Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Rampage


“It’s weird you like hanging out with animals more than people.” 

“Well, animals gets me.” 

Wahai generasi 80 dan 90-an yang gemar memainkan konsol permainan, apakah kalian masih ingat dengan sebuah video game berjudul Rampage? Itu lho, permainan yang misi utamanya menghancur-hancurkan gedung bertingkat. Ingat, kan? Kita berkembang menjadi menjadi monster raksasa berbentuk gorila, kepiting, tikus atau binatang buas lainnya akibat terpapar serum eksperimen. Aturan mainnya pun sederhana saja. Seraya menghindari tembakan-tembakan dari pihak militer bila ingin nyawa tetap utuh, kita mesti giat memporakporandakan seisi kota demi mengumpulkan poin. Kalau perlu, manusia-manusia pengganggunya dimakan juga! Menilik betapa mudahnya (dan serunya) memainkan game ini, tidak mengherankan jika lalu Rampage terbilang terkenal di kalangan khalayak ramai hingga-hingga pihak Midway Games merilis beberapa seri kelanjutan. Dan seperti kebanyakan video game populer, tidak mengherankan juga jikalau lalu ada petinggi studio di Hollywood yang meliriknya untuk diubahsuaikan ke film layar lebar. Demi merealisasikan Rampage versi layar lebar ini, maka duo Brad Peyton (sutradara) dan Dwayne Johnson (aktor) yang sebelumnya berkolaborasi untuk meluluhlantakkan pesisir barat Amerika Serikat dalam San Andreas (2015) pun direkrut. Tugas mereka sekali ini yaitu mentranslasi kehancuran total yang dimunculkan versi game ke dalam tontonan popcorn yang bisa melepas kepenatan penonton. 

Dalam Rampage versi film, sosok monster yang mengamuk hebat di tengah kota bukan lagi manusia yang terpapar serum salah uji melainkan hewan-binatang buas. Salah satu korbannya ialah seekor gorila albino bernama George yang mendiami San Diego Zoo. George tertimpa kemalangan selepas sebuah stasiun luar angkasa milik Energyne meledak dan meluncurkan serum berbahaya bernama CRISPR ke beberapa titik di Amerika Serikat, termasuk kawasan George bermukim. Reaksi dari serum ini terpampang aktual hanya dalam waktu semalam saja yang ditandai dengan ukuran tubuh si gorila yang membesar secara tidak masuk akal. Hal ini tentu mengejutkan hebat primata sekaligus sahabat baik George, Davis Okoye (Dwayne Johnson), lebih-lebih alasannya sahabatnya tersebut mampu menumbangkan beruang grizzly dengan gampang. Ditengah kebingungannya melihat perubahan fisik dan sikap dari George yang mendadak, Davis mendapat kunjungan dari seorang ilmuwan, Dr. Kate Caldwell (Naomie Harris), yang mengaku tahu mengenai akar permasalahannya sekaligus obat penawarnya. Sebelum rencana untuk menyelamatkan si gorila final disusun, George datang-datang menggila kemudian berkomplot dengan seekor serigala raksasa beserta buaya raksasa dan berlari menuju Chicago. Tujuan mereka sudah teramat jelas: menghancurkan gedung-gedung pencakar langit. Dibantu oleh seorang distributor pemerintah bernama Harvey Russell (Jeffrey Dean Morgan), Davis dan Kate harus berpacu dengan waktu untuk menghentikan George sebelum semuanya terlambat. 



Apabila kamu pernah memainkan Rampage – kalaupun tidak, kamu mampu menerkanya dari pembagian terstruktur mengenai di paragraf awal – tentu mengetahui bahwa inti dari permainan ini hanyalah menghancurkan gedung sebanyak mungkin. Smash, smash, smash. Tidak ada misi yang mengharuskannya memiliki jalinan pengisahan (mencoba untuk) rumit dan diselaputi misteri. Kalaupun ada plot, itu sebatas latar belakang yang menceritakan wacana penyebab lahirnya monster-monster ini. Maka mampu dipahami jikalau lalu Rampage garapan Brad Peyton yang mengerahkan empat penulis skenario ini tidak mempunyai plot yang bergizi tinggi. Lagipula, apa kamu benar-benar mengharapkan jalan cerita yang tertata dengan baik dari sebuah film yang disesuaikan dari video game? Video game-nya wacana monster penghancur gedung pula. Plot di sini hanya berfungsi untuk menjustifikasi munculnya serentetan sekuens tubruk sehingga tidak terkesan ujug-ujug. Kaprikornus kamu mesti membiasakan diri bakal menerima ‘keajaiban’ dan ‘kekonyolan’ di sepanjang durasi Rampage yang bikin ngikik-ngikik geli di kursi bioskop sebab memang, film ini tak pernah menganggap dirinya serius. Well, kau tentu tidak menganggap film yang menampilkan serigala terbang secara serius, kan? Tujuan utamanya hanyalah mengajak penonton bersenang-bahagia melalui spektakel yang gegap gempita. Spektakel seru yang mengajak penonton melupakan kepenatan hidup selepas dihajar pekerjaan di kantor atau usai mendapat setumpuk tugas kuliah dan sekolah. Dan menurut tujuannya tersebut, Rampage mampu dikatakan sukses. 

Rampage sendiri tidak menghabiskan banyak waktu untuk babak introduksi. Kita menerima sekelumit klarifikasi mengenai CRISPR, berkenalan dengan George dan aksara-huruf insan seperti Davis, Kate, beserta duo villain dari Energyne, kemudian tanpa banyak basa-bau, konflik perlahan mulai mengemuka menyusul jatuhnya serum-serum dari luar angkasa. Selepas badan George membesar seketika yang menciptakan dirinya merasa tidak nyaman, kita mendapati rangkaian kejadian yang menjabarkan definisi dari ‘seru’ dan ‘menyenangkan’. Kita melihat George membobol kandangnya, mengamuk jago di pesawat yang mengangkutnya sehingga membuat kekacauan di udara, bergabung dengan rekan-rekan mutannya adalah Ralph si serigala yang sebelumnya telah menghabisi sejumlah pasukan khusus dan Lizzie si buaya yang mengintai dari bawah air, sampai akibatnya yang telah kita nanti-nantikan selama durasi mengalun, memporakporandakan seisi Chicago. Menghancurkan gedung! Pertarungan antara monster dengan insan! Pertarungan antara sesama monster! Woo hoo! Dihantarkan dengan laju pengisahan yang bergegas, mempunyai setumpuk sekuens sabung dengan polesan efek visual meyakinkan yang dilontarkan nyaris tanpa henti, dan disokong karisma Dwayne Johnson yang memancar besar lengan berkuasa sebagai hero tangguh (dia memang cocok dengan tugas semacam ini), Rampage berhasil membuat aku seakan-akan terikat erat di bangku bioskop. Tak jarang pula, film membuat saya kegirangan mirip bocah yang baru pertama kalinya memainkan Rampage. Sisipan humornya yang berfungsi untuk mencairkan ketegangan pun bekerja dengan cukup baik sehingga disela-sela situasi serba genting, kita masih mampu terkekeh-kekeh. Asyik!

Exceeds Expectations (3,5/5)


Post a Comment for "Review : Rampage"