Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Under The Shadow


"They travel on the wind, moving from place to place until they find someone to possess"

Sebelum lahirnya A Girl Walks Home Alone at Night (2014), tidak sedikit publik internasional yang dibuat bertanya-tanya, “bagaimana sih wajah sinema Iran dalam film horor?,” lantaran selama ini acuan atas film asal Iran mayoritas terbatas di sektor drama. Memang sih film vampire berhijab ini merupakan keluaran Negeri Paman Sam, namun paling tidak khalayak ramai memperoleh cukup pandangan bakal mirip apa wujudnya jika-bila sineas Persia mencoba mempermainkan rasa takut penonton dalam produk kreatif. Tontonan terbaru kreasi sutradara debutan Babak Anvari yang mewakili Inggris Raya di ajang Oscars tahun depan, Under the Shadow, pun tak beda jauh kasusnya dengan A Girl Walks Home Alone at Night. Memperoleh banyak santunan dari pemain serta kru berdarah Iran, nyatanya film ini merupakan hasil kerjasama antara Inggris dengan Qatar dan Yordania alih-alih produk lokalan seperti kerap dikira banyak pihak. Berita jelek? Sama sekali tidak. Malahan adanya laba tersendiri tidak terbentur dengan dilema sensor membuat Under the Shadow lebih lugas dan bebas dalam menyuarakan kegundahan hati si pembuat filmnya terkait mimpi jelek yang terlahir dari situasi sosial politik dan represi terhadap perempuan di Iran. Yang membuatnya terdengar semakin menarik, segala bentuk komentar sosial ini disampaikan melalui film bergenre horor. 

Under the Shadow mengambil latar dongeng di Tehran, Iran, pada masa 1980-an masa Perang Revolusi Iran tengah berkecamuk andal. Satu persatu penduduk ibukota menentukan mengungsi ke pinggiran – atau malah bertolak ke negara lain – alasannya keadaan yang jauh dari kata kondusif. Bayangkan, ketika misil yang dilontarkan oleh Irak bisa saja mendarat anggun di atas atap rumahmu sewaktu-waktu, bukankah perasaan tentram lantas menjadi barang paling mewah yang bisa kau peroleh? Sekalipun dirundung situasi mencekam seperti ini dan sang suami ditugaskan ke garda depan, Shideh (Narges Rashidi) bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap bertahan di rumah bersama putri semata wayangnya, Dorsa (Avin Manshadi), alih-alih bergabung bersama keluarga mertuanya mirip saran dari sang suami. Alasannya, Shideh ingin menunjukan kepada suaminya bahwa beliau bisa mengurus Dorsa seorang diri. Mula-mula sih tanggung jawab ini terkesan remeh saja bagi Shideh apalagi ada dukungan dari tetangga akrab dan alarm beserta bunker selalu bisa diandalkan apabila ada misil mendekat. Namun keadaan perlahan kian memburuk pula aneh selepas sebuah misil nyaris meluluhlantakkan gedung apartemen yang didiami Shideh, berlanjut pindahnya satu persatu penghuni gedung. Dorsa percaya ada kekuatan jahat berwujud Jin sedang mengincar mereka berdua.  

Aroma horor belum terendus di menit-menit pertama film. Titik lontar Under the Shadow sedikit banyak mengingatkan kita ke tontonan drama buatan Asghar Farhadi, semisal A Separation, yang mengetengahkan pada pertikaian pasangan berskala domestik. Teror yang mendera abjad utama di paruh ini tidaklah berelemen supranatural nan menggedor jantung, melainkan lebih ke psikis akhir rongrongan lingkungan sekitar yang tidak ramah pada wanita. Ya, Shideh telah dikondisikan dalam posisi tercekam semenjak Babak Anvari mulai menggulirkan narasinya. Disamping misil dari Irak yang rutin dikirim untuk menerjang Tehran (which is, ini yaitu teror bagi seluruh penduduk yang masih bertahan), Shideh dikungkung oleh ketidaknyamanan lainnya. Pertama, fakta bahwa beliau mustahil lagi mewujudkan mimpinya menjadi dokter alasannya keterlibatannya dengan kelompok sayap kiri penentang pemerintah pada beberapa tahun silam. Dan kedua, sang suami meragukan kompetensinya sebagai seorang ibu. Kedua masalah ini yakni teror bagi Shideh belum lagi ditambah peraturan bersifat opresif dari pemerintah Iran terkait penggunaan hijab di ruang publik yang di suatu waktu malah menambah beban problem Shideh. Guna melepas stres, Shideh kerap kali diperlihatkan berolahraga mengikuti kode dari Jane Fonda melalui video yang diputar di VCR hanya mengenakan tank top yang ironisnya termasuk bentuk pelanggaran lain berdasarkan undang-undang pemerintah (VCR terhitung barang ilegal periode itu). 

