Review : Si Doel The Movie
“Selama ini Bang Doel juga selalu nyariin Sarah. Kan Bang Doel nggak bisa ngelupain Sarah. Bang Doel tu masih cinta sama Sarah.”
Anak Betawi ketinggalan zaman, katenye...
Anak Betawi nggak berbudaye, katenye...
Apa kamu familiar dengan belahan lirik di atas? Jika kamu pernah merasakan gegap gempita periode 1990-an, rasa-rasanya tidak mungkin tidak mengenali lirik dari lagu tema untuk salah satu sinetron legendaris Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan. Mengudara pertama kali di kanal televisi RCTI pada tahun 1994, sinetron ini menjadi buah bibir pada masanya dan dikategorikan sebagai acara wajib tonton. Jika kau tidak tahu menahu mengenai sinetron ini, jangan bayangkan formula yang diterapkannya mirip sinetron zaman sekarang yang tayang saban hari dengan plot yang bikin darah mendidih. Si Doel Anak Sekolahan hanya tayang setidaknya sekali seminggu dan narasi yang ditawarkannya pun membumi. Dekat dengan realita. Ini salah satu alasan yang membawanya ke puncak popularitas, disamping mempunyai penulisan aksara yang berpengaruh. Siapa sih yang mampu melupakan Doel, Sarah, Zaenab, Babe, Mak Nyak, Mandra, Atun, Engkong, sampai Mas Karyo? Hingga bertahun-tahun sehabis sinetron ini resmi rampung pada tahun 2006, nama-nama tersebut masih terus dikenang dan menempel di ingatan. Itulah mengapa dikala tren sekuel atau remake untuk film legendaris mengemuka di perfilman Indonesia, mencuat pengharapan dalam diri ini untuk melihat mereka kembali berlakon sekalipun sudah tidak dalam deretan utuh (beberapa pemain inti telah meninggal dunia). Terlebih, kisah cinta segitiga Doel-Sarah-Zaenab sejatinya belum menjumpai titik terang sehingga sang kreator, Rano Karno, masih memiliki bahan mencukupi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Berselang tujuh tahun dari versi FTV yang bertajuk Si Doel Anak Pinggiran (2011), Karnos Film berhubungan dengan Falcon Pictures menjawab pengharapan saya dengan menelurkan Si Doel The Movie yang secara khusus dipersiapkan untuk tontonan layar lebar. Dalam versi bioskop ini, Doel (Rano Karno) diceritakan telah menikahi Zaenab (Maudy Koesnaedi) dan hidup bahagia bersama Mandra (Mandra), Atun (Suti Karno), serta Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) yang sekarang tergolek lemah di atas kasur. Konflik lantas dimulai sesudah sobat usang Doel, Hans (Adam Jagwani), mengundangnya ke Amsterdam, Belanda, untuk membantunya mempersiapkan pameran kebudayaan Betawi di sana. Ditemani oleh Mandra yang kegirangan alasannya mampu menjejakkan kaki di luar negeri sekaligus mempunyai kesempatan untuk mengejek Atun yang tidak diajak serta secara terus menerus, Doel bertolak ke Belanda tanpa sedikitpun meragukan ada maksud lain dibalik seruan Hans. Setelah beberapa waktu di Amsterdam, perlahan tapi pasti Doel menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah semata-mata bersifat bisnis. Doel jadinya memperoleh kebenarannya tatkala dia berjumpa lagi dengan istrinya yang 'hilang', Sarah (Cornelia Agatha), di Museum Tropen. Pertemuan singkat yang berlanjut pada seruan makan siang ini seketika membangkitkan lagi kebimbangan dalam diri Doel. Dia harus memilih antara kembali ke pelukan Sarah yang masih dicintainya dan kini membesarkan anak mereka seorang diri, atau tetap bersama Zaenab yang mencintainya tanpa syarat.
Berselang tujuh tahun dari versi FTV yang bertajuk Si Doel Anak Pinggiran (2011), Karnos Film berhubungan dengan Falcon Pictures menjawab pengharapan saya dengan menelurkan Si Doel The Movie yang secara khusus dipersiapkan untuk tontonan layar lebar. Dalam versi bioskop ini, Doel (Rano Karno) diceritakan telah menikahi Zaenab (Maudy Koesnaedi) dan hidup bahagia bersama Mandra (Mandra), Atun (Suti Karno), serta Mak Nyak (Aminah Cendrakasih) yang sekarang tergolek lemah di atas kasur. Konflik lantas dimulai sesudah sobat usang Doel, Hans (Adam Jagwani), mengundangnya ke Amsterdam, Belanda, untuk membantunya mempersiapkan pameran kebudayaan Betawi di sana. Ditemani oleh Mandra yang kegirangan alasannya mampu menjejakkan kaki di luar negeri sekaligus mempunyai kesempatan untuk mengejek Atun yang tidak diajak serta secara terus menerus, Doel bertolak ke Belanda tanpa sedikitpun meragukan ada maksud lain dibalik seruan Hans. Setelah beberapa waktu di Amsterdam, perlahan tapi pasti Doel menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah semata-mata bersifat bisnis. Doel jadinya memperoleh kebenarannya tatkala dia berjumpa lagi dengan istrinya yang 'hilang', Sarah (Cornelia Agatha), di Museum Tropen. Pertemuan singkat yang berlanjut pada seruan makan siang ini seketika membangkitkan lagi kebimbangan dalam diri Doel. Dia harus memilih antara kembali ke pelukan Sarah yang masih dicintainya dan kini membesarkan anak mereka seorang diri, atau tetap bersama Zaenab yang mencintainya tanpa syarat.
