Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Yowis Ben 2


“Koen kabeh eling. Nek ga sukses, uripmu kabeh bakal sepi koyo kuburan iki.”

“Jare sopo sepi? Rame ngene og.”

Saat dirilis di bioskop pada tahun 2018 silam kemudian, siapa yang menyangka Yowis Ben akan disambut dengan sangat hangat oleh penonton? Keputusan untuk menggunakan Bahasa Jawa Malangan sebagai obrolan utama terperinci terbilang nekat, bahkan sempat pula mengundang kontroversi tak perlu yang dikait-kaitkan dengan masalah nasionalisme. Bagi penonton yang tak memahami Bahasa Jawa, Yowis Ben mampu jadi kurang menggoreskan kesan. Namun bagi mereka yang paham betul terlebih bagi penutur asli dialek Malang dan sekitarnya, film ini menghadirkan sebuah hiburan mengasyikkan. Narasinya membumi, begitu pula dengan guyonan-guyonannya yang terdengar dekat di indera pendengaran. Sebagai orang Jawa tulen yang kebetulan cukup mengenal kota Malang, aku jelas menikmati suguhan dari Fajar Nugros bersama Bayu Skak ini. Memang jauh dari kata tepat (well, ada aneka macam catatan yang aku tinggalkan buat film ini), tapi aku menyukai nada penceritaannya yang begitu enerjik sekaligus mengalir lancar seolah tanpa beban. Tipe tontonan yang lezat disimak beramai-ramai maupun dimanfaatkan untuk mengobati kegundahan hati. Puecah pol! Kesanggupan aku dalam menemukan sisi excitement yang terkandung di Yowis Ben ini tentu membuat saya bergembira begitu mendengar kabar bahwa film kelanjutannya telah dipersiapkan. Hanya saja, saya pun mempunyai sejumlah kekhawatiran terhadap nasib film ini yang dipicu oleh: 1) adanya kemungkinan si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan pun tak lagi luwes, dan 2) adanya kemungkinan Yowis Ben 2 terkena kutukan sekuel. Saya pun seketika berdoa, “supaya kekhawatiran ini tak pernah terjadi. Semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi.”

Dalam Yowis Ben 2 yang mengambil latar penceritaan satu tahun selepas film pertama, penonton dipertemukan kembali dengan para personil Yowis Band yang terdiri atas Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), serta Yayan (Tutus Thomson). Tidak lagi dijadikan sasaran bulan-bulanan, sekarang Yowis Band cukup sering memperoleh anjuran manggung meski baru sebatas dalam lingkup kota Malang. Gagasan untuk memperluas sayap Yowis Band ke tingkatan lebih luas lantas muncul setelah keluarga Bayu dihadang dilema pelik: terancam ditendang dari kontrakan apabila gagal melunasi tungakkan uang sewa. Cak Jon (Arief Didu) selaku manajer Yowis Band pun mencoba membantu dengan mencarikan usul manggung bagi grup band kesayangannya ini yang sayangnya justru berakhir buruk. Alih-alih menerima uang, mereka lebih sering ditodong uang alasannya menciptakan kekacauan. Ditengah kekecewaan alasannya jalan menuju ketenaran tampak telah tertutup rapat, Bayu bertemu dengan Cak Jim (Timo Scheunemann) yang mengaku sebagai manajer artis profesional. Cak Jim menawari sekelompok anak muda ini dengan iming-iming menggiurkan adalah meniti karir bermusik di kota Bandung. Berhubung Bayu membutuhkan uang untuk membayar hutang, Yayan memerlukan tabungan untuk menghidupi istri yang baru dinikahinya, Nando mencari pelampiasan atas kekecewaannya terhadap sang ayah, dan Doni menginginkan seorang kekasih, maka mereka pun mendapatkan kontrak dari Cak Jim tanpa berpikir panjang. Yowis Band memecat Cak Jon, hengkang dari Malang, kemudian terbang menuju Bandung dimana segalanya ternyata sama sekali tak sesuai dengan bayangan mereka.  


