Review : The Doll 2
“Aku rasa Kayla belum benar-benar pergi. Dia masih ada di sekitar kita.”
Dibalik suka cita menyambut laku manisnya dua film horor tanah air tahun ini kolam kacang goreng, Danur: I Can See Ghost dan Jailangkung, tertinggal pula galau gulana – setidaknya bagi saya. Betapa tidak, antisipasi begitu tinggi terhadap judul-judul tersebut, ditambah The Curse yang juga tampak menjanjikan pada mulanya, dibayar oleh kekecewaan teramat sangat. Tatkala lampu bioskop dinyalakan, lalu pintu pun dibuka oleh salah seorang staf, muncul hasrat menggebu-nggebu untuk buru-buru meninggalkan kawasan pertunjukkan. Bukan karena dibuatkan ketakutan, melainkan sudah jenuh bercampur bete sampai-hingga ingin menghirup udara segar dengan cita-cita stres dapat terhempas manja. Duh. Mengalami keapesan sebanyak tiga kali secara berurutan tentu saja bikin jera dalam menanti film memedi lokal berikutnya. Pengecualian untuk Pengabdi Setan yang masih memperlihatkan adanya cita-cita, rentetan judul lain tak lagi terdengar menggairahkan buat disimak termasuk The Doll 2. Jilid pendahulunya memang terhitung mendingan dibanding film-film rilisan Hitmaker Studios yang lain, namun tetap belum bisa pula dikategorikan sebagai tontonan menyeramkan apalagi bagus. Itulah mengapa karenanya diri ini enggan untuk memboyong ekspektasi apapun ketika menonton The Doll 2 yang lantas malah menghadiahi suatu kejutan cukup anggun dalam pengalaman menonton saya.
Bagi kau yang belum pernah menonton seri pertama The Doll, tidak perlu khawatir bakal tersesat dalam guliran pengisahan yang ditawarkan oleh The Doll 2. Keterkaitan antara dua judul ini sebatas pada huruf bernama Laras (Sara Wijayanto) yang bertugas untuk membersihkan rumah tangga pasangan-pasangan muda dari campur tangan makhluk halus yang belum mampu beristirahat dengan tenang. Pasangan muda yang membutuhkan tunjangan Laras dalam seri kedua adalah Maira (Luna Maya) dan Aldo (Herjunot Ali). Persinggungan keduanya dengan lelembut dimulai beberapa bulan selepas putri tunggal kesayangan mereka, Kayla (Shofia Shireen), tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Mengalami duka amat mendalam ditinggal buah hati, Maira kerap merasa Kayla masih berada di sekitarnya. Demi menenangkan Maira, sang sahabat, Elsa (Maria Sabta), mengajaknya untuk melaksanakan pemanggilan arwah menggunakan medium boneka kesayangan Kayla, Sabrina, yang sejujurnya cenderung abnormal ketimbang lucu. Setelah suatu percobaan, mereka merasa pemanggilan arwah ini tidak berhasil dan meninggalkannya begitu saja. Yang tidak diketahui baik oleh Maira maupun Elsa, arwah Kayla telah menyanggupi untuk hadir dan bersedia untuk mengajak sang ibunda bermain-main lagi. Yang juga tidak mereka ketahui, arwah Kayla ternyata tak ingin sekadar bermain tetapi juga menuntaskan sebuah urusan yang belum terselesaikan.
Kejutan yang didapat ketika menyaksikan The Doll 2 di layar lebar yaitu betapa mengasyikkannya film isyarat Rocky Soraya ini. Mengingat standar yang telah ditetapkan untuk film horor dalam negeri pada tahun ini terhitung sangat rendah, tentu gampang saja memproklamirkan The Doll 2 sebagai film seram terbaik sejauh ini di tahun 2017. Sebenarnya sih tidak seram-seram amat karena banyak diantaranya masih terlalu bergantung pada jump scares dengan iringan skoring berisik yang tidak pada tempatnya meski sekali ini permainan pada atmosfernya lebih ditekankan, hanya saja The Doll 2 memiliki sesuatu yang tidak dipunyai Danur, Jailangkung, maupun instalmen pertamanya yaitu keasyikkan yang mampu dijumpai di beberapa titik. Ya, film telah mencuri atensi sedari prolognya yang menghentak dan tidak main-main dalam mengumbar kebrutalan. Intensitasnya yang tinggi cukup untuk mengusik kepenasaran penonton dalam mengetahui apa yang hendak ditawarkan oleh The Doll 2 di menit-menit selanjutnya. Selepas pembantaian dua keluarga, kemudian berlanjut pada adegan kecelakaan yang merenggut nyawa Kayla, nada penceritaan melembut. Mengajak penonton memasuki fase murung yang menghinggapi Maira. Keputusan studio dalam mereduksi penampakan tidak perlu untuk lalu digantikan oleh narasi terperinci perlu diapresiasi sekalipun percobaan ini tidak sepenuhnya berhasil pula disebabkan penghantarannya yang kelewat berlarut-larut sehingga berpotensi menjenuhkan penonton kebanyakan dan eksistensi dialog-obrolan menggelikan (ehem, Mbak Elsa, Sabrina itu nggak lucu lho!) yang mendistraksi.
Yang lantas merekatkan mata penonton pada layar di titik ini yaitu permainan teknisnya mirip teknik pengambilan gambar yang berkelas premium dan lakon tangguh dari Luna Maya. Dia mampu memberi suntikan emosi ke film dengan menawarkan keterpurukan seorang ibu yang ditinggal pergi buah hatinya secara meyakinkan. Kita mampu terkoneksi pada perasaannya... dan kita pun bertahan. Mengalami naik turun sepanjang babak kedua, intensitas mengalami kemerosotan cukup drastis dikala The Doll 2 memberi kelokan konyol pada penceritaan yang melemparkan ingatan ini pada salah satu episode dalam Sinema Pintu Taubat sampai-hingga aku mengantisipasi terdengarnya suara Opick melantunkan salah satu tembang andalannya. Meruntuhkan mood yang telah dibangun susah payah selama perjalanan dengan seketika. Pusing deh, kepala Ken! Menduga film sudah berada di titik terendahnya, The Doll 2 justru bangkit begitu memasuki klimaksnya yang berdarah-darah. Menyerupai jelang konklusi di seri sebelumnya sih, ibarat juga prolognya. Tapi kalau berhasil tersaji seru dan mengasyikkan, ya nggak ada salahnya kan? Toh sekali ini level kekonyolannya masih mampu ditolerir dan level kebrutalannya berlipat ganda. Kapan lagi coba bisa melihat Luna Maya yang biasanya tampil manis bertransformasi menjadi ‘psikopat’ yang menemukan kebahagiaannya dengan menusuk-nusuk orang yang dibencinya menggunakan pisau dapur?
Ulasan ini mampu juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1ys3b
Ulasan ini mampu juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1ys3b
Acceptable (3/5)
Post a Comment for "Review : The Doll 2"