Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Birds Of Prey


“Psychologically speaking, vengeance rarely brings the catharsis we hope for.”

Meski dihajar hingga babak belur oleh para kritikus jelang perilisannya, perolehan Suicide Squad (2016) di tangga box office sama sekali tak tergoyahkan. Masih sanggup mencetak angka sebesar $746 juta dari peredaran seluruh dunia yang seketika memosisikannya sebagai salah satu instalmen tersukses dalam DC Extended Universe (DCEU). Impresif, bukan? Dan jika kita memperbincangkan tentang kata “impresif” serta keterkaitannya dengan film tersebut diluar faktor pundi-pundi, maka itu membawa kita pada performa Margot Robbie sebagai Harley Quinn alias kekasih Joker (Jared Leto) yang hiperaktif. Peraih dua nominasi Oscars ini yakni salah satu dari sedikit alasan yang menyelamatkan “persekutuan bunuh diri” dari keterpurukan yang lebih dalam. Dia bermain dengan penuh energi, karakternya ndilalah juga menarik, dan pihak Warner Bros. pun seketika punya pandangan baru aneh: memberinya sebuah film solo. Well, secara teknis bukan “konser tunggal” sih karena terdapat pula beberapa aksara lain yang turut memanggul peran krusial seperti halnya Suicide Squad. Hanya saja, melalui menu bertajuk panjang sekali Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn), Mbak Harley memiliki kuasa lebih untuk mengomandoi narasi tanpa harus mengekor di belakang Joker. Dalam film ini, beliau tidak saja mendapat jatah tampil lebih banyak, tetapi juga diposisikan sebagai sentral penceritaan dimana secara tidak langsung dia yakni pemimpin dari sebuah tim berisikan hero-pendekar wanita.

Mengambil latar penceritaan beberapa saat selepas Suicide Squad, Birds of Prey menginformasikan kepada penonton bahwa Harley Quinn telah mengubah status hubungannya dari semula “berpacaran dengan Joker” menjadi “lajang”. Tentu, ini bukan menurut keputusan Harley. Terlebih, dia mengantongi setumpuk keistimewaan selama menjadi kekasih Joker seperti bebas melakukan tindak kriminal tanpa harus khawatir akan menjadi incaran penegak aturan maupun para penjahat gila lain. Yang mengakhiri hubungan mereka berdua ialah Joker yang menganggap mantannya ini tak lagi berguna. Selama kurun waktu tertentu, Harley yang mengalami patah hati pun terpuruk sejadi-jadinya sampai seorang pemilik restoran Cina dan seekor Hyena membantunya pulih. Demi menapaki fase gres seraya mengenyahkan segala memori bersama sang mantan, Harley pun meledakkan sebuah pabrik kimia dimana cintanya dengan Abang Joker bersemi. Dari peledakkan pabrik tersebut, protagonis kita ini secara tersirat turut menunjukkan pernyataan resmi kepada dunia bahwa beliau bukan lagi kekasih Joker. Alhasil, pihak-pihak yang semula meredam kebencian kepadanya seketika menempatkannya sebagai buronan kelas satu termasuk penjahat berbahaya di kota Gotham, Roman Sionis (Ewan McGregor). Guna menyelamatkan diri, Harley pun mesti membuat perjanjian dengan Roman yakni membantunya mengambil alih berlian Bertinelli yang dicuri oleh pencopet remaja bernama Cassandra Cain (Ella Jay Basco). Sekilas lalu, tugas ini tampak gampang saja mengingat Cassandra bukanlah pencopet kelas kakap. Namun ketika Roman mengerahkan para pembunuh bayaran dari berbagai penjuru untuk ikut memburu Cassandra, keadaan lantas menjelma pelik dan runyam.


