Review : The Crucifixion
“Sungguh memuakkan setiap kali akal busuk berlindung dibalik kemuliaan.”
Diantara setumpuk tema yang mampu dipilih untuk menggulirkan penceritaan dalam khasanah film horor, sineas-sineas negeri barat terhitung paling getol dalam mengelupas tema eksorsisme. Keputusan untuk mengungkit tema ini bahwasanya amat wajar mengingat praktik pengusiran setan oleh rohaniawan utusan gereja maupun ‘orang arif’ ini sendiri amat berbahaya dan beresiko menelan korban jiwa sehingga terdengar amat seksi apabila diaplikasikan ke dalam suatu film. Semenjak The Exorcist (1973) mendapat perhatian berbagai pihak dan pada akibatnya menyandang status klasik, serentetan judul film memedi turut menyentuh tema ini yang beberapa diantaranya memiliki kualitas diatas rata-rata mirip The Exorcism of Emily Rose (2005) dan The Conjuring (2013), meski tidak sedikit pula yang berakhir tragis. Salah satu judul terbaru yang membicarakan wacana eksorsisme yaitu The Crucifixion arahan sineas Prancis, Xavier Gens (The ABCs of Death; segmen X is for XXL, Frontier(s)). Guliran kisahnya dicuplik dari sebuah masalah kasatmata yang menghebohkan Romania pada tahun 2005 yang disebut-sebut oleh media dengan nama ‘Tanacu exorcism’. Dalam perkara tersebut, seorang pastor dan empat biarawati didakwa bersalah atas tewasnya seorang wanita usai disalib selama beberapa hari dalam praktik eksorsisme.
Melalui The Crucifixion, Xavier Gens mencoba untuk merekonstruksinya menggunakan pendekatan fiktif. Penonton tidak mengikuti pemeriksaan faktual atas perkara kematian seorang wanita berjulukan Adelina Marinescu (Olivia Nita) dari sudut pandang penyelidik sebelum vonis dijatuhkan kepada para tersangka dengan sesekali menengok ke kala-kala dikala Adelina masih ‘higienis’, melainkan selepas sang pastor dijebloskan ke penjara. Yang mencoba memperoleh kebenaran dari insiden Tanacu yakni seorang reporter tanpa iktikad asal New York, Nicole Rawlins (Sophie Cookson). Telah sedari awal meyakini bahwa sang pastor merupakan psikopat dan praktik yang dijalankannya tidak lebih dari ritual sesat, membuat Nicole kesulitan mencerna informasi-berita ‘abnormal’ yang diperolehnya dari teman baik Adelina, Vaduva (Brittany Ashworth), dan abang Adelina, Stefan Marinescu (Ivan Gonzales). Di tengah upayanya menyatukan penggalan-pecahan bukti yang didapatnya, Nicole mendapati sejumlah peristiwa ganjil sulit dijabarkan. Kebingungan, Nicole pun meminta pertolongan pada seorang pastor muda, Anton (Corneliu Ulici), yang lantas mengingatkan Nicole untuk meninjau ulang keimanannya. Berkat wejangan-wejangan dari Anton dan situasi ganjil yang sering dihadapinya selama di Romania, perlahan tapi niscaya Nicole mulai meyakini bahwa iblis mempunyai andil besar dalam perkara Tanacu.
Sejatinya tidak ada hal benar-benar baru yang coba ditawarkan oleh The Crucifixion. Penyampaian kisahnya sedikit banyak melayangkan ingatan kita pada The Exorcism of Emily Rose yang juga mengajak penonton untuk mengkaji kembali kebenaran dari suatu kasus aktual. Sederet pertanyaan dilontarkan oleh si pembuat film demi menghadirkan beberapa teori untuk lalu menghasilkan suatu hipotesis. Apakah benar praktik eksorsisme dijalankan sang pastor semata-mata demi melampiaskan hasratnya untuk menyiksa? Apakah benar tindak tanduk nyeleneh Adelina dipantik oleh skizofrenia dan bukan alasannya adalah lain? Apakah benar tidak ada campur tangan iblis dibalik segala kejanggalan ini? Ketiga pertanyaan ini berkhasiat pula dalam mengikat atensi penonton sehingga bersedia mengikuti Nicole untuk menyingkap suatu fakta. Usai berbincang-bincang dengan beberapa narasumber, beberapa fakta diperoleh: gereja menentang praktik eksorsisme yang dilakoni Pastor Dimitru sebab dianggap sesat, kondisi kejiwaan Adelina tidak stabil usai kena tipu-tipu dari pria Jerman yang memintanya untuk merelakan keperawannya, dan iblis itu memang aktual adanya. Materi yang sungguh menjanjikan buat diolah, bukan? Sayangnya Xavier Gens agak kelimpungan dalam mengolahnya yang berdampak pada guliran pengisahan terhidang mentah dan ada kalanya menjemukan. Tidak menggugah selera penonton untuk mencicipinya.
Dua elemen yang turut berkontribusi terhadap hasil tamat The Crucifixion yang kurang greget, naskah dan akting. Duo Chad Hayes dan Carey Hayes selaku penulis skrip terlalu fokus pada penjlentrehan proses investigasi hingga-sampai mengabaikan perkembangan huruf Nicole. Alhasil, sosoknya pun berkembang menjadi menjadi huruf satu dimensi yang sulit diberikan simpati. Performa lempeng Sophie Cookson dengan intonasi pada pengucapan obrolan yang juga monoton terperinci sama sekali tidak membantu. Lakon terbaik dalam film – mirip film eksorsisme pada umumnya – berasal dari si perempuan yang kesurupan, Olivia Nita. Dari abjad yang dimainkannya, Adelina, penonton peroleh kengerian. Berbincang mengenai kengerian dan urusan menakut-nakuti yang mana inti dari suatu film horor, The Crucifixion tergolong tidak buruk. Malah boleh dikata cukup berhasil. Sebagian besar diantaranya sih telah diobral dalam trailer (sebaiknya kamu tengok usai menonton saja, khusus melihat adegan ‘semut’ yang dipangkas gunting sensor), namun masih cukup efektif untuk membuatmu beberapa kali terlonjak dari bangku bioskop. Bulu kuduk juga acapkali meremang saat Nicole menghabiskan waktunya seorang diri di kamar hotel. Entah saat dia berselancar di dunia maya, berada di kamar mandi, atau beristirahat. Terasa ada sesuatu yang salah di sekitarnya seolah-olah ada yang mengawasi. Kemampuan The Crucifixion dalam menghadirkan ketidaknyamanan pada penontonnya ini sedikit banyak mengampuni lemasnya sektor lain. Paling tidak, para pecinta film horor yang datang ke bioskop dengan cita-cita untuk ditakut-takuti tidak mendapatkan sajian lempeng.
Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1lzoN
Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1lzoN
Acceptable (2,5/5)
Post a Comment for "Review : The Crucifixion"