Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

25 Film Terbaik 2019 Versi Cinetariz


Bisa melewati tahun 2019 dengan selamat yakni sebuah pencapaian hidup yang semestinya aku rayakan. Kamu mungkin menganggapnya berlebihan, tapi 2019 bakal selamanya aku kenang sebagai tahun terberat. Beragam dilema menghujam secara bertubi-tubi seolah tanpa final yang lantas mendorong diri ini ke jurang depresi dan pada balasannya secara resmi divonis mengidap Generalized Anxiety Disorder oleh psikiater. Sebuah bentuk “gangguan” yang senantiasa menempatkan aku dalam kecemasan berlebih dengan atau tanpa penyebab yang terperinci. Menyenangkan sekali, bukan? Itulah mengapa, senarai “25 film terbaik 2019 versi Cinetariz” ini akan bersifat jauh lebih personal ketimbang sebelumnya. Bukan semata-mata unggul secara kualitas, bukan pula semata-mata akan aku rekomendasikan ke kalian dengan bahagia hati, tetapi juga mempunyai kedekatan representasi. Jadi jangan mengeluh berpanjang-panjang apabila kalian menjumpai judul-judul yang terkesan “acak” alasannya satu alasan terang: senarai ini bersifat sangat subyektif. Semakin tinggi ranking suatu film, maka semakin tinggi pula level erat di hati dan kemungkinan untuk ditonton berulang-ulang pun semakin besar.

Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, inilah senarai “25 film terbaik 2019 versi Cinetariz” yang aku seleksi dari 228 judul film yang berhasil saya lahap sepanjang tahun 2019 kemudian. Seperti biasa, senarai ini dimulai dari…

Honorable Mentions (diurut menurut huruf):

# Article 375


Ada dua sisi kisah dibalik suatu kasus perkosaan yang menghebohkan India.

# Booksmart


Hari terakhir di Sekolah Menengan Atas memang semestinya dirayakan dengan penuh suka cita.

# Capernaum


Kisah pilu seorang bocah yang menuntut orang tuanya di pengadilan.

# Dolemite is My Name


Biopik lucu nan nyeleneh dari seorang pembuat film di periode 70-an.

# Exit


Disaster movie tak melulu mesti menegangkan, disampaikan secara jenaka pun bisa.

# Fighting with My Family


Melongok lahirnya bintang WWE yang mungkin tak banyak kita ketahui prosesnya.

# Ford vs Ferrari


Biopik yang penyampaiannya kolam film balapan kendaraan beroda empat yang mengasyikkan.

# Hotel Mumbai


Rekonstruksi satu peristiwa kemanusiaan yang mendebarkan.

# Imperfect


Kebahagiaan yakni mendapatkan ketidaksempurnaan diri, bukan mengejar kesempurnaan.

# Us


Menghadapi versi jahat dari diri sendiri ialah hal yang mengerikan.

…dan inilah yang menghuni posisi 25 besar:

#25 Joker


Tidak menyenangkan atau gegap gempita kolam film berdasar komik pada umumnya, Joker justru disampaikan dengan nada pengisahan teramat depresif mengikuti kondisi kejiwaan dari si aksara tituler. Sangat tidak nyaman buat disimak bagi penderita kecemasan, tapi tak bisa disangkal bahwa film ini adalah buah karya yang sangat apik. Joaquin Phoenix mencengangkan, iringan musiknya membuat bulu kuduk meremang, dan serentetan adegannya begitu membekas di ingatan. Siapa sih yang akan mampu lupa adegan tarian di tangga?

#24 Ad Astra


Dibalik tampilan visual yang mengundang decak kagum dan kemasan luar yang seolah mengindikasikan bahwa ini sajian space adventure berbalut cerita keluarga, Ad Astra sejatinya merupakan tontonan kontemplatif nan menggigit yang mengajak kita untuk merenungi tentang makna dibalik kehidupan dan kemanusiaan seraya memperbincangkan soal mental health beserta toxic masculinity. Terdengar berat? Memang begitulah adanya. Bagi saya, topik inilah yang mengakibatkan Ad Astra tak saja terasa indah dari sisi visual tetapi juga rasa.

