Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Night Comes For Us


“I can’t kill what’s already dead.” 

Siapa diantara kalian yang seketika mendengus kecewa begitu mengetahui The Raid 3 batal dibuat? Tolong dong tunjuk tangan dan mari bergabung dengan saya di barisan patah hati. Setelah respon buat film kedua tak segegap gempita film pendahulunya sementara ongkos produksinya lebih gede, saya bergotong-royong bisa memaklumi… meski tetap saja kecewa. Terlebih saya begitu mengagumi dwilogi The Raid (serius, hingga kini masih nggak percaya itu film laga berasal dari Indonesia!) dan masih berharap Gareth Evans berinisiatif bikin film kelanjutan, sempalan, atau apapun jenisnya. Beberapa upaya untuk tetap menghidupkan genre ini terus dilakukan di perfilman Indonesia: dari yang penggarapannya serius hingga ngasal nggak karuan. Diantara yang serius (dan ini dikit banget jumlahnya, yaelah!) adalah sutradara seorang ahli menu berdarah, Timo Tjahjanto (Rumah Dara, Sebelum Iblis Menjemput), yang merupakan salah satu dari personil The Mo Brothers. Dia melaksanakan eksperimen gelaran langgar melalui Killers (2014) yang bertempo lambat dan Headshot (2016) yang masih terasa kurang luwes di adegan bak bik buknya sekalipun turut merekrut jebolan The Raid. Tak patah arang, Timo melaju dengan proyek jauh lebih ambisius bertajuk The Night Comes for Us yang menandai untuk pertama kalinya bagi film Indonesia tergabung dalam original content keluaran situs penyedia jasa streaming terbesar di dunia, Netflix. Melalui film yang telah dipersiapkan sedari tahun 2014 ini, Timo unjuk kebolehan yang sekaligus menunjukan bahwa kemampuannya dalam menggarap film berkelahi telah memberikan perkembangan signifikan dan kegilaan visualnya mampu sangat melampaui batas ketika sensor tak lagi membelenggu. 

Dalam The Night Comes for Us, penonton diperkenalkan kepada seorang pria bernama Ito (Joe Taslim dalam salah satu performa terbaiknya). Yang perlu diketahui, Ito bukanlah protagonis berbudi luhur atau dengan kata lain, laki-laki bertipe everyman. Dia termasuk salah satu dari enam personil Six Seas, orang-orang pilihan Triad (organisasi kriminal terbesar di Asia) yang ditugaskan untuk menjaga rute penyelundupan heroin, kokain, dan senjata di lautan Asia Tenggara. Tugas utamanya hanyalah membunuh, membunuh, dan membunuh siapapun yang mengacaukan perdagangan ilegal Triad sekalipun kekacauan yang disebabkan hanyalah secuil. Di permulaan film, Ito beserta anak buahnya ditugaskan untuk membantai satu desa nelayan hanya alasannya mereka mencuri dari Triad dalam jumlah yang tak seberapa. Pembantaian ini menjadi titik balik bagi kehidupan Ito lantaran beliau akibatnya memutuskan untuk membelot dari kawanannya dan menyelamatkan seorang gadis yang hidup sebatang kara, Reina (Asha Kenyeri Bermudez). Akibat dari keputusannya tersebut, Ito seketika menjadi manusia paling diburu di Indonesia. Hampir setiap orang yang ditemuinya menginginkan kematiannya, termasuk Arian (Iko Uwais) yang telah dianggapnya sebagai saudara kandung. Arian dititahkan oleh anggota Six Seas yang lain, Chien Wu (Sunny Pang), untuk menghabisi Ito dengan iming-iming imbalan berupa posisi di kelompok elit Six Seas sebagai pengganti Ito. Mengingat Arian telah sedari dulu mengincar posisi tersebut, mencuat kebimbangan dalam dirinya antara memenuhi ambisinya sebagai anggota cecunguk kelas kakap atau menyelamatkan seseorang yang telah berarti banyak baginya.
 

Tak banyak memboyong pengharapan abad hendak menonton The Night Comes for Us – berkaca pada film tubruk rekaan Timo yang kurang maknyus – aku terkaget-kaget mendapati kemampuannya dalam merangkai rentetan sekuens tabrak telah melesat cukup tinggi. Keinginan untuk bisa menyaksikan sebuah film berkelahi tanah air dengan teknik penggarapan selevel dwilogi The Raid kesannya terpenuhi di sini. Sedari adegan pertarungan di klab malam yang berlangsung singkat, adrenalin telah dipacu. Tubuh ditujes, tulang diretakkan, sampai mulut disuapi botol kaca yang pecah. Sebuah pemanasan yang menjanjikan, bukan? Saya meyakini, mereka yang menyebut dirinya sebagai action junkie tidak akan mengalami kesulitan dalam menikmati hidangan dengan level kekerasan yang tinggi ini. Tapi saya perlu mewanti-wanti, untuk sekali ini, Timo tidak main-main soal kebrutalan. Jika kau menganggap film-film dia terdahulu sudah cukup brutal dan bikin ngilu, apa yang dihidangkannya di sini jauh melampauinya. Anggota badan tercerai berai (termasuk usus yang bergelayutan) tentu mampu kau temui, meski secara personal apa yang menciptakan diri ini merasa nyut-nyutan yaitu melihat jari jemari tangan ditekan ke belakang sampai patah. Tampaknya kok… nikmat. Oke, sebelum ngilu makin menjadi-jadi alasannya membicarakan anggota tubuh yang tercecer, mari kita lupakan sejenak demi mengapresiasi The Night Comes for Us yang mempersembahkan banyak sekali momen langgar untuk dikenang. Bukan semata-mata alasannya adalah tingkat kesadisannya yang jahanam sehingga kita sulit mengenyahkannya begitu saja dari benak, melainkan lebih kepada kecakapan si pembuat film dalam mengeksekusinya yang melibatkan permainan teknis mengagumkan dan tidak sembarangan. 