Jangan percaya dengan trailer buruknya yang memberi kesan bahwa Si Doel The Movie telah kehilangan esensinya dan bertransformasi sebagai film jalan-jalan menikmati sederet lokasi turistik di Belanda. Jangan. Karena kenyataannya, Si Doel The Movie masih mempertahankan segala ciri khasnya yang telah berjasa dalam mendatangkan seabrek penggemar berat untuk versi sinetronnya. Kamu akan menjumpai konflik di area percintaan tatkala hati Doel terombang-ambing karena dihadapkan pada dua pilihan pendamping hidup yang sama baiknya, kau akan mendapati humor segar dikala temu kangen bersama Mandra si mulut nyablak yang terus berseteru dengan Atun, dan kau juga akan memperoleh narasi tentang keluarga yang menghangatkan hati. Mengingat bahwa film ini ditangani secara langsung oleh sang kreator, tidak mengherankan bila lalu sensasi rasa yang dihadirkannya tidak berbeda jauh dengan materi sumbernya. Indera perasamu masih akan mengenalinya sebagai Si Doel Anak Sekolahan. Kalaupun ada perbedaan mencolok, itu ialah tampilan visual yang terkesan mahal – menyesuaikan dengan medium barunya – dan sulit untuk dipungkiri, interaksi antar aksara yang tidak lagi setajam dulu. Penyebabnya, beberapa huruf kuat yang menghadirkan tektokan seru mirip Babe, Engkong, maupun Mas Karyo, tidak lagi dihadirkan karena para bintang film yang memerankannya telah berpulang. Dalam satu wawancara, Rano Karno pun menegaskan bahwa dia enggan mencari aktor lain untuk mengisi tugas-peran tersebut alasannya adalah tak ada yang mampu menggantikan mendiang Benyamin Sueb, Pak Tile, serta Basuki.
Syukurlah, Si Doel The Movie masih mempunyai Mandra dan Suti Karno untuk menjaga dinamika film yang tentunya akan berjalan datar-datar saja apabila fokusnya sebatas pada kegalauan si aksara tituler yang tidak mampu membuatkan senyum barang sedikitpun ini. Mandra yang dikenal sering ketiban apes, mempunyai kesempatan untuk 'balas dendam' saat beliau diajak Doel ke Belanda. Salah satunya ditunjukkan dengan kiriman seabrek foto di banyak sekali kesempatan (bahkan sebelum naik pesawat!) yang dikirimkan Mandra ke Atun via Whatsapp. Ini menggelitik, terutama bagi penonton yang mengetahui seperti apa riwayat Mandra di versi sinetronnya. Gelak tawa yang dipersembahkan oleh huruf favorit banyak penonton ini terus berlanjut ketika dia mengalami gegar budaya sesampainya di negeri orang, kemudian melontarkan komentar-komentar kepada Doel yang seringkali nampol, hingga bagaimana dia terlihat sangat menikmati perjalanan ini. Performanya yang begitu enerjik tetapi tetap alami ini membuat Mandra senantiasa mencuri perhatian dalam setiap kemunculannya dan mengakibatkan film terasa menyenangkan untuk ditonton. Jajaran pemain lainnya meliputi Rano Karno, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Suti Karno, Adam Jagwani, serta Aminah Cendrakasih (yang dedikasinya untuk film ini sungguh luar biasa sekalipun sudah tak bisa melihat dan tak mampu beranjak dari kasur) pun memberi performa cantik mirip kita ingat dari serial televisinya. Tambahan dua aktor cilik, Rey Bong beserta Ahmad Zulhoir, yang masing-masing memerankan putra dari Doel dan Atun sedikit banyak mengingatkan kita ke kala muda dari huruf orang renta mereka.
Disaat film tidak menyoroti tingkah polah Mandra yang (sayangnya) bukan jualan utama Si Doel The Movie, kupasannya menitikberatkan pada pergolakkan hati ketiga abjad sentral; Doel, Sarah, dan Zaenab, yang tidak ingin kehilangan satu sama lain. Kegalauan Doel kian menjadi-jadi saat beliau bertemu dengan putra kandungnya untuk pertama kalinya. Pertemuan keduanya ini mempersembahkan satu dua momen yang akan membuatmu menyeka air mata haru. Ada rasa hangat yang tertinggal di hati, sekalipun imbas yang diberikannya bisa jadi akan lebih menonjok apabila Rano Karno bersedia untuk mengeksplorasi hubungan bapak-anak di sini. Mungkin Rano ingin menghindari dramatisasi berlebihan atau kemungkinan lainnya, menyimpannya untuk dikembangkan di film berikutnya. Cukup disayangkan bekerjsama mengingat durasi masih memungkinkan untuk direntangkan (hey, 85 menit terlalu pendek!) dan pertengahan film yang terasa agak berlarut-larut pun bisa dimanfaatkan untuk menjlentrehkan subplot ini. Tapi jika ternyata tujuan Si Doel The Movie hanya sebagai pijakan menuju sebuah franchise baru, keputusan tersebut tentu mampu dimengerti. Berhubung Si Doel The Movie memiliki penggarapan yang apik – dan berhasil menguarkan aroma nostalgia di beberapa titik – saya terperinci tidak sabar menanti sekuelnya andaikata Rano Karno benar-benar merealisasikan film kelanjutannya. Semoga benar-benar berlanjut ke film kedua ya.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Post a Comment for "Review : Si Doel The Movie"