Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Dumbo


“We're all family here, no matter how small.”

Sedari kesuksesan secara finansial yang direngkuh oleh Alice in Wonderland (2010), Walt Disney Studios mendadak keranjingan untuk menginterpretasi ulang film animasi klasik koleksi mereka ke dalam format live action. Meski satu dua diantaranya menerima ulasan kurang menggembirakan dari kritikus karena dianggap tidak bisa menangkap sisi magis dari bahan sumbernya, tapi sulit untuk disangkal bahwa demand dari publik terhitung tinggi – pengecualian untuk Alice Through the Looking Glass (2016) yang babak belur dihajar aneka macam pihak. Maka jangan heran kalau kemudian rumah produksi penghasil Mickey Mouse ini terus menelurkan judul-judul adaptasi dari tontonan animasi legendaris. Bahkan, pada tahun 2019 ini sendiri terdapat 4 film yang siap dilepas (!) termasuk The Lion King, Aladdin, serta Dumbo yang dipilih sebagai “pembuka parade”. Berbeda dengan dua film pertama disebut yang berasal dari era keemasan atau Disney Renaissance (1989-1999), Dumbo merupakan versi live action dari salah satu film animasi Disney di periode-periode awal yang berlangsung bersamaan dengan Perang Dunia I. Sebuah pilihan yang harus diakui beresiko mengingat film ini kemungkinan kurang familiar di indera pendengaran penonton awam khususnya bagi mereka yang tinggal di luar negeri Paman Sam. Terlebih lagi, versi asli Dumbo hanya berdurasi sepanjang satu jam dengan sebagian besar karakternya diisi oleh binatang-binatang yang berdialog memakai tindakan dan gaya penceritaannya pun tergolong surealis. Saya pun dibuat bertanya-tanya, “apa ya pendekatan yang akan ditempuh oleh si pembuat film semoga menciptakan sajiannya ini terlihat menarik di mata penggemar sekaligus penonton anyar apalagi ada gajah bertampang menggemaskan disini?.”

Dalam Dumbo versi mutakhir ini, penonton dilempar jauh kembali ke tahun 1919 dan dipertemukan dengan rombongan sirkus bernama Medici Brothers’ kepunyaan Max Medici (Danny DeVito). Salah satu personil yang memegang peranan penting dalam dongeng adalah Holt Farrier (Colin Farrell) yang baru saja pulang dari medan perang. Dia mempunyai dua anak; Milly (Nico Parker) yang tergila-aneh pada sains dan Joe (Finley Hobbins) yang tertarik pada banyak hal, sementara sang istri telah berpulang sebab sakit. Disamping upayanya untuk berdamai dengan kenyataan bahwa dia sekarang menjadi orang renta tunggal dan lengannya pun tak lagi utuh, Holt juga harus merelakan kuda atraksinya dijual oleh Max demi menutupi biaya operasional sirkus. Demi membuatnya tetap berguna di kelompok sirkus ini, Holt pun mau tak mau menerima pekerjaan sebagai pengurus gajah. Dalam tugas barunya tersebut, Holt bertemu dengan si karakter tituler yang merupakan anak dari salah satu gajah, Mrs. Jumbo. Seperti mampu diterka dari hubungan antara dua aksara terpinggirkan, keduanya pun tak langsung memiliki ikatan. Holt masih menciptakan jarak dengan Dumbo yang kerap menjadi bahan olok-olok akibat ukuran telinganya yang sangat besar. Selain Mrs. Jumbo, anggota sirkus lain yang bersedia untuk berinteraksi dengan Dumbo hanyalah Milly dan Joe. Mereka berupaya untuk menggali potensi si bayi gajah biar dia bisa tampil dan tak disingkirkan begitu saja oleh Max. Ditengah-tengah proses pendekatan, keduanya menyadari bahwa Dumbo memiliki talenta terpendam. Sebuah bakat yang tidak hanya dapat mengukuhkan status si gajah sebagai bintang sirkus, tetapi juga dapat menyelamatkan Medici Brothers’ dari keterpurukan.


