Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Milea Bunyi Dari Dilan


“Perpisahan yakni upacara menyambut hari-hari penuh rindu.”

Dalam dwilogi Dilan 1990 (2018) dan Dilan 1991 (2019) yang menjaring jutaan penonton – bahkan tertoreh di sejarah sebagai film Indonesia paling banyak dipirsa – kita telah menjadi saksi bagaimana cerita kasih antara Dilan si panglima tempur (Iqbaal Ramadhan) dengan Milea (Vanesha Prescilla) bersemi dan layu dengan sama cepatnya. Usai dijejali rayuan-rayuan gombal yang membuat para penggemarnya gemas bukan kepalang di jilid pertama yang narasinya mengalun santuy lantaran nyaris tiada konflik, film aba-aba Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini lantas menghamparkan pendekatan berbeda dalam instalmen kedua. Kalimat berbunga-bunga yang kerap meluncur dari lisan Dilan memang masih ada, tapi intensitasnya mengalami penurunan seiring tak hangatnya lagi relasi kedua sejoli ini. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai durasi hingga hingga pada satu titik yang bikin hati pengikut Dilanisme seketika nelangsa: mereka menentukan untuk berjalan sendiri-sendiri. Tak ada lagi pasangan DiMil, hanya tersisa Dilan dan Milea. Nanges nggak, tuh? Telah mencapai konklusi yang menyatakan bahwa pasangan fiktif ini urung melaju ke pelaminan dalam Dilan 1991, ternyata tak lantas menghentikan Pidi Baiq selaku pemilik dongeng dan Max Pictures selaku rumah produksi untuk mengakhiri franchise fenomenal ini. Mereka melaju dengan babak ketiga bertajuk Milea Suara Dari Dilan yang dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersisa dari dua seri pendahulunya. Guna memberi penonton perspektif lain dari kisah kasih duo karakter utamanya dimana sekali ini Dilan bertindak selaku narator alih-alih Milea.

Ya, mirip tertoreh dalam judul, Milea Suara Dari Dilan mengajak penonton untuk melongok kembali dongeng cinta Dilan-Milea menurut sudut pandang Dilan. Ketimbang hanya menjabarkan secara garis besar, narasi melempar kita jauh ke beberapa ketika sebelum film pertama dimulai. Well, film juga sempart memberi sekelumit citra mengenai era kecil sang protagonis meski selang berapa menit lalu, kala-era SMA kembali menjadi sorotan. Saat Dilan telah bergabung dengan geng motor dan ditaksir secara jelas-terangan oleh seorang wanita berjulukan Susi. Dilan sendiri tak menanggapinya secara serius alasannya adalah beberapa kawannya kerap melantangkan satu nama siswi gres yang sosoknya menciptakan si aksara utama dilingkupi kepenasaran: Milea. Apa yang terjadi selepas Dilan memberanikan diri untuk berkenalan dengan gadis pujaannya, kita semua sudah mengetahuinya. Yang tidak banyak kita ketahui mengingat narasi dua film terdahulu dicelotehkan menganut sudut pandang Milea yaitu kala-kurun dimana angin ribut mulai menerjang korelasi dua protagonis. Ketika Akew (Gusti Rayhan) meninggal yang memicu kemarahan meluap-luap dalam diri Dilan, ketika sang ayah (Bucek) melarangnya untuk menjejakkan kaki di rumah, dan dikala Milea karenanya menjatuhkan putusan untuk mengakhiri kekerabatan mereka. Pada titik-titik inilah, penonton mendapati serentetan pandangan anyar termasuk apa yang bekerjsama terjadi dibalik semua insiden ini. Tak lupa, si tokoh utama turut membagikan kisahnya jelang reuni dengan sang mantan dimana film menghadirkan momen-momen emasnya.


Tunggu, tunggu, momen emas? Betul, Milea Suara Dari Dilan tanpa disangka-sangka ternyata memilikinya dan bagi aku eksklusif, film ini merupakan sebuah epilog yang mengesankan bagi trilogi Dilan-Milea. Memang betul bahwa perjalanan menuju menit-menit terakhir yang menggoreskan rasa pedih, pilu, serta sesak tidaklah gampang. Selama paruh awal – atau setidaknya sebelum duo sejoli ini putus – film berlangsung repetitif. Hanya menyodori penonton dengan serentetan momen yang sejatinya telah disimak di film pertama. Teramat minim jalinan pengisahan baru di dalamnya kecuali bubuhan dongeng masa kecil sang protagonis serta persiapannya dalam mendekati sang pujaan hati. Itupun tak pernah benar-benar dieksplorasi secara mendetail sehingga membenamkan segala impian untuk mengenal secara personal abjad Dilan, termasuk relasinya dengan sang ayah, keikutsertaannya dengan geng motor dan alasan yang mendasari ketertarikannya pada Milea. Untuk sesaat, aku dilingkupi kekecewaan alasannya film seolah enggan untuk mendedah sosok dewasa aneh yang mempunyai kemahiran dalam merangkai kata-kata puitis ini. Padahal dari sanalah film berkesempatan untuk memunculkan greget dengan cara merekonstruksi momen-momen manis menggemaskan selama kurun berpacaran berlangsung yang kali ini dilihat menggunakan kacamata si pemuda, ketimbang sebatas menyelipkan stock footage dari Dilan 1990 yang tidak saja memunculkan kesan malas tetapi juga memupuskan impak adegan-adegannya itu sendiri. Saya pun bertanya-tanya, “mengapa diri ini harus melihat momen serupa apabila tidak ada sedikitpun perbedaan di dalamnya? Mengapa?”

