Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Aruna Dan Lidahnya


“Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati, trus tenggang rasa trus jatuh hati.” 

Disadur secara bebas dari novel berjudul sama rekaan Laksmi Pamuntjak, Aruna dan Lidahnya menyoroti perjalanan empat sekawan ke empat kota di Indonesia dalam misi menginvestigasi masalah flu burung dan pencarian kuliner. Empat sekawan tersebut antara lain Aruna (Dian Sastrowardoyo), Farish (Oka Antara), Bono (Nicholas Saputra), dan Nad (Hannah Al Rashid). Mulanya, perjalanan ini diniatkan sebagai pelesiran untuk icip-icip masakan Nusantara semata oleh Aruna dan sobat baiknya yang seorang koki, Bono, guna menindaklanjuti rencana kulineran yang terus tertunda. Tapi sehabis Aruna yang menjalani profesi sebagai jago wabah ditugaskan oleh atasannya untuk menilik masalah flu burung di Surabaya, Pamekasan, Pontianak, beserta Singkawang, mereka pun seketika mengubah planning. Bono mengikuti Aruna dalam perjalanan dinasnya, dan mereka akan berburu masakan khas tempat setempat usai Aruna menuntaskan pekerjaannya. Ditengah perjalanan ini, keduanya turut menyambut kehadiran Nad, kritikus masakan yang ditaksir Bono, dan Farish, mantan rekan kerja Aruna yang turut ditugaskan dalam investigasi ini. Keberadaan dua pendatang ini membuat perjalanan yang semestinya sederhana menjadi terasa rumit lantaran Aruna membisu-diam menaruh hati kepada Farish. Aruna mengalami pergolakan batin tatkala hendak mengungkapkan cintanya karena dia mengetahui sang pujaan hati telah memiliki kekasih dan ditambah lagi, Nad terlihat mirip menaruh perasaan yang sama kepada Farish. 

Tak mirip karya-karya terdahulunya yang sarat simbol selaiknya Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) maupun Kebun Binatang (2012), serta mengedepankan narasi kompleks nan muram untuk dongeng percintaan sampaumur yang umumnya straight to the point mirip diterapkannya dalam Posesif (2017) yang menghadiahinya sebuah Piala Citra, Edwin mencoba menarasikan Aruna dan Lidahnya secara apa adanya dan cenderung cerah ceria. Malah, penuh dengan gelak tawa. Memang betul sang sutradara masih menyelipkan unsur surealis ke dalam penceritaan yang bergerak di jalur realis, mirip mimpi-mimpi Aruna atau berdangdut ria diiringi tembang “Hoka-Hoke” di atas kapal pesiar. Tapi secara keseluruhan, film ini bertutur secara konvensional tanpa membutuhkan penafsiran macam-macam terhadap visual yang dihamparkannya. Kamu bisa saja mengikuti perjalanan Jeung Aruna seraya menyantap nasi goreng, mengudap kentang goreng, dan menyeruput es kopi susu pandan. Saya sangat menyarankanmu untuk tak menyaksikan film ini dalam keadaan perut kosong atau tanpa ditemani masakan buat disantap alasannya adalah parade makanan yang menghiasi layar (konon, total jendral ada 21 jenis masakan khas Indonesia yang nongol di film ini) bakal menciptakan perutmu bergemuruh. Sungguh menggoda akidah! Rentetan kuliner tersebut muncul sebagai penanda peralihan lokasi menggantikan landmark yang sudah terlanjur umum, penggerak cerita mengingat motivasi sebagian karakter di film ini bersinggungan dengan makanan, hingga tentunya, dimanfaatkan sebagai analogi atas perasaan yang menghinggapi sang protagonis utama. 


