Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Sunyi (Death Whisper)


“Senioritas kan anggun buat character building.”

Jika Indonesia mempunyai Jelangkung (2001) yang dianggap sebagai salah satu film paling berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman tanah air dari mati suri, maka Korea Selatan memiliki Whispering Corridors (1998) yang merayakan lahirnya kebebasan dalam berekspresi sesudah berpuluh-puluh tahun lamanya pemerintah memberlakukan sensor ketat terhadap industri kreatif. Dalam instalmen pertama dari lima seri film ini – kesemuanya dipersatukan oleh latar tempat dan tema – si pembuat film tak segan-segan melontarkan beragam kritik khususnya wacana sistem pendidikan di Korea Selatan yang dinilai terlalu menekan siswa. Keberaniannya menyuarakan keresahan masyarakat inilah yang menciptakan Whispering Corridors memperoleh sambutan hangat dari publik, sekalipun secara kualitas tergolong mengenaskan. Setelah mengakhiri franchise lewat A Blood Pledge (2009), atau setidaknya hingga saat ini, “koridor berbisik” menetapkan untuk berkelana ke pasar internasional. Tujuan pertama yang mereka sambangi ialah Indonesia dimana Pichouse Films menunjukkan ketertarikan untuk mengadaptasinya ke dalam versi Indonesia menggunakan tajuk Sunyi. Seperti halnya judul-judul yang tergabung dalam waralaba tersebut, Sunyi pun enggan mengadopsi jalinan pengisahan yang mempunyai kesinambungan dengan jilid awal. Satu-satunya benang merah yang dibawanya ialah tema besar yang memperbincangkan soal kebobrokan dalam institusi pendidikan.

Kebobrokan yang dimaksud oleh Sunyi berkaitan dengan tradisi senioritas yang berujung pada perundungan. Oleh Awi Suryadi (trilogi Danur, Badoet) selaku sutradara, kita diboyong menuju ke sekolah swasta kenamaan bernama SMA Abdi Bangsa yang masih memberlakukan ospek dengan tujuan utama untuk memperlihatkan superioritas sekaligus membalas dendam. Ya, para siswa kelas 11 yang menyebut diri mereka sebagai “manusia” (sebagai catatan, kelas 12 disebut “raja” lalu alumnus dipanggil “dewa) ingin menunjukkan kepada murid-murid gres yang dijuluki “budak” bahwa sekolah ini menjunjung tinggi senioritas. Para budak harus tunduk kepada perintah-perintah manusia, termasuk tidak boleh memakai beberapa kemudahan sekolah, dan mereka pun haram hukumnya mengadu kepada guru maupun orang tua atas segala perundungan yang diterima kecuali bersedia dikucilkan dari lingkaran alumnus yang kebanyakan diantaranya yaitu orang-orang penting. Mendapat bahaya mirip ini, Alex (Angga Yunanda) terperinci tak mampu berbuat apa-apa kecuali mendapatkan kenyataan. Toh beliau masih mampu mencurahkan kekesalannya di buku bagan dan menghabiskan waktu bersama murid gres lainnya, Maggie (Amanda Rawles), yang selalu mampu membangkitkan mood-nya. Saat Alex menduga segalanya tidak mungkin mampu lebih jelek lagi, ketiga seniornya; Andre (Arya Vasco), Erika (Naomi Paulinda), serta Fahri (Teuku Rizki), datang-tiba memaksanya untuk melakukan ritual pemanggilan arwah. Sebuah keisengan yang lantas mendatangkan bencana alam hebat bagi akil balig cukup akal-dewasa tukang bully ini.