#23 Blinded by the Light


Sebuah kisah pencarian jati diri yang diiringi tembang-tembang milik Bruce Springsteen ini terasa sangat mengasyikkan untuk disimak. Blinded by the Light merekam perjalanan dari seorang cowok Inggris berdarah Pakistan dalam upayanya untuk melawan tindak rasisme dari lingkungan sekitar, dan upayanya untuk melawan tradisi terbelakang yang ditegakkan oleh sang ayah. Kita akan bersimpati pada si protagonis alasannya adalah mimpi-mimpinya, kita akan kesal pada si protagonis alasannya adalah sikap pemberontaknya yang melebihi batas, dan kita akan bersenandung keras-keras karena tembang Pak Springsteen yang amat asyik nan relatable.

#22 Green Book


Alih-alih bermuram durja dan dipenuhi dengan kemarahan yang meletup-letup, Green Book mengutarakan segala keresahannya terhadap diskriminasi, prasangka, sampai rasisme dengan cara yang lebih elegan. Cenderung kalem dalam bertutur dimana didalam narasinya dipenuhi canda tawa maupun momen-momen mengangatkan hati. Pada dasarnya, ini adalah dongeng kemanusiaan yang beranjak dari persahbatan tak biasa antara seorang musisi kenamaan dengan supir barunya dalam satu perjalanan yang “menantang nyawa”. 

#21 The Irishman


Durasinya yang merentang sampai 3,5 jam memang mengintimidasi. Namun kemahiran Martin Scorsese dalam bercerita memungkinkan kita untuk menikmati setiap menit dari The Irishman tanpa ada keinginan berhenti sejenak. Narasinya yang sedemikian kompleks menguliti dunia para gangster dengan seabrek dilema dan huruf dilantunkan secara kalem sehingga mengeliminasi kesan njelimet dan membosankan yang berpotensi menghinggapi. Ditambah sokongan akting-akting kelas atas, khususnya dari trio pemain inti, aku justru senantiasa dilingkupi tanya, “apa yang akan terjadi selanjutnya?,” selama menonton. Seru!

#20 Marriage Story


Terkadang tersenyum dan sesekali tertawa, tetapi lebih sering termangu, merasa pedih, dan kesannya terisak-isak saat menyaksikan kisah akad nikah pasutri yang di ujung tanduk dalam Marriage Story. Ada keinginan melihat mereka rujuk, ada ketidakrelaan melihat mereka pisah. Melalui sorot mata beserta gestur yang diperagakan oleh Adam Driver maupun Scarlett Johansson, kita bisa merasakan bahwa cinta sesungguhnya masih ada dalam diri masing-masing. Hanya saja, keduanya telah berubah menjadi orang ajaib bagi satu sama lain dan itu memilukan. Pertanda kapal yang hendak karam ini memang sudah tak mampu diselamatkan lagi.

#19 Bebas


Satu hal yang bisa eksklusif diapresiasi dari Bebas adalah performa dari jajaran pemain yang sangat kompak seperti mereka memang betulan berkawan karib. Saking asyiknya chemistry diantara mereka, rasanya betah berlama-usang bersama mereka dan berharap film tidak akan pernah berakhir. Saya tertawa heboh bersama mereka, saya menari dengan riang bangga bersama mereka, dan aku pun menangis tersedu-sedu bersama mereka. Seolah kesenangan ini belum cukup, masih ada kurasi lagu Indonesia yang jempolan dari periode 90-an yang akan mengajak kita bersenandung bersama dan mengenang periode muda.

#18 Knives Out


Rian Johnson mempunyai caranya sendiri dalam mengkreasi tontonan whodunit seraya memberi penghormatan kepada Agatha Christie dan melemparkan komentar sosial politik. Ketimbang sepenuhnya berada di jalur suspense yang suram, Knives Out justru mengajak penonton bersenang-senang dengan narasinya yang ceria nan penuh gelak tawa. Alhasil, kita pun dibuat tergelak-gelak berulang kali ditengah proses investigasi yang memicu penasaran, bikin gregetan, sekaligus membuat jantung berdebar-debar. Dan oh, jangan lupakan barisan pemain ansambelnya yang memperlihatkan definisi bantu-membantu dari kata “abnormal” tersebut.

