Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : In This Corner Of The World


“Thank you for finding me in this corner of the world.” 

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom uranium jenis bedil yang dikenal dengan nama Little Boy dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima, Jepang. Pengeboman yang menelan ratusan ribu korban jiwa tersebut – sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil – memberikan pukulan telak bagi Jepang sehingga tidak berselang lama mereka pun menyerah kepada pihak sekutu yang secara otomatis mengakhiri berlangsungnya Perang Dunia II. Inilah salah satu insiden penting dan kuat dalam sejarah umat insan. Saking pentingnya, industri perfilman di Jepang pun tak ingin kelewatan untuk mengabadikannya melalui bahasa audio visual, baik berkenaan langsung dengan sejarahnya atau sekadar menjumputnya sebagai latar belakang penggerak kisah mirip dilakukan oleh film animasi pemenang beragam penghargaan berjudul In this Corner of the World (atau berjudul orisinil Kono Sekai no Katasumi ni). Ya, film isyarat Sunao Katabuchi (Princess Arete, Mai Mai Miracle) yang disarikan dari manga bertajuk serupa ini bukanlah sebentuk rekonstruksi sejarah dengan alur dongeng maupun abjad-aksara yang bisa dijumpai di buku teks melainkan sebentuk hikayat dengan bangunan kisah fiktif yang mencoba menunjukkan perspektif tentang impak perang terhadap kemanusiaan. 

Karakter utama yang dimanfaatkan In this Corner of the World untuk menggulirkan roda penceritaan ialah Suzu (disuarakan oleh Non), seorang perempuan polos dan kikuk yang menaruh minat tinggi pada menggambar. Dipaparkan secara episodik, penonton mengikuti kehidupan Suzu sedari ia masih kecil dan tinggal bersama keluarganya di Eba, Hiroshima, pada tahun 1930-an sampai tumbuh menjadi wanita remaja dan meninggalkan kampung halamannya untuk tinggal bersama keluarga suaminya di Kure yang menjadi markas utama bagi Angkatan Laut Jepang semasa Perang Pasifik pada tahun 1940-an. Kepindahannya ke Kure sendiri tidak pernah diantisipasinya alasannya adalah sebelum berlangsungnya prosesi pernikahan di usianya yang ke-18, Suzu tidak mengenal laki-laki yang datang-datang datang untuk melamarnya, Shusaku (Yoshimasa Hosoya). Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendadak bagi Suzu sehingga belum sempat beliau mengatasi keterkejutannya, sang huruf utama harus sesegera mungkin mengikuti keadaan dengan rutinitas barunya sebagai ibu rumah tangga. Tidak gampang bagi Suzu untuk menjalani kehidupan barunya ini terlebih dengan adanya pembatasan jatah ransum yang memaksanya berpikir kreatif biar keluarganya dapat makan secara layak dan kehadiran abang iparnya, Keiko (Minori Omi), yang kerap bersikap masbodoh kepadanya sekalipun sang putri, Harumi (Natsuki Inaba), menjalin relasi bersahabat dengan Suzu. 

Dalam menghantarkan kisahnya yang berbincang soal cinta, kemanusiaan, dan keinginan di tengah-tengah berkecamuknya perang akbar, In this Corner of the World mengambil pendekatan berbeda dengan sejawatnya, Grave of the Fireflies (1988, Ghibli), yang poros utama kisahnya berada di rentang waktu sama. Alih-alih bermuram durja – meletakkan fokus pada kepedihan hidup tak terperi dari si huruf utama – Sunao Katabuchi menentukan untuk melantunkannya dengan nada penceritaan yang bertolak belakang. Tidak meletup-letup, optimis, serta kasatmata dalam memandang kehidupan. Memang sih Suzu kerap dinaungi ketidakberuntungan dalam hidupnya; dari cinta tak hingga, perjodohan, abang ipar yang jutek bukan main, stok masakan serba terbatas, hingga peperangan yang merenggut kebebasan maupun orang-orang yang dikasihinya, namun ketimbang menggambarkannya secara dramatis sarat air mata, Sunao mentranslasinya ke bahasa gambar secara damai mengikuti cara Suzu menyikapi persoalannya dengan kepala acuh taacuh. Alhasil, In this Corner of the World tidak berubah menjadi sebagai tontonan ‘horor’ (baca: menguras air mata) mirip kerap dibayangkan banyak pihak dan hentakan-hentakan emosi dalam film pun diminimalisir sedemikian rupa hingga pesawat Amerika Serikat menjatuhkan bomnya. Keputusan untuk tidak mengumbar emosi, sedikit banyak berdampak pada alur yang mengalun cenderung tenang-hening menghanyutkan ala film berjalur slice of life dan bisa jadi akan terasa menjemukan bagi sebagian penonton.

