Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Single Part 2


“Hidup itu penuh kejutan. Ada yang bikin duka, ada yang bikin seneng. Dan gue harus selalu siap-siap, karena gue nggak pernah tahu kejutan apa yang menanti selanjutnya.”

Sedari menerjunkan diri ke dunia perfilman, Raditya Dika hampir selalu mengapungkan topik pembicaraan seputar “kenelangsaan jomblo” dalam rangkaian film yang dibintangi maupun diarahkannya. Berhubung sambutan publik terhitung hangat dan dia kerap menemukan angle menarik buat dikulik, saya mampu memahami keputusannya untuk tetap mengedepankan info tersebut. Baru beberapa tahun terakhir ini Dika mencoba keluar dari zona nyamannya dengan melepas judul-judul mirip Hangout (2016), The Guys (2017), beserta Target (2018), yang ternyata memperoleh penerimaan bermacam-macam. Bagi aku eksklusif, terasa ada sesuatu yang ‘hilang’ dari ketiga film tersebut alasannya adalah Dika memang sejatinya memperlihatkan kekuatan berceritanya tatkala dia berkutat dengan problematika jomblo. Hanya saja, mengingat ia telah melepas status lajang dan sudah pula dikaruniai momongan, saya seketika dibentuk bertanya-tanya. Akankah Dika masih mempunyai kepekaan dalam ngelaba maupun bertutur soal pahit manisnya seorang bujangan yang tak memiliki ikatan asmara? Menyadari penuh bahwa dirinya telah mengucap kesepakatan suci ijab kabul dan tak lagi kelabakan mencari pendamping hidup yang setia menemani, maka film terbarunya yang merupakan kelanjutan dari film rilisan tahun 2015, Single Part 2, berupaya mengedepankan pembahasan lebih dewasa ketimbang sekadar single shaming. Sebuah pendekatan yang mesti diakui berani memeriksa pangsa pasarnya meski upaya pembaharuan ini sayangnya tak lantas menjadikannya lebih menggigit dari sang predesesor.

Di penghujung film pertama, kita melihat Ebi (Raditya Dika) alhasil mampu bersatu dengan perempuan yang ditaksirnya, Angel (Annisa Rawles yang masih saja memesona), di pesta pernikahan sang adik, Alfa (Frederik Alexander). Kala itu, penonton memang tidak mendapati keduanya memproklamirkan kekerabatan asmara mereka dengan berciuman atau saling melontarkan tiga kata keramat. Saya sempat menerka, si pembuat film ingin menyampaikannya secara implisit melalui kesediaan Angel untuk menggandeng lengan Ebi di pesta akad nikah. Tapi eksistensi Single Part 2 lalu mengonfirmasi segalanya: mereka ternyata tak pernah jadian. Apa pasal? Rupa-rupanya, lidah Ebi menjadi kelu setiap kali hendak mengutarakan perasaannya kepada Angel. Dia juga tak ingin pertemanan mereka retak andaikata Angel menolak dan korelasi mereka tiba-tiba menjadi janggal. Kegalauan si karakter utama untuk “nembak atau tidak” ini terus bertahan hingga beberapa tahun selepas ia memperoleh kesempatan emas untuk menyatakan cintanya di simpulan jilid terdahulu. Ebi masih betah melajang, sementara karakter yang dimainkan oleh Pandji beserta Babe Cabiita dikisahkan telah menikah. Lantaran tak lagi memiliki support system, Ebi memutuskan pindah ke kos baru dimana beliau berkawan dengan jomblo menahun, Nardi (Ridwan Remin), dan pengantin baru, Johan (Yoga Arizona). Dari mereka, Ebi memperoleh dua perspektif berbeda mengenai status lajang yang lantas mendorongnya untuk membuat perubahan bagi hidupnya sebelum usia menapaki kepala 3.