Selama kurang lebih setengah jam pertama, Birds of Prey menyanggupi untuk terhidang sebagai suatu hidangan eskapis yang mengasyikkan. Serentetan humor yang sedikit ditaburi dengan rujukan ke budaya terkenal mengenai sasaran, elemen laganya yang meliputi baku hantam ampuh menggenjot adrenalin, dan tampilan visualnya yang penuh warna pun memanjakan mata. Ditunjang pula oleh lakon hidup dari Margot Robbie yang sekali ini tampak lebih lepas, nyaman, sekaligus menggila dalam memainkan Harley Quinn ketimbang sebelumnya, sukar untuk mengenyahkan kata “menghibur” dari benak. Jujur, untuk sesaat saya sempat mengira tengah menyaksikan salah satu produk terbaik dalam DCEU. Gaya bernarasinya yang non-linear atau cenderung acak mengikuti jalan anutan dari si abjad utama yang cenderung semau gue pun mesti diakui cukup mengikat. Menambat atensi untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, kemudian menggugah pula keingintahuan dibalik beberapa dongeng yang acapkali sengaja dibiarkan “bolong” demi membangun pertanyaan “apa yang bahwasanya terjadi di sini?”. Faktor lain yang menjadikan film terasa berbeda adalah adanya gagasan untuk menyelipkan gosip pemberdayaan wanita dengan menghadirkan karakter-aksara perempuan pahlawan yang berupaya memberi perlawanan terhadap kaum pria penindas, dan gagasan ini diimplementasikan ke penceritaan yang tidak banyaomong. Ketimbang menyesakinya dengan pesan menguatkan berapi-api yang malah bikin pendengaran panas, Cathy Yan selaku sutradara justru tetap patuh pada rumus pembentuk tontonan hiburan berbasis superhero.

Dia melantunkan “para burung pemangsa” ini dengan penuh gegap gempita dan kesadaran bahwa film ini memang mengusung konten konyol selaiknya (katakanlah) Deadpool. Apalagi Mbak Harley juga tidak segan-segan untuk menjalankan setiap aksinya dengan tingkah hiperaktif yang terlalu sulit untuk ditanggapi serius. Hingga sosok Dinah Lance alias Black Canary (Jurnee Smollett-Bell) yang mempunyai kemampuan mahadahsyat dari suaranya mulai aktif memasuki arena penceritaan, Birds of Prey sejatinya masih nikmat untuk disantap. Namun dikala Helena (Mary Elizabeth Winstead) ikut memeriahkan narasi, ditambah lagi kehadiran detektif wanita, Renee Montoya (Rosie Perez), yang belakangan semakin getol memburu Harley, film secara perlahan-lahan kehilangan daya gregetnya. Pemicunya, adanya rasa lelah dalam mengikuti pengisahan bercabang-cabang yang dimunculkan demi memberi latar belakang bagi setiap personil. Tidak saja terlalu banyak untuk ukuran satu film, tetapi juga terlalu panjang sampai-hingga mereduksi porsi dua aksara paling menarik di film: Harley si satria dadakan beserta Roman yang sempat digadang-gadang sebagai sosok keji yang mengintimidasi. Alhasil, penonton tidak mengikuti transformasi Roman menjadi Black Mask yang bengis secara utuh dan tidak pula melihat Harley membentuk ikatan kimiawi meyakinkan bersama Cassandra. Yang juga turut terseret sebagai korban yakni babak pamungkasnya yang urung klimaks. Menghabiskan banyak porsi penceritaan untuk menjabarkan siapa si anu, siapa si inu, Birds of Prey malah kekurangan kuota durasi untuk menghadirkan konfrontasi puncak antara Black Mask dengan Harley beserta pasukannya. Tidak ada intensitas yang menjulang.


Segalanya berlangsung terlalu cepat sampai-sampai diri ini tak sempat melihat adanya chemistry diantara para satria yang semestinya mendorong hamba berseru, “kalian niscaya mampu, gals!,” dan diri ini pun dibuat kebingungan oleh kekuatan sebenarnya yang dipunyai oleh si antagonis utama. Adegan kejar-kejarannya memang berlangsung seru, walau tak cukup untuk mengompensasi apa yang terjadi seusainya yang seketika membuat saya mencapai pada satu kesimpulan bahwa Birds of Prey bukanlah salah satu karya terbaik DCEU – meski tetap saja ini jauh lebih mendingan ketimbang Suicide Squad. Singkatnya sih, menghibur tapi tidak akan mengendap lama di ingatan.  

Acceptable (3/5)

Post a Comment for "Review : Birds Of Prey"