Pada paruh pertama yang bergerak gesit – kecuali di menit-menit awal yang bertujuan untuk mengenalkan kita ke sejumlah karakter inti, momen adu yang menonjol di The Night Comes for Us terang bersumber dari adegan pembantaian di toko daging dan apartemen rekan Ito, Fatih (Abimana Aryasatya). Di toko daging, kita berjumpa dengan karakter berjulukan Yohan yang dimainkan secara apik oleh Revaldo (damn, he’s so creepy!) kemudian disuguhi pembantaian berlatar pemandangan daging-daging segar bergelantungan, sedangkan dikala bertandang ke apartemen Fatih, kita dilayani dengan adegan adu intens nan kreatif yang berlangsung usang. Yang mencuat dari adegan ini disamping performa pemain seperti Zack Lee yang alhasil memperoleh kesempatan buat pamer bakat akting sesudah tersia-siakan di Buffalo Boys dan Abimana Aryasatya yang karismatik hingga-sampai bikin lagu Benci Untuk Mencinta-nya Naif tak lagi terdengar sama, yakni permainan kameranya. Tengoklah pergerakan kamera Gunnar Nimpuno di sini (khususnya pada detik-detik para pengeroyok berhasil menjebol pintu apartemen Fatih, ini cadas banget sih!) yang memungkinkan penonton untuk mendapatkan detil pada tata kelahi yang diperagakan oleh para pemain beserta figuran. Kita pun ikut dibuatnya bersemangat akibat terpacu oleh adrenalin, meringis alasannya adalah muncratan darahnya, serta berdecak kagum berkat intensitas yang sanggup dialirkannya. Ini bukan sesuatu yang gampang lho, mengingat tidak sedikit film berkelahi yang berakhir memble justru sebab sinematografernya kewalahan dalam mengikuti pergerakan para aktornya periode langgar pukul seperti dilakukan oleh Mile 22 tempo hari.


Permainan kamera Gunnar inipun turut menjadi bintang di ruang sempit mirip mobil van polisi, kamar mandi serta lift. Kehadirannya sebagai bentuk kompensasi terhadap skrip rekaan Timo Tjahjanto yang kurang memadai. Seperti halnya kebanyakan film sejenis termasuk The Raid, narasi dalam The Night Comes for Us hanya dimanfaatkan sebagai pengantar menuju perkelahian. Biar tidak sekadar tonjok-tonjokan tanpa karena, semoga tidak asal mencacah kepala manusia memakai papan penanda lantai berair (kreatip!). Hanya saja, sekelumit keluhan dari aku yakni narasi kurang memberi perhatian kepada bangunan aksara tokoh inti seperti Ito dan tak menghadirkan penjelasan memuaskan terkait siapa-siapa saja aksara yang punya urusan dengan Ito (mirip kelompok Lotus dan wanita misterius berjulukan The Operator yang dimainkan secara badass oleh Julie Estelle). Ini tentu tak akan terlalu jadi soal apabila The Night Comes for Us dilantunkan bak Sebelum Iblis Menjemput yang sebatas menggeber teror. Masalahnya, film ini terkadang mencoba pula untuk bercerita seraya mengajak penonton untuk menghembuskan napas barang sejenak. Ketidakmampuan saya dalam mengidentifikasi para karakter yang menjadikan investasi emosi cenderung mustahil termasuk kepada Ito yang kurang simpatik, membuat momen tenang yang disodorkannya terasa agak menjemukan. Saya tak peduli kepada mereka, aku hanya ingin mereka gebuk-gebukan. Itu saja. Seolah menyadari bahwa menuturkan kisah bukanlah kekuatan utamanya, Timo pun kembali tancap gas di 40 menit terakhir. 

Dimulai dengan pertarungan keroyokan seperti menit-menit sebelumnya, The Night Comes for Us mengakhirinya dengan pertarungan lebih intim yakni satu lawan satu di dua tempat berbeda. Pertarungannya memuaskan karena kita karenanya mendapatkan apa yang telah dinanti-nanti di sedari awal. Tapi yang lebih memuaskan lagi yaitu karena Dian Sastrowardoyo sebagai saudara jauh Gogo Yubari dari Kill Bill Vol. 1 yang langsung keok begitu ditendang Iko Uwais di agresi awal jadinya dipersilahkan buat menggila. Kapan lagi coba kita bisa melihat Neng Cinta (plus seabrek bintang besar tanah air) terlibat dalam pertarungan brutal dan bersimbah darah? Berkaca pada situasi perfilman Indonesia yang sensornya sadis serta alergi pada film tubruk demi menghemat bujet, mungkin saja kita tidak akan menyaksikannya dalam waktu dekat. Itulah kenapa, mumpung The Night Comes for Us menyediakan kesempatan langka tersebut, jangan hingga kamu lewatkan begitu saja – kecuali kamu memang benar-benar tidak betah melihat darah dan kekerasan.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : The Night Comes For Us"