Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Asih


“Aku mengenalnya sebagai Kuntilanak, kalian mengenalnya sebagai Asih.” 

Apakah kamu masih ingat dengan sesosok hantu perempuan yang meneror Risa Saraswati (Prilly Latuconsina) di Danur jilid pertama (2017)? Jika kau lupa-lupa ingat – atau malah tidak tahu menahu – saya bantu menyegarkan ingatanmu. Dalam film tersebut, Risa berhadapan dengan sesosok perempuan bernama Asih (Shareefa Daanish) yang mulanya dianggap sebagai pengasuh biasa. Tak lama semenjak kehadiran Asih di sekitarnya, serentetan kejadian ganjil mulai bermunculan satu demi satu sampai puncaknya Risa mesti menjelajah dunia astral demi menyelamatkan adiknya yang diculik oleh Asih. Kamu mungkin bertanya-tanya, siapa sih pengasuh mistik ini? Apa motif yang melatari tindakannya? Penonton telah diberi sekelumit kurun lalunya yang tragis sebagai fallen woman. Dia hamil di luar nikah, dicampakkan oleh keluarga beserta tetangganya, lalu menetapkan untuk mengakhiri hidup di bawah pohon besar selepas membunuh bayinya. Penjelasan lebih lanjut mengenai kehidupannya sebelum berbadan dua tak dijabarkan seolah disimpan untuk mengisi materi bagi spin-off. Ya, disamping dongeng induk, materi sumbernya turut mempunyai beberapa cerita cabang yang menyoroti kisah para hantu yang mewarnai hidup Risa termasuk Asih. Sebuah bahan yang memungkinkan bagi MD Pictures untuk mengkreasi Danur universe dalam rangkaian film mereka sebagai bentuk ‘perlawanan’ bagi The Conjuring universe

Melalui film bertajuk Asih, Awi Suryadi (dwilogi Danur) yang kembali dipercaya untuk menempati bangku penyutradaraan melemparkan kita ke 37 tahun silam dan mempertemukan kita dengan sebuah keluarga kecil yang tampak senang. Keluarga kecil tersebut terdiri dari sepasang suami istri, Puspita (Citra Kirana) beserta Andi (Darius Sinathrya), dan sang mertua (Marini Soerjosoemarno) yang merupakan ibunda dari Andi. Mereka tengah menanti kelahiran putra pertama – plus cucu perdana – dari Puspita yang tengah hamil besar. Diperkirakan akan menjalani persalinan dalam waktu satu bulan sedari perbincangan di awal film, tak disangka-sangka Puspita justru melahirkan lebih cepat. Ada suka cita dalam menyambut datangnya anggota keluarga baru ini, ada pula kerisauan yang menghantui sang ibu. Selepas mendengar dongeng dari bidannya, Sekar (Djenar Maesa Ayu), mengenai mitos terkait bayi maupun eksistensi arwah dilanjut rumor mengenai perempuan yang baru saja mati bunuh diri di kampung sebelah, Puspita senantiasa was-was. Lebih-lebih, mertuanya kerap mencicipi adanya sosok lain di rumah mereka begitu pula dengan Puspita. Andi yang tak pernah mempercayai hal-hal berbau supranatural, mulai mempertimbangkan ulang kebenaran dibalik cerita sang istri dan sang ibu sesudah beliau menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa salah satu mitos mengenai bunyi ciap-ciap ayam ternyata benar adanya. Keluarga kecil ini pun seketika menyadari, ada kekuatan jahat yang tengah memburu mereka. 


