sumbangan kepada departemen musik untuk memasang suara-bunyian pengejut jantung di level maksimal. Mereka acapkali menampakkan diri secara serampangan tanpa ada konteks berarti, kemudian musik pun dimainkan semoga kita terperanjat. Kaget? Sesekali, ya. Takut? Tidak sama sekali. Jengkel? Pastinyaaaaa. Dua momen yang menurut aku terbilang mendingan level mencekamnya yaitu adegan pembuka yang melibatkan Kayako, dan adegan ruang berkas era Detektif Muldoon menelusuri fail Keluarga Landers. Selebihnya adalah teknik ci-luk-ba generik yang perlahan tapi niscaya menciptakan diri ini sebal bukan kepalang karena kelewat sering, kelewat seperti satu sama lain, dan kelewat lama. Ya, trik menakut-nakutinya bukan saja tidak efektif, tetapi juga sudah teramat sangat sering sekali ditemui di film-film horor lain. Penampilan apik nan eksentrik dari Lin Shaye (well, satu-satunya performa pemain yang membekas) pun tak cukup untuk meredakan kejenuhan sekaligus kemarahan aku akibat porsi tampilnya yang terhitung amat singkat. Pada balasannya, kalau ada kemarahan besar yang bisa dirasakan dari The Grudge, maka itu yaitu amarah dalam diri aku dan bukannya amarah dari para memedi yang terlihat sangat tidak bersemangat seperti huruf-huruf manusianya. Benar-benar film yang bikin istighfar.

Reaksi aku sehabis menonton. Membayangkan uang dan waktu yang sudah melayang sia-sia.




Troll (1,5/5)


Post a Comment for "Review : The Grudge (2020)"