Mengikuti tradisi tak tertulis dari sekuel, Bagus Bramanti selaku penulis skenario pun memperluas sekaligus memperumit guliran pengisahan yang diusung oleh Yowis Ben 2. Bukan lagi sebatas kisah memenangkan pujaan hati menggunakan jalur grup band, ini juga kisah ihwal memperjuangkan mimpi dan bagaimana idealisme beserta prinsip seringkali berbenturan dengan realita ditengah perjalanan dalam merengkuh mimpi tersebut. Memang terdengar cukup berat, tapi Yowis Ben 2 sendiri tak pernah tertarik untuk menguliti problem yang dikemukakannya ini secara mendalam. Sederet konflik yang menghiasi film mirip Nando yang sulit mendapatkan kenyataan kalau dirinya akan memiliki ibu tiri, Doni yang kebelet mempunyai pacar, sampai Yayan yang menikahi Mia (Anggika Bolsterli) melalui proses ta’aruf terasa sekadar numpang lewat. Si pembuat film seolah hanya ingin menggugurkan kewajiban untuk menawarkan persoalan kepada aksara-karakter pendukung sehingga film tak terkesan Bayu-sentris. Semua-muanya ihwal Bayu. Saya mulanya senang-bahagia saja mendengar keputusan ini terlebih penonton sejatinya masih kurang mengenal huruf Doni dan Yayan yang kehidupan pribadinya belum digali di film pertama. Namun seiring berjalannya durasi, Yowis Ben 2 tiba-datang melupakan mereka dan kembali mengedepankan problem Bayu yang sekali lagi berkutat dengan asmara. Saya pun dibuat bertanya-tanya, apakah memberi pasangan bagi karakter ini yaitu suatu kewajiban? Mengapa film tidak fokus saja kepada narasi tentang pergulatan Yowis Band dalam meniti karir dan bagaimana realita ternyata tak sejalan dengan ekspektasi yang telah mereka tanamkan?

Maksud saya, pilihan kedua terasa lebih nyaman diikuti apalagi film sejatinya berada di momen-momen terbaiknya ketika menyoroti keempat personil Yowis Band. Saya penasaran dengan proses pendewasaan diri dari para aksara utama. Soal dilema-masalah mereka, pandangan-pandangan mereka, atau pilihan-pilihan mereka berkenaan dengan periode depan grup musik. Apalagi ada pertaruhan besar menanti dimana kesalahan dalam mengambil keputusan mampu meretakkan relasi yang telah dibina dengan baik. Ketimbang mengeksplorasinya, si pembuat film lebih memilih untuk menyodori penonton dengan kisah Bayu bersama perempuan yang ditaksirnya, Asih (Anya Geraldine), beserta ayahnya yang terkesan diada-adakan demi memberi kesempatan bagi Bayu untuk memperoleh pengganti Susan (Cut Meyriska) dan menjejali penonton dengan setumpuk pesan budpekerti. Entahlah, tidak mirip film pertama yang mampu mengalir lancar, aku merasa Yowis Ben 2 terlalu berusaha untuk menjadi menu yang lebih mengesankan dari sang pendahulunya sehingga terkesan dibentuk-buat. Upayanya dalam menyelipkan tuntunan membuat film terasa amat nyinyir di beberapa titik, kemudian upayanya dalam menghadirkan narasi lebih kompleks tidak dibarengi dengan penyampaian mumpuni yang membuat konklusinya terasa menggampangkan. Peralihan adegan yang cenderung melompat-melompat tentu sama sekali tidak membantu. Padahal film sejatinya sudah tampil meyakinkan di menit-menit awal yang terlihat dari banyolan-banyolannya yang masih mengundang gelak tawa riuh, kemunculan Anggika Bolsterli yang menambah level kegilaan diantara personil Yowis Band, barisan soundtrack yang gampang nempel di pendengaran, sampai perpaduan dengan budaya Sunda yang membuat gegar budaya menggelitik.


Tapi sedari keterlibatan abjad Asih secara aktif dalam narasi yang menggerus cabang konflik lain (termasuk Cak Jon yang nyaris tak lagi dibahas), Yowis Ben 2 mulai luntur pesonanya yang turut dibarengi pula oleh menurunnya tingkat kelucuan humornya. Memang masih menghibur, hanya saja tiada momen “pecah puol!” yang mampu dijumpai di sisa durasi. Saya tentu kecewa alasannya adalah kekhawatiran yang sempat saya ungkapkan di paragraf pembuka ternyata benar-benar terjadi. Kentara terasa, si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan dalam Yowis Ben 2 tak benar-benar mengalun secara luwes.

Acceptable (2,5/5)     

Post a Comment for "Review : Yowis Ben 2"