Mesti diakui, pengulangan ini sempat menciptakan hamba dirundung jenuh. Saya ingin sekali keluar sejenak untuk mencari udara segar, toh tidak akan ada menit-menit krusial (dan gres) yang terlewatkan. Namun pada hasilnya aku menentukan untuk bertahan dan syukurlah terhitung sedari mseusai muda-mudi yang tengah dimabuk cinta ini diterpa ujian, Milea Suara Dari Dilan mulai benar-benar bergerak dengan rangkaian adegan baru. Kita melihat apa-apa saja yang bahu-membahu terjadi selama kala kehilangan yang memberikan betapa ringkih dan kesepiannya Dilan. Dia membutuhkan dekapan, tapi tak seorang pun bersedia mengulurkan tangan apalagi menyediakan bahunya untuk bersandar. Di tengah rintik-rintik hujan yang mengguyur kota Bandung, penonton menyaksikannya bersedu sedan. Ada kekecewaan meronta-ronta terhadap Milea, maupun terhadap dirinya sendiri. Iqbaal Ramadhan memperlihatkan kemahirannya bermain tugas – yang sekaligus menerangkan bila beliau memang pilihan sempurna – karena di titik inilah saya bersimpati kepadanya. Menyadari bahwa dirinya tak lebih dari sekadar cukup umur yang sedang mencari jati dirinya dan disalahpahami. Muncul keinginan untuk memeluknya, muncul cita-cita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Dari penuturannya yang hangat, kita mampu memafhumi alasan dibalik keengganannya untuk berdamai dengan sang kekasih karena bagaimanapun juga beliau masihlah seorang bocah yang belum bisa mengendalikan ego dan emosinya. Bahkan, bukankah kita yang sudah tumbuh sampaumur pun masih melakukannya?


Di ketika saya menerka Milea Suara Dari Dilan akan mengakhiri narasinya mirip halnya Dilan 1991 yang sebatas mencelotehkan fase “pertemuan kembali” secara sepintas lalu, ternyata film berupaya mengompensasi kekosongan di paruh awal pada titik ini. Selepas adegan “menelpon mantan” yang menjadi momen emas dalam film dengan kemampuannya memberi rasa pedih, menit-menit akhir cukup banyak menyediakan rangkaian adegan bernuansa serupa yang akan membuatmu pilu dan sesak. Utamanya jika kau pernah mengalami apa yang dialami oleh muda mudi ini: relasi retak akhir kesalahpahaman dan ego yang membentengi komunikasi. Ditambah lagi, chemistry Iqbaal dengan Vanesha Prescilla menunjukkan kekuatannya disini yang terdeteksi melalui gestur atau tatapan mata. Kita bisa mencecap bahwa masih ada getaran cinta diantara mereka, kita pun bisa mengetahui bahwa mereka sejatinya masih mengharap ada keajaiban yang dapat menyatukan keduanya. Melalui momen “menelpon mantan bagian 2” dimana kedua belah pihak mengakui kesalahan-kesalahan di masa lampau, atau momen “reuni sekolah” yang sayangnya berlangsung terlampau singkat, penonton dihadapkan pada sensasi gregetan yang sama sekali berbeda (plus bertolak belakang) dari jilid pertama. Tak lagi dibarengi senyuman, melainkan dibarengi oleh air mata. Narasi Dilan untuk memilih berdamai dengan luka dan masa kemudian nyatanya justru menciptakan hati teriris-iris walau sunggingan senyum tetap terbit. Ketika film alhasil akhir kemudian lampu bioskop dinyalakan, rasa gregetan ini semakin menjadi-jadi bagi aku lantaran menyadari Milea Suara Dari Dilan bisa saja meninggalkan kesan yang jauh lebih besar lengan berkuasa andai saja paruh awalnya dibangun menggunakan adegan-adegan baru dan bukannya stock footage. Bahkan dengan adanya kekecewaan seperti ini saja, saya masih mampu menganggap Milea Suara Dari Dilan sebagai babak epilog yang mengesankan.  

Exceeds Expectations (3,5/5)
  



Post a Comment for "Review : Milea Bunyi Dari Dilan"