Meski poin terakhir tak selalu diterapkan – paling mencolok ada di adegan Aruna menyantap rujak soto seorang diri – yang bahu-membahu cukup disayangkan karena aku berharap mampu mendengar lebih banyak filosofi dibalik suatu masakan, tapi setidaknya gugusan masakan tersebut bukan sebatas gimmick. Kecintaan terhadap makananlah yang mendorong Aruna, Bono, serta Nad untuk merealisasikan perjalanan ini, sekaligus mendekatkan Aruna dengan Farish. Keduanya acapkali cekcok apabila membicarakan wacana pekerjaan, tapi keduanya rukun ketika menyantap masakan khas suatu kota. Pun begitu, Edwin tak melulu menyodori penonton dengan pemandangan menggiurkan lisan dan perut. Tak melulu pula mempergunjingkan ihwal kuliner sekalipun interaksi antar aksara kerap difasilitasi oleh meja makan. Dalam perjalanan kuliner berselimutkan perjalanan dinas ini, kita turut diajak memperbincangkan tentang asmara, persahabatan, passion, kehidupan, hingga politik. Ya, materi dialog empat sekawan tersebut tak hanya berputar-putar di kisaran masakan terlebih Farish termasuk tipe “yang penting kenyang”. Pembicaraan seputar urusan hati sangat sering disorot mengingat keempatnya terperangkap dalam dilema memendam cinta, kemudian terkait persahabatan serta passion bisa ditemukan melalui interaksi mereka dan semangat membuncah dalam diri Bono-Nad saat dipertemukan dengan kuliner, kemudian mengenai kehidupan mampu ditengok dari celotehan pasien-pasien terindikasi flu burung (plus keluarganya), sementara politik erat kaitannya dengan pemeriksaan flu burung yang dijalankan oleh Aruna-Farish. Pada satu titik, keduanya sempat dihadapkan pada satu pertanyaan: apakah mungkin pemeriksaan ini hanya nalar-akalan pusat demi memperoleh kucuran dana? Menarik. 

Pun begitu, dialog mengenai masalah flu burung dan sederet topik lain untuk menemani perjalanan tak lantas menjamin Aruna dan Lidahnya terbebas sepenuhnya dari fase jenuh. Menginjak pertengahan durasi, film yang semula enerjik terasa agak gontai. Plot seputar investigasi berjalan di daerah tanpa ada perkembangan signifikan dari menit-menit awal bahkan bahwasanya tak terasa urgensinya menampilkan subplot ini selain demi patuh pada bahan sumber, begitu pula dengan plot seputar asmara yang tak banyak memperlihatkan pergerakan. Apabila jajaran pemain kurang luwes dalam berlakon, datangnya fase semacam ini merupakan mengambarkan datangnya bencana alam. Beruntung, Aruna dan Lidahnya turut disokong oleh chemistry asyik keempat pemainnya sehingga penonton tak terjebak dalam kebosanan. Dian Sastro, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid terlihat meyakinkan selayaknya trio mitra baik yang telah usang tak ngumpul bareng, sedangkan Oka Antara tak ubahnya orang asing dalam bundar pertemanan ini yang memberi percikkan nuansa kecanggungan. Ketika mereka dibiarkan untuk bangkit sendiri, Dian Sastro dan Hannah Al Rashid menjadi duo paling menonjol. Saya menyukai energi yang diberikan oleh Hannah untuk karakternya yang menggemari tantangan, saya juga menyukai lisan berikut gestur yang ditunjukkan Dian Sastro setiap kali karakternya malu-aib tapi mau ketika berada di bersahabat Farish dan 'merobohkan dinding kempat' (seolah berbicara kepada penonton mirip Deadpool). Bikin gemas, bikin ketawa ngakak. Lakon apik jajaran pemain ini merupakan salah satu kunci yang membuat Aruna dan Lidahnya terasa yummy kala disantap disamping visual yang bikin ngiler dan pemilihan lagu-lagu pengiring dari masa 80-an sampai 90-an yang mampu merasuk ke dalam sejumlah adegan utamanya “Antara Kita” milik Rida Sita Dewi yang dibawakan ulang oleh Monita Tahalea.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Aruna Dan Lidahnya"