Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

16 Film Indonesia Terbaik 2019 Versi Cinetariz



Para pengunjung Cinetariz yang setia, bagaimana pengalaman kalian dalam menonton film Indonesia di satu tahun terakhir ini? Memuaskan, menyenangkan, biasa-biasa saja, atau justru kurang mengenakkan? Kalau bagi aku langsung sih, 2019 yakni tahun yang menyenangkan bagi sinema tanah air. Disamping keberagaman temanya mulai terasa seiring dengan semakin beraninya para sineas untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru, aku juga menjumpai beberapa film yang membuat diri ini rela untuk menyaksikannya lebih dari satu kali. Entah saat masih berada di layar lebar maupun saat sudah nangkring manis di platform streaming legal yang keberadaannya semakin menjamur. Apa saja judul-judul itu? Well, apabila kau mengikuti aku di akun media sosial, tentu sudah mengetahui apa saja film yang aku maksud. Hihihi.

Kamu mungkin bertanya-tanya, apa sih kualifikasi yang diperlukan bagi suatu film untuk mampu menyelinap ke dalam senarai “16 Film Indonesia Terbaik 2019 Versi Cinetariz” ini? Satu yang terang, film tersebut harus sudah tayang di bioskop atau platform streaming Indonesia (tahun ini tak ada, tahun kemudian ada The Night Comes for Us) di sepanjang tahun 2019. Beberapa judul yang sempat saya tonton di pameran film, baru akan diikutsertakan di seranai tahun depan karena film-film ini sudah dipastikan rilis ke bioskop. Sedangkan untuk kata “terbaik” sendiri, tentu bersifat sangat subjektif. Apa yang terbaik untuk aku, belum tentu tentu terbaik buat kalian. Kaprikornus jangan mengeluh soal peringkat atau daftar filmnya, ya? Bikin pusing. Terlebih, urutannya dipengaruhi pula oleh tingkat kepuasan selama menonton selain kualitas film itu sendiri dan seberapa besar harapan saya untuk merekomendasikan film-film ini kepada kalian.

Tanpa berpanjang lebar lagi, aku persembahkan senarai “16 Film Indonesia Terbaik 2019 Versi Cinetariz” dimulai dari…

Honorable Mentions (diurut berdasar abjad)

# Ghost Writer


# Hit & Run


# Pretty Boys


# Si Doel The Movie 2


# Sunyi



…dan inilah yang menghuni posisi 16 besar.

#16 Orang Kaya Baru


Orang Kaya Baru merupakan pilihan yang sangat sempurna apabila kamu ingin melepas penat barang sejenak dengan bersenang-senang. Betapa tidak, ini ialah film yang mempunyai kandungan hiburan di level cukup tinggi dan gelak tawa berderai-derai dari penonton akan mudah terdengar di berbagai titik. Entah itu ketika para protagonis kita masih tergolong proletar, maupun dikala protagonis kita telah berjalan beriringan bersama kaum borjuis. Para pemainnya, terutama Cut Mini, layak diacungi dua jempol.

#15 Susi Susanti: Love All


Saya menyukai bagaimana Susi Susanti: Love All tidak semata-mata menekankan pada aspek usaha Susi Susanti di arena yang nyaris tanpa cela, tetapi juga ikut mengupas informasi rasialisme yang memang terpampang nyata di periode Orde Baru bahkan juga sekarang. Ya, film ini menjalankan tugasnya dengan baik sebagai film biopik olahraga. Mempermainkan emosi, informatif, membuka mata, menggugah semangat, dan menciptakan kita bersyukur bahwa perfilman Indonesia mempunyai Laura Basuki. Performanya sebagai sang legenda badminton yaitu akting terbaik yang pernah dipersembahkannya di sepanjang karir.

#14 Ave Maryam


Disamping permainan visual yang memang berada di kelas wahid dan ambience yang memungkinkan aku untuk mampu menyelami situasi kondisi di susteran, satu hal lain yang menciptakan diri ini mampu terhubung ke Ave Maryam yakni pendeskripsian karakter yang manusiawi. Maryam menyimpan sebersit harapan untuk bebas dari hukum-aturan keagamaan karena dorongan hawa nafsunya, sementara Yosef pun tak bisa menekan hasratnya untuk mencintai. Alhasil, kedua aksara utama ini sempat mengalami krisis keimanan ketika mereka menyadari benih-benih cinta mulai timbul meski saya sendiri mempunyai perspektif lain mengenai hubungan dua insan ini. Benarkah gejolak yang muncul dari dua belah pihak bisa disebut cinta? Atau jangan-jangan gejolak itu muncul dari dorongan seksual belaka?

