Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Moana


“If you wear a dress and have an animal sidekick, you're a princess.” 

Tahun 2016 menjadi saksi bisu atas pembuktian diri bagi divisi animasi Walt Disney bahwa mereka secara resmi telah mengambil alih kembali posisi sebagai pembuat film animasi paling terkemuka dari Pixar dengan diluncurkannya dua produk andal, yaitu Zootopia dan Moana. Ya, tatkala tetangga sebelah tengah menghadapi problematika bernama ‘inkonsistensi’ yang menimbulkan beberapa karyanya lewat begitu saja tanpa kesan, Disney justru kian menggeliat dari tahun ke tahun terhitung sedari Tangled (2010). Zootopia memancangkan standar tinggi bagi film animasi dengan penceritaan cerdas pula terhitung berani untuk ukuran Disney, sementara Moana hasil instruksi duo Ron Clements dan John Musker (The Little Mermaid, Aladdin) yang menerapkan pola tutur “back to basic” mengingatkan kita sekali lagi kenapa studio ini dapat menjadi raksasa animasi di dunia film. Moana memperlihatkan bahwa tontonan mengikat tidak melulu harus bersumber dari gagasan serba bombastis, malah seringkali kesederhanaan dengan hukuman dan pengemasan yang sempurna lebih mampu menghadirkan kejutan-kejutan menyenangkan. 

Moana membawa kita mengarungi lautan Pasifik untuk kemudian berlabuh di sebuah pulau bernama Motunui. Di sana penonton diperkenalkan pada sang protagonis, Moana Waialiki (Auli’i Cravalho), yang merupakan putri semata wayang sekaligus calon penerus dari kepala suku setempat. Dideskripsikan sebagai sosok cerdas, pemberani, serta sedikit pemberontak, Moana mempunyai harapan untuk bisa berlayar melewati watu karang yang ditentang keras oleh ayahnya, Tui (Temuera Morrison), sebab satu dan lain hal. Moana lantas nekat mewujudkan impiannya tersebut sehabis kesehatan ekosistem di Motunui tiba-tiba menurun drastis, mengetahui jati diri sukunya yang bahu-membahu, dan memperoleh dorongan dari sang nenek, Gramma Tala (Rachel House), yang mempercayai Moana sebagai satu-satunya impian untuk menyelamatkan kawasan tinggal mereka. Ditemani seekor ayam yang bodohnya kebangetan, Heihei, Moana yang sejatinya minim pengetahuan berlayar ini harus mengarungi samudera luas untuk menemukan Maui (Dwayne Johnson), manusia setengah tuhan, yang konon dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kondisi alam di Motunui dan sekitarnya. 

Ditinjau dari garis besar cerita, Moana memang tak tampak mengusung plot progresif. Masih berkutat pada topik pencarian jati diri berbasis petualangan menyelamatkan tanah kelahiran yang telah umum dijumpai di film-film Disney. Tapi mirip halnya Zootopia, film ini menyematkan pula bahan perbincangan lain yang boleh jadi tak pernah terlintas di benakmu akan diobrolkan oleh film animasi keluaran Disney pada satu dua dekade silam terkait ketangguhan wanita – well, Moana jauh lebih feminis ketimbang Frozen – sampai menjaga korelasi baik dengan alam. Ini terang menarik, menyegarkan, juga relevan. Sang tokoh utama yang notabene perempuan digambarkan mempunyai posisi kurang lebih sejajar dengan pria dalam tribe society, tangguh secara fisik maupun mental, dan tidak membutuhkan derma lawan jenis untuk menuntaskan perkara (Maui hanya membukakan jalan untuk Moana, itupun sebab dialah sumber masalahnya). Mendobrak segala bentuk konstruksi wanita ideal yang diciptakan sendiri oleh film animasi Disney lebih dari setengah periode silam. Terdengar, errr... berat? Tak perlu risau, kamu hanya akan menjumpai kerumitan tersebut di ulasan sok njelimet ini karena penceritaan Moana sendiri dilantunkan dalam mood penuh keriaan. 

Keriaan timbul dari serentetan momen yang menyebabkan gelak tawa maupun perasaan bersemangat penonton. Entah itu disebabkan tingkah luar biasa abstrak Heihei, interaksi konyol Moana dengan Maui, serangan perompak bertopengkan tempurung kelapa, kepiting raksasa narsis, atau amukan monster lahar. Selain itu, keriaan juga dipersembahkan oleh barisan nomor-nomor musikal melodius gubahan Lin-Manuel Miranda yang karirnya tengah mengangkasa berkat popularitas drama musikal Broadway, Hamilton, dan Opetaia Foa’i. Mereka menyumbangkan lagu-lagu gampang didendangkan semacam “How Far I’ll Go”, “We Know the Way”, “You’re Welcome”, dan “Shiny”, yang hampir mampu dipastikan akan melekat kuat di benakmu sampai berhari-hari sesudah melangkahkan kaki keluar dari gedung bioskop. Pengalaman menonton Moana kian terasa mengasyikkan alasannya film ini dihidupkan pula oleh visualisasi menakjubkan (lihatlah Motunui! tengoklah lautnya! perhatikanlah tato di badan Maui!) beserta sumbangsih mengagumkan para pengisi bunyi seperti pendatang baru Auli’i Cravalho yang memancarkan karisma kuat seorang pemimpin dalam diri Moana dan membentuk chemistry kocak bersama Dwayne Johnson. Dengan kombinasi serba baik seperti ini, tidak mengherankan jika kemudian Moana berhasil tersaji sebagai sebuah tontonan seluruh keluarga yang teramat sangat mengasyikkan.

Note : pastikan untuk tidak terlambat memasuki gedung bioskop alasannya adalah ada sebuah film pendek manis berjudul Inner Workings sebelum film utama. 

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Moana"