Bagi aku yang telah berbulan-bulan lamanya dikecewakan oleh film horor tanah air sampai berada dalam fase “kayaknya saya berhenti nonton genre ini saja deh”, kehadiran Sunyi terang membahagiakan. Film ini mampu mengembalikan doktrin terhadap hidangan memedi buatan sineas Indonesia yang nyaris telah padam. Padahal, jika boleh jujur, saya sejatinya tidak terlalu berharap banyak kepada Sunyi alasannya tiga faktor: 1) aku kurang menyukai Whispering Corridors beserta seri-seri yang mengikutinya, 2) pengarahan Awi Suryadi dalam dwilogi Danur terasa kurang klik bagi aku, dan 3) rilisan Pichouse Films (atau MD Pictures) umumnya mengandalkan trik menakut-nakuti busuk yang cenderung berisik. Makara, apa yang bisa diharapkan? Sikap skeptis yang aku boyong saat melangkahkan kaki ke gedung bioskop ternyata berujung kejutan. Sunyi ternyata mampu menghadirkan tontonan seram yang menarik tanpa harus bergantung kepada jump scares serampangan. Tak ada makhluk gaib yang menampakkan diri secara sesuka hati saban beberapa menit sekali sampai-hingga jatah tampil pemain utamanya pun diembat, tak ada pula musik pengiring yang menghujam-hujam pendengaran hingga memerlukan penanganan dokter THT. Gaya tutur film ini sedikit banyak mengingatkan pada film-film horor dari Korea Selatan maupun Jepang yang cenderung pelan serta lebih banyak mengandalkan bangunan atmosfer untuk membuat kengerian. Ya, sumber ketidaknyamanan penonton dalam Sunyi memang bukan berasal dari kejut-kejutan yang diberondong setiap ketika, melainkan dari lorong-lorong sekolah dengan pencahayaan temaram, ruang olahraga yang luas nan kosong, hingga bak renang yang gelap. Coba saja bayangkan dirimu tengah berada di sekolah yang sunyi seorang diri, bukankah terasa mengerikan?

Saya sendiri mengalami kegelisahan berulang kali selama menonton Sunyi. Adegan penampakan hantunya memang kurang menghentak – bahkan tata riasnya agak menggelikan – tapi diri ini dilingkupi rasa tidak nyaman akhir ambience-nya hingga-sampai sempat pula melontarkan keluhan, “aduh, jangan-jangan habis ini setannya nongol nih. Iya kan? Iya kan?.” Dari sederet momen menakutkan yang menghiasi film, favorit secara personal adalah ketika Erika mondar-mandir di loker kemudian ke bak renang pada malam hari. Sinematografi dinamis dari Adrian Sugiono dan iringan musik creepy yang digubah oleh Ricky Lionardi memungkinkan adegan yang sebenarnya telah muncul di trailer ini tetap mempunyai daya cekam yang dibutuhkan. Bisa jadi, kamu tidak akan berani lagi untuk berenang-renang seorang diri. Hiii… Disamping production value yang mempunyai kualitas cemerlang dan pengarahan Awi yang mengalami peningkatan cukup baik dalam kaitannya meramu teror, faktor lain yang lalu menempatkan Sunyi berada di atas rata-rata film horor lokal adalah jalinan pengisahannya yang mempunyai bobot. Alih-alih sebatas berisi rentetan teror tak berkesudahan yang tanpa makna, Sunyi mencoba pula untuk bercerita dan menyampaikan pesan dengan baik. Ada kritik terhadap lestarinya perundungan di institusi pendidikan berkedok ospek atau tradisi yang memakai dalih “untuk menguatkan mental”, ada pertolongan latar belakang yang memadai untuk huruf-aksara inti sehingga kita bisa memahami motivasi atas tindakan-tindakan mereka, dan ada juga upaya memberi momen menghangatkan hati yang cukup berhasil menciptakan mata aku berkaca-kaca.


Meski pada kesannya Sunyi masih meninggalkan beberapa catatan mirip jajaran pelakon yang memberi performa terlalu sinetron-ish (untungnya Angga Yunanda beserta Amanda Rawles sama sekali lumayan), langkahnya untuk menyajikan tontonan menyeramkan yang berbeda tetap layak diapresiasi. Terlebih lagi, penggarapannya pun berada di kelas yang mumpuni. Kapan lagi coba bisa berkata dengan bangga “Sunyi lebih baik dari materi aslinya adalah Whispering Corridors yang notabene film Korea Selatan lhooo…” sehabis menyaksikan film horor Indonesia? Jarang-jarang kan.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Sunyi (Death Whisper)"