#13 Perempuan Tanah Jahanam


Selama kurang lebih satu jam selanjutnya, Perempuan Tanah Jahanam memang menghadirkan rasa gelisah dan ketakutan secara konstan. Pemilihan lokasi yang jitu beserta kinerja dari departemen teknis menciptakan kesan angker sangat menonjol. Yang juga berkontribusi dalam menyokong sensasi eerie yang dimunculkan film ialah performa sangat baik dari jajaran pemain. Saat misteri melingkungi, rasa ingin tau, cemas, serta ngeri yakni sahabat baik bagi penonton. Kita dibuat menaruh curiga, berdebar-debar, sekaligus terperanjat yang dipicu oleh gerak-gerik penduduk desa maupun trik menakut-nakuti yang dirangkai efektif.

#12 Terlalu Tampan


Saat menonton Terlalu Tampan yang disadur dari LINE Webtoon populer, saya sempat berulang kali dibuat terkekeh-kekeh. Segala absurditas yang biasa kau jumpai pada manga, anime, maupun versi webtoon-nya, divisualisasikan secara efektif oleh sang sutradara. Saya masih saja ngikik geli setiap kali teringat pada visual ledakan seperti baru ditimpa bom atom, bagaimana salah satu siswi datang-tiba kayang bak kerasukan, dan tur rumah Kulin. Kocak brooo!


#11 99 Nama Cinta



Chemistry ciamik yang terjalin antara Deva Mahenra dengan Acha Septriasa ternyata bukan satu-satunya alasan yang menciptakan 99 Nama Cinta terasa bernyawa. Ada narasi menyenangkan untuk diikuti, sejumlah momen bagus menggemaskan, dan jajaran pemain pendukung asyik yang turut membantu. Sudah cukup usang saya tidak menonton film dengan konten keagamaan pekat (dalam hal ini, Islam) yang mampu bikin merenung serta hati terasa adem. Film ini berhasil melakukannya melalui pesan berharga yang mengajak penonton untuk menjadi insan memiliki kegunaan bagi sesama. Bagusnya lagi, penyampaian ini tak pernah terasa banyabicara.

#10 Ratu Ilmu Hitam


Alih-alih sekadar mendayagunakan jumpscares yang jumlahnya relatif minim di sini (Thank God!), Kimo Stamboel memantik ketakutan penonton melalui imaji-imaji menggelisahkan yang bermain-main dengan fobia dan atmosfer tidak mengenakkan hati yang senantiasa membuat kita menaruh curiga. Senantiasa membuat kita bertanya-tanya, apakah ada diantara huruf ini yang benar-benar bisa dipercaya? Terlebih lagi, sebagian dari aksara ini mengubur satu rahasia gelap, dan sebagian lainnya mengusung motif dipertanyakan dibalik kehadiran mereka. Kombinasi antara kecurigaan pada abjad tertentu beserta kewaspadaan terhadap datangnya santet yang akan mendera para karakter ialah apa yang menjaga atensi aku terhadap Ratu Ilmu Hitam untuk tetap hidup. Saat santet itu akhirnya datang, sang sutradara pun tidak lagi berkompromi dalam memvisualisasikan teror yang sanggup menciptakan mimpi jelek khususnya dalam adegan “siksa neraka”.

#9 Mantan Manten


Tak sebatas berceloteh soal pahit manisnya cinta, Mantan Manten turut menyinggung budaya Jawa dengan segala unsur mistis yang melingkunginya serta isu women empowerment dimana si aksara perempuan berjulukan Nina tidak dideskripsikan tunduk pada lelaki yang dicintainya. Dia adalah seorang pejuang yang menolak untuk mengalah pada keadaan dan lantas membuat film terasa seperti tontonan pengembangan diri yang menohok dengan tema utama “sebuah seni untuk bersikap ikhlas.” Babak pamungkas film ini begitu menyesakkan dada yang akan menciptakan penonton beruraian air mata, khususnya bagi mereka yang memiliki pengalaman serupa. Tapi bagi aku, air mata ini tumpah bukan karena kenelangsaan si aksara utama melainkan karena akting ciamik Atiqah Hasiholan yang menunjukkan bagaimana Nina akhirnya bisa memenangkan pertarungannya secara elegan. Dia menegakkan kepala, dia pun tersenyum. Andai aksara ini benar-benar aktual adanya di depan mata, aku pasti sudah menghampirinya seraya berujar, “kamu perempuan hebat, Mbak Nina. I am so proud of you!”

