Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Girl On The Train


“You're not gonna get rid of me. You're gonna pay for this for the rest of your life.” 

Salah satu penyebab tingginya hype yang melingkungi The Girl on the Train yakni gencarnya penyematan label “the next Gone Girl” oleh berbagai kalangan. Komparasi keduanya memang sulit terelakkan mengingat ada keserupaan pada genre, tema, hingga gender sang penulis. Konflik besarnya boleh dikata segendang sepenarian terkait menghilang secara misteriusnya seorang wanita yang telah menyandang status “istri”. Disandingkan-sandingkan berulang kali terperinci menarik perhatian khalayak ramai. Menyandang predikat best-selling novel beserta memperoleh resepsi hangat kritikus, kentara sekali “si wanita dalam kereta” memenuhi pengharapan banyak pihak yang seketika menghantarkannya ke tahapan lebih lanjut dari sebuah novel laku: penyesuaian. Nah, tahapan inilah yang lantas membawa dua novel ini berpisah jalan. Gone Girl yang beruntung digaet oleh David Fincher menerima jalan mulus nyaris tanpa kendala berarti, sementara The Girl on the Train yang ditukangi Tate Taylor (The Help) memperoleh jalur bertolak belakang. Penuh lubang dimana-mana sehingga perjalanan pun berlangsung kurang nyaman dan hanya menyisakan keluh kesah usai menontonnya. 

Diekranisasi dari novel bertajuk sama karangan Paula Hawkins, The Girl on the Train mengandalkan sang tokoh utama yang notabene seorang pecandu minuman beralkohol, Rachel (Emily Blunt), untuk bernarasi. Saban hari, dalam perjalanan pulang pergi dari pusat kota, Rachel menumpangi kereta dengan acara persis sama. Guna mengusir kejenuhan rutinitas yang begitu-begitu saja, Rachel kerap melempar pandangan ke luar jendela kereta kemudian membuat dongeng rekaannya sendiri. Subjek pilihannya adalah pasangan Scott (Luke Evans) dengan Megan (Haley Bennett) yang tampak mempunyai kehidupan rumah tangga sempurna di permukaan. Entah kebetulan atau tidak, pasangan ini tinggal di samping rumah mantan suami Rachel, Tom (Justin Theroux), yang sekarang telah dikaruniai momongan hasil dari akad nikah barunya bersama Anna (Rebecca Ferguson). Sembari berfantasi, Rachel yang bahwasanya masih belum kunjung berdamai dengan abad lalunya membisu-diam memperhatikan pula keseharian Tom dan Anna. Pengintaian intensif ini lantas menyeret Rachel ke persoalan lebih kompleks tatkala Megan tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan Rachel menjadi orang terakhir yang melihatnya. 

Sebagai sebuah film yang memproklamirkan dirinya sebagai thriller, The Girl on the Train sejatinya kekurangan amunisi berupa daya cengkram beserta daya cekam untuk mengikat atensi penonton. Gerak langkahnya teramat lambat tanpa memberi banyak signifikansi pada film secara keseluruhan disamping membentuk nada penceritaan yang depresif sehingga belum apa-apa kemungkinan terjangkit rasa jenuh telah meninggi. Ini diperkarakan lantaran skrip Erin Cressida dan pengarahan dari Tate Taylor tidak cukup memadai dalam menciptakan karakterisasi kuat maupun laju nyaman buat diikuti. Oke, Rachel mempunyai bekal mencukupi yang memungkinkan kita menaruh perhatian terhadapnya – terutama statusnya sebagai “narator tidak dapat dipercaya” – walau gaya hidupnya yang berserakan sedikit banyak mengurangi simpati penonton, tetapi Anna dan Megan? Nope. Anna yaitu ibu rumah tangga monoton yang keliaran masa lalunya hanya disampaikan sepotong-sepotong, kemudian Megan lebih sering tampak sebagai “annoying bitch” alasannya adalah motivasi atas tindakannya tak pernah terpapar dengan semestinya. Selain sulit untuk peduli pada nasib masing-masing karakternya, persepsi kita terhadap Rachel, Anna, Megan, pun tak banyak berubah hingga film berakhir. Padahal, bukankah film ini mengenai “persepsi seringkali tak sejalan dengan realita” dan seharusnya penonton dijalinkan ikatan dengan para karakternya demi terwujudnya ketertarikan mendalam pada film? 

Ketiadaan pembacaan subteks menarik yang mengusik pikiran maupun memunculkan materi obrolan lebih lanjut seperti halnya Gone Girl (kau mampu menjumpainya di versi novel!), pada akibatnya, menempatkan The Girl on the Train tidak lebih dari tontonan melodrama generik. Tunggu, tunggu, melodrama? Betul. Daya cekam atau rentetan momen penggenjot adrenalin urung hadir disini, malah kita disodori sejumlah adegan penuh amarah bertabur air mata lengkap disertai dialog perngenyit dahi khas opera sabun dengan pola paling aktual ada di klimaks tanpa ketegangannya. Sensasinya, seperti menonton film-film televisi di akses berbayar Lifetime. Yang lantas menyelamatkan film dari keterpurukan lebih mendalam yaitu betapa baiknya lakonan dari para bintang utama dalam menginterpretasikan peran ditengah-tengah kekacauan naskah, utamanya bintang-bintang perempuan atau lebih spesifik lagi, Emily Blunt. Paling tidak berkat performa berkelas dari Emily yang menampilkan kerapuhan Rachel secara meyakinkan, penonton masih memiliki sedikit ketertarikan pada karakter yang dimainkannya serta bagaimana kelanjutan problem yang dihadapi olehnya sekalipun Rachel acapkali tampak menjengkelkan. Andaikata departemen akting tidak memberi kontribusi sebaik ini, boleh jadi pihak distributor akan mempertimbangkan The Girl on the Train untuk rilis dalam format FTV atau Video on Demand semata ketimbang diboyong ke layar lebar.

Acceptable (2,5/5)



Post a Comment for "Review : The Girl On The Train"