Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Love For Sale


“Mencintai adalah sebuah pekerjaan yang berat dan penuh resiko. Tapi gue kira, mengambil resiko tidak ada salahnya.” 

Berpatokan pada aktor yang dipilih untuk menempati garda terdepan, sutradara yang dipercaya untuk mengarahkan film, serta jejak rekam rumah produksi di kancah perfilman nasional, kita sebenarnya sudah bisa menerka bahwa Love for Sale bukanlah film percintaan konvensional seperti yang kerap dicetuskan oleh sineas-sineas tanah air. Betapa tidak, Gading Marten (di usia 35 tahun) bukanlah pria dengan penampilan mentereng yang digila-gilai para wanita seperti Chicco Jerikho atau Adipati Dolken contohnya, Andibachtiar Yusuf selaku sutradara lebih sering berkecimpung dalam teritori film olahraga seperti Hari Ini Pasti Menang (2013) dan Garuda 19 (2014), dan Visinema Pictures sebagai rumah produksi masih konsisten menghasilkan film-film dengan mutu mampu dipertanggungjawabkan hingga detik ini. Dengan modal cukup meyakinkan seperti ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian muncul ketertarikan untuk merasakan Love for Sale yang premis dasarnya mungkin akan sedikit banyak mengingatkan kita kepada Her (2013) instruksi Spike Jonze yang berceloteh mengenai seorang laki-laki kesepian yang jatuh cinta kepada perangkat lunak. Tapi hening saja, kesamaan antara kedua film tersebut tak pernah lebih jauh lagi. Si pembuat film memilih untuk tak semata-mata melantunkan Love for Sale sebagai film cinta-cintaan tetapi juga menjajaki tema cukup kompleks terkait kesepian, berdamai dengan sedih, serta mengikhlaskan kurun kemudian. 

Dalam Love for Sale, penonton diperkenalkan kepada bujang lapuk bernama Richard Achmad (Gading Marten). Di usia yang telah memasuki kepala empat, Richard masih betah hidup sendiri – hanya ditemani seekor kura-kura – dan lebih memilih untuk menenggelamkan diri pada pekerjaannya yang berkecimpung di bidang percetakan. Richard yang dikenal sebagai pakar cinta ini mulanya beranggapan tidak ada yang salah dengan kesendiriannya sampai kemudian Richard menerima tantangan dari sobat-temannya untuk memperkenalkan kekasihnya kepada mereka di pesta ijab kabul Rudy (Rizky Mocil). Hanya memiliki waktu selama dua ahad, Richard jelas kelabakan terlebih beliau tidak memiliki banyak kenalan wanita yang masih lajang atau bersedia diajak berpura-pura menjadi kekasihnya. Ditengah keputusasaan, Richard datang-tiba menerima solusi dari sebuah aplikasi kencan online, Love.Inc., yang mempertemukannya dengan Arini Kusuma (Della Dartyan). Entah sial entah beruntung, kesalahan manajemen mengakibatkan Richard mau tak mau ‘terjebak’ bersama Arini selama 45 hari alih-alih 5 hari saja. Kehadiran Arini yang manis dan penuh perhatian di sampingnya, perlahan tapi niscaya merubah kepribadian sekaligus kehidupan Richard yang tadinya monoton menjadi lebih berwarna. Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir, Richard jadinya mencicipi lagi apa yang disebut dengan cinta.


Selama durasi mengalun yang mencapai 104 menit, penonton dihadapkan pada berbagai macam rasa yang tiba secara silih berganti di dalam Love for Sale. Ada kejenakaan, ada rasa elok, dan ada pula rasa getir. Kejenakaan mampu ditengok melalui interaksi Richard dengan sahabat-sahabatnya, interaksi Richard dengan karyawan-karyawannya di percetakan, maupun interaksi Richard bersama teman baiknya, Panji (Verdi Solaiman), yang selalu mempunyai bahan untuk berdakwah. Kehadiran mereka – termasuk Richard sendiri – yang mempunyai perangai aneh kerap kali memunculkan gelak tawa dalam dosis cukup. Fungsinya, menawarkan keseimbangan kepada Love for Sale sehingga tidak terjerembab menjadi tontonan depresif mengingat materi pembahasannya sendiri sukar dibilang ringan. Kejenakaan ini lalu dikawinkan dengan rasa elok yang mampu dicecap, tentu saja, lewat kebersamaan protagonis kita dengan Arini. Si pembuat film tidak menggeber obrolan-dialog sarat gombalan yang bikin diabetes untuk menawarkan romantisme, melainkan menekankan pada korelasi yang makin bertumbuh diantara dua sejoli. Sosok Arini digambarkan menaruh perhatian sangat besar terhadap pasangan kontraknya – meski ada keraguan bahwa kepedulian ini sejatinya tidak pernah dilandasi dengan ketulusan – sementara Richard mirip menemukan impian hidup gres sejak Arini berada di dekatnya. Dia merangkul orang-orang yang selama ini diberinya batasan dalam berinteraksi dengannya dan sosoknya yang cenderung keras perlahan tapi niscaya melunak. 

Sebelum Arini memasuki hidup Richard dan kemudian ia datang-datang menghilang, Love for Sale berada pada titik getirnya. Jomlo menahun akhir keengganan untuk mengikhlaskan periode lalu telah menyebabkan Richard terperangkap dalam kesepian. Duka yang merundung hatinya dilampiaskan dalam kemarahan-kemarahan kepada anak buahnya sekaligus membentengi diri dari interaksi sosial. Alih-alih membuat dirinya menemukan kedamaian, langkah ini justru menciptakan dirinya kian nelangsa sekalipun tidak pernah benar-benar disadarinya. Malam-malam sunyi ditemani suara pertandingan sepakbola dari televisi yang berisik menjadi kawan akrabnya selama bertahun-tahun, disamping seekor kura-kura renta bernama Kelun. Gading Marten dalam performa sangat mengesankan (yang mungkin tidak pernah diantisipasi oleh kebanyakan penonton) mampu menunjukkan sisi rapuh dan menyedihkan dari seorang Richard dibalik topeng tangguh yang dikenakannya. Ditunjang skrip bagus rekaan Andibachtiar Yusuf bersama M. Irfan Ramli, mudah untuk terhubung kemudian memberikan perlindungan kepadanya alasannya adalah abjad Richard sendiri bersahabat dengan realita: beliau mampu saja kamu, ia bisa saja orang yang kau kenal. Lebih-lebih, Gading membentuk ikatan kimia meyakinkan bersama pendatang gres Della Dartyan yang auranya memancar kuat sehingga kita mafhum mengapa sosok Arini mampu membuat Richard bertekuk lutut. Saking meyakinkannya chemistry diantara mereka berdua, bukan mustahil pendukung tim Gisel dan Gempi akan merasa cemas setiap kali melihat Richard dan Arini bermesraan.


Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Love For Sale"