#8 Bumi Manusia


Dibawah penanganan Hanung Bramantyo, Bumi Manusia tersaji sebagai tontonan epik yang menambat atensi sekaligus mempermainkan emosi sehingga durasi panjang bukan jadi soal. Selain elemen teknis yang berada di kelas wahid dan cara bertutur sang sutradara yang nyaman untuk diikuti, Bumi Manusia menawarkan keunggulannya di sektor akting dimana pemain ansambelnya benar-benar berlakon secara solid. Satu pemain paling menonjol adalah Sha Ine Febriyanti yang seperti dilahirkan untuk melakonkan Nyai Ontosoroh. Ine mempunyai semacam daya tarik berpengaruh yang memungkinkan setiap kemunculannya senantiasa mempunyai energi yang menciptakan perhatian kita tertuju kepadanya. Entah dikala ia terlihat seperti wanita tangguh yang tidak tergoyahkan oleh apapun, maupun saat dia bertransformasi menjadi perempuan tak berdaya yang terinjak-injak oleh sistem.

#7 Dua Garis Biru


Melalui Dua Garis Biru, Gina S Noer menghadirkan tontonan yang tak saja menguras emosi tetapi juga membuka mata. Ada upaya untuk ciptakan ruang diskusi di kalangan penonton – khususnya anak dengan orang renta – demi meminimalisir ketidaktahuan, kesalahpahaman, serta imbas-imbas negatif yang mungkin timbul akhir keengganan berbicara soal seks. Tak sebatas mengupas konflik seputar “ngebuntingin anak orang” dan pembicaraan mengenai ancaman kehamilan di usia dini, film turut mengajukan gosip menggigit terkait budaya victim blaming yang berkembang di masyarakat, acuan didik orang bau tanah, hingga relasi dalam keluarga. Tidak ada karakter yang sepenuhnya putih bersih disini, tidak ada pula karakter yang diperlihatkan hitam legam tanpa ada setitik nilai kebaikan yang dipercayainya. Mereka pernah berlaku, mengambil keputusan, atau minimal mengucap keliru dan itu tidak persoalan. Dari sana mereka belajar dari konflik yang mengikat mereka, lalu tumbuh menjadi manusia yang lebih baik berkat dilema tersebut.

#6 Kucumbu Tubuh Indahku


Tidak mirip kerap dituduhkan oleh ormas tertentu, Kucumbu Tubuh Indahku bukan bermaksud mempromosikan LGBT. Garin Nugroho membawa kita ke pedalaman Banyumas guna berkenalan dengan kebudayaan khas Indonesia dalam wujud Tari Lengger yang kian terpinggirkan. Dari sana, penonton diajak untuk mengikuti perjalanan satu anak insan yang kerap menghadapi serentetan kekerasan dalam hidupnya seraya memperbincangkan soal seksualitas, gender, serta kemanusiaan. Visualisasinya boleh saja puitis dan menyiratkan simbol-simbol tertentu, tapi narasi yang dihaturkan oleh Garin mampu dicerna secara gampang. Ditambah adanya sokongan akting apik dari barisan pemain beserta iringan musik yang merupakan salah satu skoring terbaik yang pernah aku dengar dalam sinema tanah air, kau akan terpukau, kau akan terhanyut, dan pada akibatnya kamu akan dibawa ke dalam perenungan mendalam kala menyaksikan Kucumbu Tubuh Indahku yang elok ini.   

#5 Twivortiare


Menonton Twivortiare tak ubahnya sedang menyaksikan cerita kita sendiri atau seseorang yang kita kenal. Begitu erat, begitu membumi. Tidak ada glorifikasi romansa yang dipenuhi keindahan beserta untaian kata-kata cantik di sini alasannya film mencoba menghadirkan sebuah realita dalam relasi pasca mengikat kesepakatan suci. Sebuah realita yang tak melulu menggembirakan, tetapi juga menggoreskan rasa sakit di dada. Bagaimana kesannya ketika dua orang yang mengaku saling mencintai menetapkan untuk menikah? Akankah mereka senang… atau tidak? Twivortiare mengapungkan topik pembicaraan menggugah untuk siapa saja yang ingin berguru dalam membina korelasi percintaan yang sehat. Tak sekalipun terasa menjemukan, film justru akan mempermainkan emosimu sedemikian rupa. Hatimu akan dibuat teriris-iris, kau akan dibuat terenyuh, dan kau juga akan dibentuk tersenyum-senyum gemas olehnya.