Dalam aneka macam kesempatan, Dika pernah berujar bahwa Single Part 2 bukanlah suatu upaya mendegradasi status lajang dengan menjadikannya sebagai bahan olok-olok melainkan suatu upaya untuk mengajak penonton berkontemplasi. Merenungkan tujuan dibalik pilihan untuk tetap melajang, merenungkan korelasi antara status lajang dengan kebahagiaan. Apakah benar menjomblo secara otomatis mendatangkan kesengsaraan akibat kesepian? Atau jangan-jangan, aliran tersebut muncul akhir tekanan masyarakat yang kerap mengasosiasikan pernikahan sebagai solusi terbaik untuk memperoleh kebahagiaan? Ya, tak mirip pendahulunya yang cenderung enerjik dan gegap gempita, laju penceritaan Single Part 2 tergolong damai mengikuti pendekatan kontemplatif yang ditempuh oleh si pembuat film. Gagasan Dika untuk memperbincangkan tentang status lajang secara akil balig cukup akal ini mesti diakui memang terdengar menggugah selera… di atas kertas. Lebih-lebih, aku sebetulnya lelah mendengar ocehan berkonotasi negatif dari lingkungan sekitar terhadap kaum bujang: bujang berarti nelangsa, bujang adalah nasib. Hanya saja, Dika mengalami kendala tatkala mengejawantahkan pandangan baru menariknya ini ke dalam bahasa gambar. Usahanya untuk berceloteh secara mendalam terganjal oleh narasi kelewat berlarut-larut mengenai “misi menembak Angel” yang belakangan jalan di daerah hingga mengaburkan pesan yang hendak diutarakan, sementara candaan khasnya yang tetap dipertahankan supaya penggemar tidak merasa teralienasi mencapai titik garing level lanjut akhir konfigurasi pemain yang kurang ciamik.

Seperti diketahui bersama, guyonan dalam film-film kreasi Dika seringkali bergantung pada aksara-abjad pendukung ketimbang aksara yang dimainkan oleh Dika sendiri. Maka dikala Pandji dan Babe yang bekerjsama lucu di film pertama dihempas, aku telah was-was. Apa mungkin penggantinya bisa menandingi kebodoran mereka? Saya meyakini, Ridwan Remin dan Yoga Arizona tentu telah berjuang untuk membuat keriuhan di sekitar aksara Ebi. Tapi apa daya, comic timing keduanya seringkali meleset dan mereka tidak pula dibekali obrolan sarat tonjokan-tonjokan kocak yang menjadikan kehadiran mereka urung berkontribusi terhadap tunjangan nyawa film. Mereka ada atau lenyap dari layar, tidak ada perbedaan signifikan. Apalagi guliran penceritaan sepenuhnya terfokus kepada karakter Ebi yang berjuang mengenyahkan status lajangnya. Berhubung derai tawa ikhlas berkat celetukan atau momen-momen komediknya nyaris tak terdeteksi nadinya, saya pun mengalihkan impian ke elemen percintaan dan dramatik yang sekali ini ditekankan oleh Dika. Berbeda dengan lawakannya, nada serius dalam Single Part 2 tergolong cukup baik. Memang sih plot seputar pengungkapan cinta kepada Angel yang terus diulur-ulur menjadi repetitif, melelahkan dan menciptakan karakter Ebi menjadi kurang simpatik lantaran sikap insecure-nya berimbas pada lewatnya kesempatan emas yang tertampang faktual berulang kali. Durasi yang merentang sepanjang 128 menit pun sangat mungkin dipadatkan dengan memangkas seabrek adegan tak perlu seperti klub Jomblo yang entah apa faedahnya. Akan tetapi, ditengah-tengah penceritaan yang terasa kurang mempunyai daya cengkram ini, saya masih menjumpai adanya beberapa adegan yang terkemas manis (seperti makan buah ceri di dalam kendaraan beroda empat) atau menghangatkan hati (seperti perbincangan Angel dengan sang ibu) yang sedikit banyak membantu menyelamatkan Single Part 2 dari keterpurukan.

Acceptable (2,5/5) 


Post a Comment for "Review : Single Part 2"