#17 Once Upon a Time… in Hollywood


Once Upon a Time in Hollywood memang bukan karya terbaik dari seorang Tarantino, tapi ini adalah karya paling personal dan sentimentil yang pernah dibuatnya. Tak hanya dibikin takjub, tertawa, tegang serta meringis melihat adegan kekerasannya, sekali ini beliau pun mampu menciptakan penonton untuk merasa tersentuh lalu mengeluarkan sapu tangan dari dalam kantong guna menyeka air mata. Inilah sebuah surat cinta untuk Hollywood yang mengajak kita bernostalgia ke era 60-an selesai dimana industri perfilman terbesar di dunia ini mewujudkan sekaligus menenggelamkan keinginan besar dari para pemimpi.

#16 Kim Ji-young Born 1982


Kim Ji-young Born 1982 sanggup membangun kesadaran terhadap mental illness seraya mengkritisi budaya patriarki dengan amat baik dan powerful. Melalui film ini, penonton akan sedikit banyak memperoleh pemahaman mengenai depresi berikut faktor-faktor yang melatarinya, mendapat gambaran tentang budaya patriarki yang semestinya tidak dilanggengkan, dan pada akhirnya terdorong untuk memanusiakan manusia. Ya, film yang juga hidup berkat kontribusi akting mengagumkan dari jajaran pemain ini akan membuatmu tersadar betapa besarnya jasa beserta pengorbanan dari para ibu, para istri, dan para wanita.

#15 Midsommar


Bagi aku, keunggulan utama dari Midsommar bukan semata-mata berasal dari imaji-imaji mengerikan pengusik kenyamanan, melainkan turut bersumber dari pokok pembicaraannya. Disamping mengulik soal perspektif, sang sutradara juga berniat memperbincangkan tentang mental illness, atau dalam hal ini depresi, dan eksistensi support system. Film ini sejatinya merupakan kisah perjalanan spiritual bagi si protagonis utama dari seseorang yang menanggung sedih akhir kehilangan keluarga dalam satu peristiwa, kemudian menyimpan luka balasan penolakan implisit dari orang-orang di sekitarnya, hingga lalu menemukan satu komunitas yang bersedia menerimanya dengan tangan terbuka.

#14 Bento Harassment


Salah satu kejutan anggun tahun lalu berasal dari Bento Harassment yang tak saja menciptakan tertawa terbahak-bahak berkat gaya kelakar ala Jepang yang sedikit nyeleneh, tetapi juga membuat diri ini menangis sesenggukan balasan narasinya yang menghangatkan hati, terutama di 20 menit terakhir yang luar biasa ‘jahanam’. Ini ialah sebuah cerita unik ihwal korelasi yang renggang antara seorang single mother dengan putrinya yang pemberontak. Melalui sekotak makan siang berisi kuliner-makanan yang dihiasi, sang ibu mencoba berekonsiliasi dengan putrinya tersebut sebelum ia meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di kota besar.

#13 Gully Boy


Pustaka musik asal India tidak terbatas pada soundtrack dari film-film Bollywood. Gully Boy menunjukkan bahwa rap turut mempunyai pengaruh di sana dengan membawa kita menyusuri area pemukiman padat penduduk yang kumuh. Sebuah kawasan yang melatari lahirnya seorang musisi yang mengutarakan keresahan, kemarahan, sampai cita-cita mereka mengenai kehidupan melalui tembang-tembang beritme cepat. Mengaplikasikan tipe narasi “from zero to pendekar”, film ini akan membuat emosimu teraduk-aduk di sepanjang durasi yang meliputi aneka macam macam rasa. Dari senang, murung, hingga pada kesannya terinspirasi untuk mengikuti pilihan hidup sang protagonis yang berupaya untuk menunjukan kepada orang-orang yang telah memandangnya rendah bahwa dia tidak akan selamanya menjadi “nobody”.