#4 27 Steps of May


Berkat pengarahan teliti, tangkapan-tangkapan gambar yang “berbicara”, beserta penampilan luar biasa dari jajaran pemain khususnya Raihaanun yang sanggup menyuarakan emosinya melalui verbal serta gestur-gestur kecil, penonton bisa memenuhi cita-cita si pembuat film: mencicipi kenelangsaan dua karakter utama dalam 27 Steps of May. Alhasil, aku pun terkoneksi dengan si protagonis sehingga aku tidak ingin melihatnya terjerembab lagi ke jurang depresi dan aku tidak ingin perjuangannya untuk mengatasi syok berkepanjangan berakhir sia-sia. Saya ingin melihatnya bangun dari keterpurukkan dan menginspirasi para penyintas kekerasan seksual yang belum berkenan melanjutkan hidup. Kalaupun May tidak melakukannya (karena dia bukanlah huruf faktual), tapi paling tidak, itulah yang dilakukan oleh film ini. Merangkul para penyintas lalu membuka mata publik khususnya mereka yang masih menganut asas victim blaming dalam masalah pemerkosaan.

#3 Imperfect


Selepas menonton Imperfect di layar lebar, ada satu hal yang saya lakukan, yaitu menyeka air mata. Bukan alasannya adalah filmnya sebegitu pedihnya sampai meremas-remas emosi, melainkan karena saya mencicipi sebuah kebahagiaan yang muncul berkat pesan indah yang diutarakannya. Mengenai menerima diri sendiri secara apa adanya, mengenai kebahagiaan yang akan mengikuti saat kita sudah mampu berdamai dengan diri sendiri. Pun begitu, film ini tak lupa mengajak penonton bersenang-senang. Setiap huruf diberi amunisi untuk melontarkan humor yang sebagian besar diantaranya mulus mengenai sasaran.  Yang sedikit unik kali ini, Ernest Prakasa tak sekadar memakai huruf-huruf tersebut sebagai pemancing tawa belaka. Mereka dilibatkan ke dalam narasi utama, dan keberadaan mereka turut difungsikan untuk melontarkan dua komentar berbeda mengenai pemujaan terhadap sosok ideal dan memandang ketidaksempurnaan dari perspektif lain. I can relate!

#2 Bebas


Memboyong ekspektasi cukup tinggi karena film ini disadur dari film Korea Selatan berjudul Sunny, nyatanya aku dapat melangkahkan kaki keluar bioskop dengan senyum mengembang mengambarkan kepuasan tiada tara. Jika boleh meminjam pernyataan anak gahoel zaman sekarang, Bebas memang seasyik, seseru dan semenyenangkan itu. Satu hal yang bisa pribadi diapresiasi ialah performa dari jajaran pemain yang sangat kompak seperti mereka memang betulan berkawan karib. Saking asyiknya chemistry diantara mereka, rasanya betah berlama-lama bersama mereka dan berharap film tidak akan pernah berakhir. Saya tertawa heboh bersama mereka, saya ingin ikut menari dengan riang gembira bersama mereka, dan saya pun menangis tersedu-sedu bersama mereka. Seolah kesenangan ini belum cukup, masih ada kurasi lagu Indonesia yang jempolan dari abad 90-an yang akan mengajak kita bersenandung bersama dan mengenang masa muda.

#1 Keluarga Cemara


Usai menyaksikan Keluarga Cemara di bioskop, ada satu perasaan yang terus hinggap di hati yakni hangat. Tak terhitung berapa kali saya menyeka bulir-bulir air mata yang menuruni pipi, memberi pelukan akrab-akrab kepada diri sendiri, hingga muncul dorongan untuk sesegera mungkin menelpon orang bau tanah di rumah saat menonton Keluarga Cemara yang merupakan salah satu film Indonesia terindah yang pernah saya tonton. Deskripsi yang mungkin terdengar agak hiperbolis, tapi sejujurnya, ini benar-benar terjadi. Ketimbang mengeksploitasi kesedihan, film mencoba tampil berenergi dengan segala humor yang ciptakan gelak tawa serta adanya pesan penumbuh semangat yang sekaligus berfungsi menghilangkan stereotip terhadap kemiskinan. Pada kesannya, bukan hanya kontribusi para pemain yang mampu membawa emosi dalam Keluarga Cemara semenonjok ini, melainkan juga dipengaruhi naskah bernas, pengarahan penuh sensitivitas dari Yandy Laurens, pilihan-pilihan lagu pengiring yang menyatu, beserta penyuntingan mengalir. Buagus sekali!

Post a Comment for "16 Film Indonesia Terbaik 2019 Versi Cinetariz"