Apabila kau berharap Asih akan mengulik lebih jauh masa lampau dari si karakter tituler, bersiaplah untuk mendengus kecewa. Kenyataannya, apa yang dijabarkan di sini tak lebih mendalam ketimbang apa yang telah kita peroleh dari Danur. Satu-satunya alasan yang melandasi mengapa nama Asih disematkan ke judul yakni alasannya adalah beliau menjadi hantu tunggal di sini. Satu-satunya peneror yang wara-wiri sepanjang durasi tanpa pernah terdistraksi oleh kemunculan makhluk gaib lain. Sosoknya dalam film ini pun tak ubahnya seperti dalam Danur yaitu sesosok hantu penuh amarah yang menghantui sebuah keluarga. Anehnya, sebagai film yang menggunakan judul Asih, penonton tak pernah benar-benar mengenal siapa bekerjsama beliau. Kita tidak tahu kehidupannya semasa menekuni dunia didik mengasuh, kita tidak tahu siapa laki-laki yang bertanggung jawab dibalik kehamilannya, kita tidak tahu seperti apa keluarganya kecuali mereka jahat karena mengusirnya usai kedapatan memiliki anak haram, dan kita pun tidak tahu mengapa si pembuat film harus menyebut “namanya Kasih, tapi entah semenjak kapan dia dipanggil Asih” melalui verbal salah satu karakter alasannya fakta kecil ini tak menambah apapun kecuali kita ikutan bertanya-tanya: kenapa ya? Ya, ada banyak hal yang tidak kita ketahui mengenai si hantu termasuk motivasinya dalam meneror keluarga Puspita yang hanya dijabarkan sekelebat saja. Mengingat era lalunya hanya memperoleh jatah waktu tidak lebih dari 10 menit (itupun masih diambil jatahnya untuk menjelaskan korelasinya ke film terdahulu), aku tak benar-benar bisa memahami tindakannya. 

Seperti halnya dua film induk, Asih abai terhadap naskah. Disamping tak memberi penokohan yang layak bagi si hantu, para aksara insan di sini juga sebatas stock character. Mereka ada hanya untuk dijadikan sebagai target serangan si hantu alih-alih mempunyai bantuan signifikan pada pergerakan kisah. Satu hal yang sering khalayak lupakan, dwilogi The Conjuring berhasil memainkan terornya bukan semata-mata alasannya trik menakut-nakutinya yang sempurna guna tetapi juga berkat barisan huruf yang memungkinkan kita untuk peduli. Mereka tampak hidup, mereka tampak kasatmata, mereka mirip kita. Dalam Asih, kita tidak menjumpai karakter-huruf utuh seperti itu jadi agak sulit bagi penonton untuk bersimpati kepada para karakter di film ini sementara kita tidak mengenal siapa mereka. Kita hanya mengetahui bahwa Puspita memercayai ada kekuatan jahat mengintai mereka, Andi skeptis terhadap kasus gaib, dan ibu mertua sudah mulai pikun. Tak ada dimensi dalam karakteristik mereka. Kepedulian Asih hanyalah bisa menciptakan penonton terlonjak dari bangku bioskop, sekalipun alasannya kaget alih-alih takut. Saya tentu tak bisa menyalahkan si pembuat film sebab tontonan mirip itulah yang dicari oleh sebagian besar penonton horor di Indonesia. Mereka datang ke bioskop berharap mampu berteriak-teriak (lalu tertawa-tawa untuk melepas stres) bersama sahabat-temannya tanpa pernah peduli soal penceritaan dan trik menakut-nakuti. Jika patokannya sesederhana itu, Asih bisa dikategorikan berhasil. Film ini memiliki beberapa momen yang menciptakan kehebohan di dalam bioskop. 


Yang saya apresiasi dari Asih yaitu upaya Awi Suryadi untuk tak mengandalkan penampakan ngasal maupun iringan musik berisik guna menciptakan teror. Dia bermain-main dengan atmosfer yang mengusik kenyamanan mirip lorong-lorong dalam rumah yang temaram atau suasana di sekitar rumah yang senantiasa sunyi. Tak ketinggalan, disisipkan pula dongeng mistis dibalik mitos-mitos tertentu demi menguarkan kesan creepy lebih kuat. Tak sepenuhnya berjalan mulus memang karena acuan teror senada membuatnya terasa repetitif begitu menginjak pertengahan durasi. Pengulangan demi pengulangan ini sempat menciptakan diri ini mencicipi kejenuhan yang untungnya tak berlangsung lama soalnya durasinya pendek berkat kemunculan satu dua momen yang mesti diakui mampu membangkitkan bulu kuduk. Momen yang aku maksud melibatkan Ayat Kursi, suara ciap-ciap ayam, serta dingklik goyang melayang. Ketiga adegan tersebut sebenarnya terbilang umum di film horor, tapi terbantu oleh ketepatan Awi dalam mengeksekusinya, permainan kamera, tata bunyi, beserta Shareefa Daanish yang memang menyeramkan sebagai Asih, sehingga teriak dan tawa penonton dapat pecah secara serempak.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Asih"