Mengingat kehidupan Suzu sebagai ibu rumah tangga yang repetitif serta jauh dari kata hingar bingar kecuali dari suara gemuruh pesawat perang dan ledakan bom di sekitar kawasan tinggalnya maka pilihan si pembuat film dalam menuturkan cerita ini sangat bisa dipahami. Penonton dimaksudkan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Suzu sehingga ada ikatan emosi yang terbentuk antara penonton dengan sang protagonis utama maupun beberapa abjad kunci yang mempunyai peranan dalam kehidupannya. Menariknya, Suzu bukanlah sesosok aksara yang lempeng apalagi cuek. Dia terlihat sangat mudah disukai dengan penggambaran pembawaan yang periang, kikuk, dan agak ceroboh sampai-hingga kerap memantik peristiwa-peristiwa konyol di sekelilingnya mirip tanpa sengaja menyebabkan teman-temannya bergelimpangan atau salah dikira sebagai agen rahasia sebab menggambar armada angkatan laut Jepang. Rentetan humor-humor segar yang efektif dalam menghadirkan derai tawa ini mewarnai dua pertiga awal durasi yang hampir tidak mempunyai momen dramatik mengikuti garis konflik yang acapkali berada di posisi horizontal. In this Corner of the World mulai memperlihatkan geliatnya dari sisi emosi ketika salah satu aksara kunci tewas akhir terkena bom waktu. Keceriaan yang menaungi tahap sebelumnya perlahan mengabur – walau tidak sepenuhnya – dan kemuraman menyelinap masuk. 

Sedari titik ini, kita mampu melihat seberapa besar impak perang terhadap kemanusiaan. Sikap optimis dan aktual yang coba dipromosikan oleh In this Corner of the World juga semakin menunjukkan taringnya disini. Bagaimana para huruf bertindak dalam menyikapi murung yang menyelimuti, bagaimana cinta, pengampunan dan kebaikan hati mampu membantu memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan sekaligus memunculkan cita-cita. Meski bukan berarti Suzu tidak pernah diperlihatkan terpuruk, namun dia secara cepat mampu berdiri begitu pula beberapa huruf penting yang berhasil selamat. Salah satunya bahkan sempat berujar kepada Suzu, “tidak ada gunanya menangis. Kamu hanya akan membuang-buang garam.” Ucapan yang singkat pula menampar bagi si protagonis, utamanya di kala dirundung kesulitan memperoleh bahan pangan. Tapi penonton tak perlu merasa risau akan dihalang-halangi untuk meluapkan emosi karena seperti disinggung di penghujung paragraf sebelumnya, babak ketiga merupakan awal mula bermunculannya momen-momen merobek hati. 

Kendati (lagi-lagi) tidak seperti Grave of the Fireflies yang sudah berada di tahapan tanpa ampun menghujam emosi, keberadaannya dalam In this Corner of the World akan tetap mengusik nuranimu. Tengok saja pada adegan seorang pria dengan tubuh terpanggang, orang-orang yang kebingungan mencari keberadaan sanak saudara selepas Hiroshima luluh lantak oleh bom, atau seorang bocah kecil yang kehilangan ibunya. Sulit untuk tidak menitikkan air mata, mengutuk keras peperangan, seraya berkontemplasi untuk menemukan jawab atas tanya, “mengapa sih harus ada peperangan? Adakah urgensi mendesak dibaliknya atau sekadar ajang unjuk ego?.” Pada hasilnya, In this Corner of the World adalah sebuah hikayat memikat mengenai bencana yang dihamparkan secara indah berkat gesekan-tabrakan gambar yang sederhana namun amat indah, jenaka mengikuti cukup tingginya asupan humor tatkala menyoroti kehidupan rumah tangga Suzu, serta tetap efektif dalam mempermainkan emosi dikala jadinya keluarga Suzu mulai benar-benar terkena pengaruh dari peperangan yang sebenarnya sama sekali tidak mereka pahami.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : In This Corner Of The World"