Seperti bisa diperlukan dari film-film kode Tim Burton (Charlie and the Chocolate Factory, Alice in Wonderland), Dumbo pun memiliki tampilan visual yang mampu dikagumi. Entah itu berasal dari gaya hias bangunan yang menerapkan desain art deco, warna-warni kostum yang dikenakan oleh jajaran karakternya yang menjajaki bisnis sirkus, kemeriahan pertunjukkan-pertunjukkan sirkus yang mencakup homage ke adegan-adegan ikonik di versi animasinya, sampai visualisasi taman bermain milik V. A. Vandevere (Michael Keaton) yang sedikit banyak terinspirasi dari Disneyland. Disamping itu, ciri khas si pembuat film yang gemar “gelap-gelapan” dalam bercerita – biasanya dia menerapkan visual beraroma gothic sebagai hiasannya – masih mampu pula dijumpai di film yang mengaplikasikan nada penceritaan lebih konvensional demi mengganti narasi surealis versi animasinya ini. Kita bisa mencecapnya melalui keberadaan karakter-huruf nyentrik yang terpinggirkan, adegan kematian balasan Mrs. Jumbo yang mengamuk andal atau lewat obrolan yang menyiratkan wacana “masa depan” Mrs. Jumbo setelah tak lagi dieksploitasi oleh Vandevere. Namun berhubung Dumbo diniatkan sebagai film untuk segala usia yang sanggup menghangatkan hati dan menginspirasi generasi muda dengan pesan sopan santun klasik ala film-film Disney seperti “percayalah pada kemampuanmu sendiri!”, maka tentu saja ada batasan-batasan yang harus dipenuhi. Malah mampu dibilang, Dumbo adalah salah satu film Tim Burton yang paling ramah penonton cilik. Di sini kita diupayakan untuk jatuh hati terhadap si abjad tituler yang diwujudkan dengan sangat brilian oleh tim imbas khusus sehingga membuatnya tampak begitu positif, lalu terenyuh mendengar dongeng mengharu birunya dimana beliau dipaksa berpisah dengan sang ibu, dan bersemangat menyaksikan petualangannya dalam memperjuangkan kebebasan.

Pada menit-menit awal terutama ketika Dumbo terbang melewati penonton-penonton sirkus, aku mampu mendeteksi sekelumit sensasi magis dari film. Saya terperangah melihat satria mungil ini melayang-layang di udara, aku juga bersuka cita menjadi saksi kemenangannya dalam menampik nyinyiran para peragu. Tapi film mulai terasa goyah setelah penonton dikasih lihat bahwa Dumbo memang benar-benar mampu terbang. Di versi aslinya, moment of truth ini baru terjadi di menit-menit pamungkas mengikuti tujuannya untuk memperlihatkan gong pada dongeng pembuktian diri si huruf utama. Sedangkan di versi anyar ini, kita telah diposisikan sebagai saksi mata sedari Milly dan Joe tanpa sengaja menciptakan bayi gajah ini terbang akhir bulu belibis. Keputusan untuk menempatkan kejutan di paruh pertama film tentu mendatangkan resiko besar sebab penonton akan otomatis menelurkan pertanyaan, “apa yang akan terjadi lalu?” dan sialnya, Burton bersama Ethan Kruger selaku penulis skenario tidak mempunyai suplai materi bakar memadai guna mempertahankan api (baca: daya pikat) pada penceritaan semoga tetap menyala-nyala. Keduanya membiarkan para abjad insan menjadi karakter satu dimensi nan kosong yang sebatas bertengger di area “hitam” maupun “putih”. Kalaupun ada yang dikelokkan ke area “debu-debu”, aksara tersebut tak mendapat character arc yang layak hingga-sampai aku pun dibentuk bingung: kok beliau mampu tiba bermetamorfosis baik? Lantaran tiada kompleksitas dalam bangunan karakter plus konflik yang dikedepankan pun dipaparkan sekenanya saja (mirip bagaimana Holt membangun kepercayaan kedua anaknya), saya pun kesulitan besar dalam menginvestasikan emosi kepada mereka. Saya bisa jatuh hati pada Dumbo, tetapi tidak kepada sobat-teman manusianya. Hanya Michael Keaton yang bermain meyakinkan sebagai villain, sementara sisanya memperlihatkan rasa acuh taacuh dan hampa khususnya duo cilik Nico Parker-Finley Hobbins yang karakter mereka mainkan seharusnya krusial karena difungsikan sebagai pengganti kawan baik Dumbo di versi orisinil, Timothy Mouse.


Pada akibatnya, ketimbang diselimuti kepenasaran dengan modal pertanyaan “apa yang akan terjadi kemudian?”, aku justru dipenuhi dengan keingintahuan untuk menemukan jawab atas pertanyaan “kapan film akan mencapai titik konklusi?” karena film menjadi semakin tidak menarik usai porsi tampil Dumbo mulai tergerus.

Acceptable (3/5) 

Post a Comment for "Review : Dumbo"