Review : Passengers
“You can't get so hung up on where you'd rather be, that you forget to make the most of where you are.”
Cenderung sulit untuk tidak terpengaruhi pada Passengers. Betapa tidak, film ini mengapungkan premis menggiurkan – bahkan skripnya sendiri dulunya tergabung dalam barisan skenario paling diperlukan untuk diproduksi di The Black List – mengenai sepasang insan yang hidupnya terombang-ambing pasca terbangun dari bilik hibernasi jauh lebih awal dalam perjalanan mengarungi jagat raya dan dua pelakon utamanya, Chris Pratt beserta Jennifer Lawrence, merupakan komoditi paling panas ketika ini di Hollywood. Dengan ditambah adanya keterlibatan dari Morten Tyldum yang berjasa mengantarkan The Imitation Game ke panggung Oscars di bangku penyutradaraan, Passengers kian berteriak lantang meminta perhatian kita. Mudahnya, Passengers telah memenuhi semua kriteria untuk berubah menjadi sebagai film yang: 1) dipuja-puji oleh para kritikus, dan 2) memuaskan dahaga penonton akan film fiksi ilmiah yang bukan semata-mata mengisi otak tetapi juga hati. Ekspektasi tinggi pun terbentuk diiringi oleh pertanyaan, “apa sih yang mungkin mampu salah dari ini?.” Nyatanya, sekalipun telah membopong bibit-hibrida, Passengers tak berhasil tersemai secara sempurna. Hasilnya memang tidak buruk namun menengok siapa-siapa saja yang terlibat, well... ini terang tak memenuhi pengharapan.
Berlatar waktu jauh ke depan (tidak pernah spesifik disebutkan), para penduduk bumi yang berkantong tebal melakukan perjalanan panjang selama 120 tahun mengarungi luar angkasa menggunakan kapal mewah Avalon guna menjangkau koloni baru yang dikenal sebagai Homestead II. Lebih dari 5000 orang yang kesemuanya tertidur dalam bilik hibernasi sampai empat bulan menjelang pendaratan menumpangi Avalon yang lantas mengalami kegagalan sistem di perjalanan tahun ke-30 usai menabrak sebuah asteroida. Malfungsi menimbulkan salah satu katup bilik hibernasi dari salah satu penumpang terbuka lebih awal. Penumpang yang tertimpa nasib apes tersebut ialah seorang mekanik bernama Jim Preston (Chris Pratt). Mulanya, Jim mencoba bersikap nyata dengan menggali-nggali gosip untuk memperbaiki bilik miliknya sembari mencuri-curi kesempatan menikmati fasilitas berkelas premium yang ditawarkan Avalon seorang diri. Tapi saat ia menyadari kerusakan tersebut mustahil mampu diperbaiki dan harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan meninggal alasannya adalah usia tua bahkan sebelum mendarat di Homestead II, frustrasi mulai menyergap. Demi menghilangkan rasa kesepian yang terus menghantui selama setahun semenjak dia terbangun, Jim pun nekat membangunkan penumpang lain, Aurora Lane (Jennifer Lawrence), untuk menemaninya.
Ditinjau dari premis, Passengers sejatinya memiliki potensi besar untuk terhidang sebagai tontonan yang menggugah emosi. Membayangkan hidup seorang diri di suatu tempat aneh tanpa bisa berinteraksi sama sekali dengan manusia lain – satu-satunya teman Jim ialah sebuah bartender android bernama Arthur (Michael Sheen) – ditambah tidak ada jaminan memperoleh pertolongan saja sudah bikin stres bukan kepalang. Morten Tyldum pun mengondisikan situasi serba tidak mengenakkan ini dapat tersalurkan ke penonton di paruh awal sehingga kita mampu memahami betapa depresinya si tokoh utama untuk lalu terhubung secara personal. Meski seni berperannya kurang bisa disetarakan dengan Tom Hanks (Cast Away), Sam Rockwell (Moon), maupun Matt Damon (The Martian) yang masing-masing pernah memerankan karakter bernasib kurang lebih senada, Chris Pratt tetap tampil mengesankan sebagai Jim. Energi berlimpahnya memudahkan kita untuk menyukai sosoknya, maka begitu beliau terjerembab ke lembah depresi, ada simpati tersemat. Berharap ia dapat kembali menikmati kehidupan mirip sedia periode. Momen-momen runtuhnya pertahanan emosi Jim ini menghilangkan kejenakaan yang sempat menghiasi dan menggantikannya dengan cita rasa muram, mencekam, serta depresif.
Nada pengisahan kembali berubah ketika Aurora hadir mengisi kekosongan hari-hari Jim. Mencelupkan plot romansa antara Jim dengan Aurora, nuansa depresif pun terkikis dan perlahan tapi pasti mampu dicecap adanya rasa elok. Chemistry lekat Chris Pratt bersama Jennifer Lawrence berkontribusi atas hadirnya momen-momen romantis yang sekalipun cheesy namun tak bisa disangkal cukup memikat hati. Pun demikian jangan berharap relasi keduanya akan membawamu ke fase mengharu biru alasannya “penyimpangan” pada laju pengisahan yang sejatinya telah terendus gelagatnya sedari Tyldum membelokkan nada film untuk kali kedua, benar-benar terpampang aktual menjelang klimaks. Laju film datang-datang berlari kencang seolah-olah batasan durasi akan terlampaui. Akibatnya, intrik mengusik hati berakarkan sakit hati balasan pengkhianatan dari seseorang yang dipercaya dan dicintai yang seharusnya dapat menjadi gong besar bagi Passengers, berlalu begitu saja. Bahkan, ini lantas diselesaikan dengan gampangnya seperti kasus sepele demi memberi ruang bagi mencuatnya momen eksplosif klise khas film blockbuster yang kemunculannya teramat sangat dipaksakan dan justru menghantarkan film ke ujung yang antiklimaks. Emosi yang telah tertanamkan dengan baik dihempaskan seolah tak memiliki arti. Seandainya Tyldum setia membawa Passengers ke ranah indie dengan lantunan cerita kontemplatif atau menggiringnya ke area romansa tanpa bumbu agresi tak perlu, kesudahannya bisa jadi lebih ciamik.
Acceptable (3/5)
Post a Comment for "Review : Passengers"