#12 Last Christmas


Di lapisan paling permukaan, Last Christmas yaitu film komedi romantis yang akan menciptakan penonton tersenyum-senyum gemas berkat interaksi anggun nan hidup yang terjalin diantara dua pelakon utamanya. Tapi ketika kita bersedia untuk melongok lebih dalam, ternyata fokus utamanya bukanlah soal muda-mudi yang dimabuk cinta. Melainkan wacana menjalani kehidupan yang pesannya benar-benar mengena di hati. Satu pesan besar yang coba diutarakannya berbunyi, “tidak apa-apa untuk menjadi seseorang yang biasa-biasa saja sebab kehidupan tidak harus diisi dengan pencapaian yang serba gilang gemilang. Yang terpenting adalah kamu bahagia menjalaninya, sehingga mampu membagi kebahagiaan tersebut pada orang lain.” An underrated gem yang saya yakini bakal menjadi tontonan wajib menjelang Natal.

#11 Instant Family


Dibalik kemasan luar yang seolah mengindikasikan ini sebagai tontonan keluarga yang ringan-ringan saja, ternyata terselip life lesson berharga di dalam Instant Family yang disampaikan secara efektif mengenai parenting dan makna non-konvensional dari keluarga. Instant Family yakni feel good movie yang kamu butuhkan untuk menjaga positivity dalam badan ditengah terjangan arus kebencian, kepenatan sehari-hari, serta info tak menggembirakan di televisi. Kamu akan dibuatnya berkaca-beling, berlanjut menangis sesenggukan, hingga lalu memutuskan untuk menghubungi orang bau tanah di rumah melalui ponsel demi melontarkan pertanyaan sederhana, “apa kabar? Kalian sehat?.”

#10 House of Hummingbird


House of Hummingbird memberi kita narasi pendewasaan diri dari seorang dewasa wanita yang hanya ingin dicintai oleh orang-orang terdekatnya. Ada kejenakaan tersemat di beberapa titik mengikuti obrolan-obrolan polosnya, tapi kegetiran dan kepiluan yang menyesakkan dada adalah rasa yang hiasi durasi sampai-sampai diri ini ingin sekali memberi pelukan hangat kepada si protagonis ketika film berakhir. Betapa tidak, di usianya yang masih 14 tahun, si protagonis telah dirundung bermacam-macam problematika. Di rumah yang nihil interaksi hangat, fisiknya kerap disakiti oleh abang laki-lakinya yang disanjung berlebihan oleh sang ayah. Sementara di sekolah, beliau dikucilkan oleh teman sekelasnya dan dua orang yang dianggapnya sebagai sobat maupun kekasih pun mengkhianatinya. Nyesek nggak, sih?

#9 Toy Story 4


Mengingat dongeng Woody beserta kawanannya sudah diakhiri dengan sangat pantas di jilid ketiga, aku sama sekali tidak menaruh ekspektasi apapun kepada Toy Story 4 yang ternyata oh ternyata masih sanggup bersanding dengan tegak bersama jilid-jilid terdahulu. Dongeng seputar babak hidup gres dari kawanan mainan ini tak saja dilantunkan secara kocak dan seru yang akan membuatmu bersemangat di sepanjang film, tetapi juga mengharu biru yang akan membuatmu menitikkan air mata di penghujung durasi. Instalmen keempat yang memiliki tampilan animasi luar biasa ini (well, Pixar tak pernah mengecewakan!) menandakan bahwa Toy Story merupakan franchise animasi paling dahsyat dan paling magis ketika ini.  
  
