Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Escape Room (2019)


“They knew everything about us.”

(Ulasan ini mungkin agak nyerempet spoiler, meski nggak separah filmnya itu sendiri yang melaksanakan spoiler kelas berat)

Apakah ada diantara kalian yang pernah menjajal permainan ‘escape room’ yang popularitasnya tengah melesat dalam beberapa tahun terakhir ini? Kalau belum, coba deh luangkan waktu (serta duit tentunya) lalu ajak sahabat-teman terdekat buat menjajalnya. Saya sendiri ketagihan ingin memainkannya lagi sesudah berkesempatan untuk mencoba permainan ini pada setahun silam. Dalam permainan ini, sejumlah partisipan bakal ‘dikurung’ di sebuah ruangan dalam abad waktu tertentu guna memecahkan teka-teki yang dapat membebaskan mereka dari ruangan tersebut. Kerjasama tim terperinci diutamakan dan jika kalian benar-benar sudah mengalami kebuntuan berpikir, bisa meminta petunjuk kepada gamemaster yang senantiasa mengawasi gerak-gerik pemain. Terdengar seru, bukan? Dan percayalah, permainan yang memiliki berbagai tema ini (waktu itu aku menjajal tema zombie) memang seseru itu. Saking seru dan populernya game ini, tidak mengherankan bila petinggi studio di Hollywood yang terpelajar melihat peluang kesudahannya tertarik untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film layar lebar. Mengusung judul sesederhana Escape Room, film kode Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) yang bergerak di jalur horor ini meningkatkan pertaruhan dalam permainan demi menggaet atensi penonton. Teka-tekinya tak hanya dibikin lebih rumit, tetapi juga mempunyai imbas mematikan apabila si pemain tak sanggup menuntaskannya sempurna waktu.

Dalam Escape Room versi layar lebar, ada enam partisipan yang dilibatkan. Konfigurasinya terdiri dari seorang mahasiswi yang memiliki otak encer tapi sukar bersosialisasi bernama Zoey (Taylor Davis), seorang pebisnis muda yang ambisius bernama Jason (Jay Ellis), seorang pekerja di toserba yang alkoholik berjulukan Ben (Logan Miller), seorang veteran perang yang mengalami trauma bernama Amanda (Deborah Ann Woll), seorang pecandu permainan escape room berjulukan Danny (Nik Dodani), dan seorang pengemudi truk bernama Mike (Tyler Labine). Keenamnya menerima undangan dari perusahaan Minos untuk mencoba merasakan pengalaman memainkan escape room milik mereka yang digadang-gadang “imersif” atau mirip kenyataan. Agar mereka semakin tertarik, Minos menyiapkan hadiah uang tunai sebesar $10 ribu bagi pemain yang mampu menuntaskan tantangan sampai final. Didorong oleh motivasi berbeda antara satu dengan lain – sebagai acuan; Ben membutuhkan uang, Danny menyayangi permainan ini, dan Zoey memerlukan tantangan – mereka pun bersedia mencoba permainan ini. Tanpa ada kecurigaan sedikitpun, keenam partisipan mulanya menduga bahwa ini hanyalah sebatas permainan… hingga kemudian bahaya tertampang aktual di depan mata. Mereka memasuki ruangan demi ruangan yang mempunyai oven raksasa, udara cuek, ‘lantai berlubang’, sampai dinding bergerak yang dapat mengakhiri hidup mereka apabila teka-teki gagal dipecahkan.


Jika yang kau butuhkan adalah film untuk seru-permintaan di masa senggang, Escape Room sejatinya bukanlah pilihan yang mengecewakan. Secara langsung, aku mampu menikmati menu dari Adam Robitel ini setidaknya sampai memasuki menit ke-70. Apresiasi terbesar yang dapat saya sematkan kepada Escape Room yakni desain produksinya yang terbilang impresif sehingga memungkinkan setiap ruangan untuk mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri sekaligus memberi kesan ‘imersif’ mirip disebut oleh para partisipan. Dalam permainan rancangan Minos ini, kau akan menjumpai ruangan ibarat ruang tunggu yang diam-membisu menyimpan panggangan raksasa, ruangan mirip danau membeku yang dinginnya bukan kepalang, ruangan mirip kafe tempat bermain billiard yang posisinya terbalik, sampai ruangan mirip bangsal rumah sakit. Adanya pembeda di setiap ruangan ini secara tidak pribadi menghindarkan penonton dari kejenuhan karena muncul keingintahuan mengenai wujud ruangan selanjutnya. Berhubung tingkat kesulitan senantiasa menanjak, ada pula rasa penasaran untuk mengetahui tantangan seperti apa lagi yang bakal dihadapi oleh para partisipan. Memang sih beberapa tantangan tampak terlampau gampang untuk dipecahkan, tapi syukurlah Escape Room masih menyimpan satu momen yang betul-betul menciptakan jantung ini berdegup kencang dan kaki terasa lemas. Bagi saya, momen tersebut mampu dijumpai di ruang billiard.

Disamping desain produksi, faktor lain yang menimbulkan Escape Room terasa nikmat-nikmat saja buat dikudap yaitu laju penceritaan yang bergegas dan barisan abjad yang (syukur alhamdulillah) tidak terlalu menyebalkan. Kapan coba terakhir kali kamu menonton sebuah film horor dimana sebagian besar karakternya dapat diberi simpati dan kamu tidak mengharapkan mereka mati? Jarang-jarang ada lho, dan untuk itu, Escape Room perlu diberi sedikit tepuk tangan. Yang juga perlu diapresiasi ialah upaya Robitel dalam menyelamatkan film dari keterpurukan karena materi narasi kurang memadai. Ya, si pembuat film menyadari betul bahwa skrip film ini mengandung penceritaan yang tipis dan terasa amat familiar sampai-hingga mengingatkan pada Cube (1997), Saw V (2008), hingga The Belko Experiment (2016). Itulah mengapa dia mengondisikan biar laju penceritaan Escape Room melesat cepat demi menutupi kelemahan skrip dan menjauhkan penonton dari kemungkinan jenuh akhir beberapa trik yang kurang bergigi. Smart move, huh? Berhasil di satu jam pertama, sayangnya langkah Robitel terjegal begitu film memasuki babak pengungkapan yang bukan saja berlangsung datar tetapi juga tidak mempunyai daya sentak mirip diperkirakan. Keinginan untuk berbagi film menjadi sebuah franchise turut memiliki andil pada konklusi yang terasa antiklimaks hingga memunculkan komentar “udah nih gitu aja?”. Beruntung Escape Room tergolong sukses di tangga box office sehingga kemungkinan bagi penonton untuk memperoleh jawaban di jilid berikutnya seketika terbuka lebar. Coba bayangkan seandainya film ini gagal, maka kedongkolannya mungkin saja setara dengan The Mist (2007) yang penyelesaiannya masih belum bisa aku maafkan sampai kini.

Acceptable (3/5)


Post a Comment for "Review : Escape Room (2019)"