Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Something In Between


“Bagaimana mungkin sesuatu yang tak pernah kita alami, mampu hadir senyata kenangan?” 

Sedari Screenplay Films melepas film pertamanya, Magic Hour (2015), saya nyaris tak pernah mangkir untuk menyaksikan persembahan terbaru mereka di bioskop. Padahal aku tahu betul ada harga yang harus dibayar mahal usai menonton film-film tersebut, adalah migrain berkepanjangan. Selepas London Love Story 3 tempo hari yang (lagi-lagi) bikin barisan penonton cukup umur tersedu-sedu sementara diri ini hanya mampu merapalkan doa kepada Tuhan agar diberi ketabahan, aku risikonya memutuskan untuk rehat sejenak dari aktifitas menyiksa diri sendiri ini. Terlebih, dek Michelle Ziudith yang ratapan-ratapan mautnya menjadi salah satu alasan mengapa aku rela ‘disiksa’ tidak menampakkan diri di film berikutnya. Butuh menghela nafas, butuh liburan! Proses hibernasi yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya ini lantas diputuskan untuk berakhir sesudah beberapa mitra membujuk rayu saya untuk menyimak Something in Between yang mempertemukan Jefri Nichol dengan Amanda Rawles untuk keenam kalinya. Tanpa membawa sedikitpun pengharapan (kecuali filmnya bakal gila), saya yang membutuhkan waktu selama sepekan untuk meyakinkan diri bahwa pengorbanan ini akan sepadan sama sekali tak mengira bahwa Something in Between ternyata mampu untuk dinikmati. Siapa yang menyangka, lho? Rasanya ingin menangis bahagia alasannya kesannya ada film percintaan dari rumah produksi ini yang mendingan! 

Jefri Nichol dan Amanda Rawles yang tak menjalin asmara di One Fine Day (2017), kembali dipersatukan sebagai sepasang kekasih dalam Something in Between. Jefri didapuk memerankan Gema, seorang siswa bandel dari kelas reguler (mampu dibilang tergolong kalangan jelata dalam kasta siswa di SMA), sementara Amanda yakni Maya yang termasuk siswi cerdas di kelas unggulan. Perbedaan kasta ini nyatanya tak menghalangi keduanya untuk merajut cinta terlebih Gema rela untuk belajar mati-matian demi memperjuangkan cintanya tersebut. Maya yang mulanya bersikap jual mahal karena menganggap Gema tak ubahnya pria lain yang berusaha mendekatinya mengingat statusnya sebagai siswi terkenal, perlahan tapi niscaya mulai luluh tatkala melihat keseriusan Gema dalam merebut hatinya. Pendekatan Gema kepadanya terhitung gila bin konyol, tapi anggun di saat bersamaan. Maya pun bersedia mendapatkan anjuran pernyataan cinta yang diajukan oleh Gema, meski keduanya kerap dihalang-halangi oleh Raka (Naufal Samudra), sahabat sekelas Maya yang juga menaruh rasa pada Maya. Ditengah berseminya cerita kasih diantara Gema-Maya ini, penonton turut disodori cerita lain seputar pencarian seorang lelaki asal London bernama Abi (Jefri Nichol). Kerap dihantui oleh mimpi-mimpi mengenai Gema yang tidak pernah dikenalnya tapi memiliki kemiripan fisik dengannya, Abi berusaha menemukan jawaban dibalik mimpinya tersebut yang rupa-rupanya mempunyai keterikatan kuat dengan kisah kasih Gema-Maya. 


Sedari menit-menit pertama yang membawa kita ke London (well, untuk sekali ini hanya meminjam footage dan mengandalkan green screen), saya sebenarnya sudah mengantisipasi: Something in Between akan mengedepankan narasi yang tak kalah membelalakkan mata dari judul-judul terdahulu. Tapi usai menit demi menit berlalu, terutama dikala penonton mulai memasuki plot terkait Gema dan Maya, kekhawatiran bahwa film yang masih memercayakan dingklik penyutradaraan kepada Asep Kusdinar (trilogi London Love Story, ILY from 38,000 FT) ini bakal bikin istighfar sepanjang durasi, secara perlahan mulai tereduksi. Titien Wattimena yang menggantikan posisi Tisa TS, penulis skenario pujian Screenplay Films, selaku peracik naskah tak menyisipkan kata-kata puitis kolam pujangga ke setiap helaan nafas dua protagonis utamanya, tak menonjolkan keglamoran pada kehidupan personal Gema maupun Maya, dan tak pula menerapkan narasi yang menciptakan aku mengernyitkan dahi saking anehnya (sekali ini mampu ditolerir sebab berlindung di jalur fantasi), mirip kerap dimunculkan oleh film-film dalam pustaka rumah produksi ini. Gema dan Maya tak ubahnya siswa Sekolah Menengan Atas kebanyakan yang kerap kita temui, begitu pula dengan obrolan diantara mereka yang mengalir apa adanya mirip sepasang muda-mudi yang sedang berinteraksi tanpa dipenuhi gombalan-gombalan. Kalaupun ada, hanya dipergunakan sewajarnya oleh Gema untuk merayu wanita pujaannya tersebut di waktu-waktu tertentu alih-alih sepanjang waktu. Disamping memanusiawikan kedua aksara utama, Titien turut memberi mereka latar belakang memadai mencakup lingkungan keluarga beserta pergaulan sehingga penonton pun bisa mengidentifikasi keduanya sebagai abjad utuh. 

Berkat penulisan huruf yang terbilang baik ini, duo Jefri Nichol dan Amanda Rawles yang gres teruji chemistry mereka sebagai pasangan di Dear Nathan ini berkesempatan untuk memperlihatkan kemampuan dalam bermain tugas yang tak bisa dipandang sebelah mata. Memang betul tugas yang dimainkan keduanya di sini masih tipikal, tapi setidaknya mereka mampu untuk meyakinkan kepada penonton bahwa huruf Gema-Maya memang layak untuk bersatu. Interaksi diantara keduanya tampak hidup, terlihat menggemaskan, dan tampak menyenangkan. Sebuah beban peran yang tampak amat sepele, tapi bukan perkara gampang untuk ditaklukkan. Mereka turut disokong oleh Junior Liem, Yayu Unru, beserta Slamet Rahardjo yang bertugas memainkan elemen komedik, dan Surya Saputra beserta Djenar Maesa Ayu yang bertanggungjawab terhadap keberlangsungan elemen dramatik. Barisan pemain yang mempersembahkan akting apik inilah yang membantu mengangkat derajat Something in Between, termasuk saat film keteteran di babak ketiga yang berbelok ke ranah drama dengan sentuhan elemen fantasi sehabis sebelumnya berada di jalur komedi romantis yang menggigit. Kurangnya sensitivitas Asep Kusdinar dalam meramu adegan sentimentil membuat rangkaian momen emas pada paruh akhir yang berpotensi mengundang derai air mata terlewatkan begitu saja nyaris tanpa rasa. Film mendadak berjalan begitu tergesa-gesa menjelang konklusi seolah dibatasi oleh kuota durasi hingga-sampai si pembuat film pun memilih epilog yang nekat untuk mengakhiri kisah. Andai saja film ditangani oleh sutradara dengan kepekaan tinggi dalam meramu adegan sentimentil dan durasi dibiarkan merentang 10-15 menit lebih panjang, bukan tidak mungkin Something in Between akan berkembang menjadi menjadi film percintaan yang amat mengesankan. Ah, tetap saja ada yang bikin gregetan sebal meski ini peningkatan dari sederet film percintaan khas Screenplay Films!

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Something In Between"