#8 Hello Love Goodbye


Hello Love Goodbye jelas bukan film percintaan biasa. Ya, kau akan tetap gregetan menyaksikan kisah kasih “benci jadi cinta” berkat chemistry padu antara Kathryn Bernardo bersama Alden Richards. Tapi yang membuat film ini lebih bersinar adalah topik pembicaraannya yang mendalam mengenai mimpi, pengorbanan, serta keluarga. Disamping itu, si pembuat film turut sodorkan potret realistis dari kehidupan PRT gila di Hong Kong yang sama sekali jauh dari kesan “menjanjikan”. Kamu akan dibuatnya tertawa, kau akan dibuatnya kesengsem dengan dua sejoli yang menjadi sentral dongeng, dan kamu akan dibuatnya menangis. Dua puluh menit terakhirnya benar-benar mengobrak-abrik hati hamba yang sangat sensitif ini. Bahkan melihat adegan reunian kecil-kecilan saja, saya banjirrr.  

#7 The Two Popes


Dalam The Two Popes, kita melihat dua Paus berdialog mengenai banyak hal yang lantas mengungkap bahwa mereka tak ubahnya manusia kebanyakan. Ada penyesalan, kesepian, serta krisis spiritual. Kita pun melihat keduanya meragu karena Paus jelas bukanlah jabatan sepele. Mengusung topik berat yang turut menyinggung skandal pemerkosaan dari kaum pemuka agama Nasrani, film nyatanya mampu dihantarkan secara ringan tapi tetap mengena dan bermakna. Diluar percakapan serba genting, tampak kehangatan korelasi diantara dua sosok penting ini dan tampak pula bahwa mereka saling menghormati satu sama lain. Inilah satu film yang sebaiknya tidak kau lewatkan begitu saja – apapun agamamu – karena ini ialah kisah wacana persahabatan, belas kasih, dan kemanusiaan yang membuka mata sekaligus mendamaikan hati.

#6 Avengers: Endgame


Avengers: Endgame tetap membawa saya pada pengalaman menonton yang mungkin saja tidak akan dijumpai dalam waktu erat. Ada banyak gegap gempita yang menciptakan saya girang bukan main bak bocah cilik yang gres saja diberi mainan gres, ada banyak canda tawa yang menciptakan aku tertawa terpingkal-pingkal, ada banyak hamparan visual mencengangkan, ada kebahagiaan alasannya film memunculkan aksara-abjad favorit dalam satu titik, ada kebanggaan bisa melihat mereka sanggup mencapai posisi ini, dan ada kesedihan alasannya adalah kemungkinan untuk tak lagi berjumpa terbuka begitu lebar. Endgame terperinci merupakan persembahan yang sangat istimewa untuk para penggemar Marvel Cinematic Universe (MCU) yang telah setia menemani selama satu dekade terakhir. Saat film balasannya mencapai ujung durasi, saya pun hanya bisa berkata lirih, “thank you, Stan Lee! Thank you, MCU!”.

#5 Keluarga Cemara


Tak terhitung berapa kali aku menyeka air mata yang menuruni pipi, memberi pelukan erat-akrab kepada diri sendiri, hingga muncul dorongan untuk sesegera mungkin menelpon orang bau tanah di rumah ketika menonton Keluarga Cemara yang merupakan salah satu film Indonesia terindah yang pernah saya tonton. Deskripsi yang mungkin terdengar agak hiperbolis, tapi sejujurnya, ini benar-benar terjadi. Ketimbang mengeksploitasi kesedihan, film mencoba tampil berenergi dengan segala humor yang ciptakan gelak tawa serta adanya pesan penumbuh semangat yang sekaligus berfungsi menghilangkan stereotip terhadap kemiskinan. Pada akibatnya, bukan hanya kontribusi para pemain yang dapat membawa emosi dalam Keluarga Cemara semenonjok ini, melainkan juga naskah bernas, pengarahan penuh sensitivitas dari Yandy Laurens, pilihan-pilihan lagu pengiring yang menyatu, beserta penyuntingan mengalir.