Anvari mendayagunakan elemen drama ini sebagai corongnya untuk menyuarakan keresahan-keresahannya terhadap para perempuan yang menghadapi diskriminasi gender, selain tentunya demi membentuk karakterisasi dari dua tokoh utamanya biar membentuk ikatan emosi dengan penonton. Bagi penonton yang hanya ingin ditakut-takuti seraya mencemil berondong jagung tanpa mau ribet, laju film ini mungkin akan bermasalah. Cenderung lambat, seringkali sunyi, namun sejatinya tidak pernah berasa menjemukan karena rentetan konfliknya mengusik pikiran dengan komentar-komentar sosialnya yang masih terdengar sangat relevan dan performa brilian kedua pelakon utamanya memustahilkan kita untuk kala terbelakang pada apa yang mereka alami. Penonton sangat mampu terhubung dengan masing-masing tokoh. Narges Rashidi memberi potret meyakinkan sebagai perempuan tangguh yang mengalami tekanan dari lingkungan di sekitarnya. Amarahnya, kegelisahannya, hingga ketakutannya tersalurkan sangat baik lewat air muka. Begitu juga Avin Manshadi yang memerankan putrinya, memberikan performa sangat besar lengan berkuasa dalam debut aktingnya. Tatapan matanya mampu berbicara banyak; kadang menunjukkan ketakutan, kebingungan, kadang pula memberi sinyal kejengkelan luar biasa pada sang ibu. Rasa-rasanya apabila Oscars mempunyai kategori Pemain Cilik Terbaik, mungkin saja beliau terdaftar sebagai salah satu nomine. Yup, she’s that good

Sekalipun Under the Shadow menaruh perhatian teramat tinggi pada lantunan dramatiknya, Anvari tidak lupa menunaikan tugasnya untuk turut mendorong munculnya rasa takut penonton. Ada satu dua jumpscares berdaya sentak mencukupi disertakan olehnya yang akan membuatmu terlonjak dari bangku bioskop, namun bagi saya secara personal, ketakutan lebih banyak diperoleh dari permainan atmosfir atau era-abad saat si lelembut tidak memberikan rupanya ke penonton. Ketika Shideh mencicipi adanya ketidakberesan di kawasan tinggalnya tapi tak mampu benar-benar mengonfirmasi apakah memang ada makhluk lain di dekatnya seperti berulang kali diutarakan Dorsa atau itu hanya delusi belaka hasil dari tekanan demi tekanan. Terlepas dari apapun jawabannya, penonton berada di fase terteror sesuatu yang bersifat supranatural. Mengerikannya, ini seperti dikala kita sedang berada di rumah atau kos sendirian (yup, tak ada seorangpun!) kemudian menyadari adanya keganjilan sulit terjelaskan dan kita tidak bisa memastikannya entah alasannya pandangan mata terbatas atau sekadar ulah dari khayalan yang kelewat liar. Rasa takutnya ada di level berbeda. Ya, alasannya mengetahui ada sesuatu yang salah tetapi tidak bisa melihatnya itu seringkali lebih angker ketimbang mampu mendeteksi secara terang dimana letak kesalahannya. Cara inilah yang ditempuh Anvari dalam mempermainkan ketakutan penontonnya di Under the Shadow dan harus diakui, itu sangatlah jitu!

Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Under The Shadow"