#4 The Peanut Butter Falcon


The Peanut Butter Falcon yaitu film sederhana yang lebih menekankan pada korelasi kepedulian yang terbentuk diantara para huruf kesepian alih-alih dihamparkan sebagai sajian petualangan yang mendebarkan. Film ini bertutur secara apa adanya dan justru disitulah yang menciptakan saya bisa jatuh cinta kepadanya. Terasa jujur, faktual, sekaligus merasuk di hati. Didukung ikatan kimia meyakinkan dari para pemainnya, saya pun menyunggingkan senyum dan meneteskan air mata haru setiap kali tiga karakter utama berinteraksi. Saya mampu merasakan adanya cinta kasih yang nrimo diantara mereka, aku dapat merasakan bahwa mereka saling membutuhkan, dan aku mampu menyampaikan bahwa mereka adalah definisi dari kata superhero. Mereka memang tidak menyelamatkan dunia dari marabahaya, tetapi mereka telah menyelamatkan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar dengan kekuatan yang kita sebut cinta. Indah sekali.

#3 Parasite


Ketimbang menjejali penonton dengan petuah-petuah atau obrolan-dialog banal guna menekankan komentar si pembuat film terhadap kesenjangan sosial yang memisahkan si miskin dengan si kaya, Parasite justru memberi kita rangkaian adegan menggelitik, mendebarkan, serta menyesakkan yang membuat setiap menitnya begitu mengikat atensi sehingga terasa nikmat buat disantap. Saat film berakhir, kita disadarkan oleh kenyataan bahwa tidak ada aksara yang sepenuhnya putih higienis tanpa dosa di sini dan kedua belah pihak pun pada dasarnya yaitu benalu bagi pihak lain. Yang kita anggap sebagai parasit rupanya mempunyai motif masuk akal dibalik tindakan mereka, sedangkan yang kita anggap sebagai korban ternyata bukan pula kaum suci. Sulit juga untuk menyalahkan masing-masing pihak alasannya mereka sejatinya korban kapitalisme dan korban ekspektasi sosial yang menuntut kesempurnaan beserta pencapaian besar.

#2 The Farewell


Sebuah dongeng mengenai kembali ke kampung halaman untuk berkumpul kembali bersama keluarga memang acapkali goreskan rasa hangat di dada. The Farewell mengangkat narasi tak lekang zaman tersebut seraya memperbincangkan tentang berdamai dengan kehilangan, perbedaan kultur yang mencolok, sampai kontradiksi pedoman dari tiga generasi. Sebagai bab dari generasi milenial yang kebetulan tinggal di benua Asia bersama keluarga konservatif yang menjunjung tinggi budbahasa ketimuran, saya bisa memahami perasaan si huruf utama yang mengalami gegar budaya. Pengalamannya serupa, tapi tak sama. Dalam merekam perjalanan berkunjung ke rumah nenek yang kurang mengenakkan ini, si pembuat film memilih menginjeksikan banyak sekali humor dalam setiap momen ketimbang bermuram durja. Sebuah pendekatan yang menarik mengikuti narasinya yang mengajak kita untuk merayakan kehidupan ketimbang meratapi akhir hayat.

#1 Klaus


Tidak sulit untuk menyebut Klaus sebagai salah satu film terbaik yang pernah aku tonton. Sebuah interpretasi gres atas dongeng asal mula Sinterklas ini dihantarkan secara jenaka, seru, sekaligus menyentuh. Ditunjang oleh ukiran animasinya yang sangat cantik dimana setiap menitnya tak ubahnya lukisan di galeri seni, lagu pengiring yang gampang nyantol di indera pendengaran, serta pesan klasiknya yang mengena wacana menyebarkan kebaikan, semakin sulit untuk menolak pesonanya begitu saja. Saya tidak hanya dibentuk bergembira selama menontonnya, tetapi saya juga mencicipi ketenangan hati dan aku pun dibentuk terpukau oleh sisi magisnya yang menguar besar lengan berkuasa. Dialognya yang berbunyi “we need to show people that a true selfless act always spark another” membekas berpengaruh, begitu pula dengan adegan penutupnya yang menunjukkan definisi atas kata “indah”. Klaus yang layak menerima predikat instant classic sebagai tontonan pemeriah Natal ini menawarkan bahwa film animasi 2D masih sangat layak untuk diperhitungkan.

Post a Comment for "25 Film Terbaik 2019 Versi Cinetariz"