Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Benyamin Biang Kerok


“Suruh mereka bikin saluran khusus ke hapenya Pengki. Kalau gue kontak, ia kagak mampu reject. Kalau ia matiin, gue bisa hidupin!” 

Kesuksesan luar biasa yang direngkuh oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (jilid pertamanya tercatat sebagai film Indonesia paling banyak ditonton sepanjang kurun) ternyata menginspirasi Falcon Pictures selaku rumah produksi untuk sekali lagi ‘melestarikan’ karakter legendaris dalam perfilman Indonesia. Kali ini, pilihan mereka jatuh kepada aksara-karakter yang dimainkan oleh komedian sekaligus seniman kenamaan, mendiang Benyamin Sueb. Dua judul yang dipilih yaitu Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973) garapan Nawi Ismail. Bukan berwujud remake maupun reboot, Benyamin Biang Kerok versi mutakhir ini sebatas meminjam judul beserta abjad saja tanpa ada kesinambungan ihwal plot. Demi memperoleh hasil akhir yang ciamik, tidak tanggung-tanggung Falcon pun merekrut Hanung Bramantyo guna menempati posisi sebagai dalang dan pemeran serba bisa Reza Rahadian sebagai pengganti posisi Benyamin Sueb. Di atas kertas, menyatukan dua nama besar di perfilman tanah air saat ini (keduanya mengoleksi lebih dari satu Piala Citra lho!) untuk menafsirkan ulang film komedi klasik memang terlihat menjanjikan. Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menjanjikan di atas kertas sayangnya acapkali tidak sejalan dengan realita di lapangan dan (sayangnya lagi) ini berlaku pada Benyamin Biang Kerok versi 2018. Alih-alih bisa menjadi ‘pewaris’ yang layak, film ini justru memberi kita definisi dari frasa ‘kacau balau’. 

Dalam Benyamin Biang Kerok interpretasi Hanung, sosok Pengki (Reza Rahadian) tidak lagi digambarkan sebagai seorang supir yang kerap menjahili majikannya dan mempergunakan mobil sang majikan untuk tebar pesona kepada para perempuan. Di sini, dia dideskripsikan sebagai seorang perjaka kaya raya yang tidak memiliki kegunaan. Yang dikerjakannya setiap hari tidak pernah jauh-jauh dari melatih bawah umur di kampung sebelah rumahnya untuk bermain sepakbola serta melakoni misi rahasia bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti). Bagi sang ibu, Nyak Mami (Meriam Bellina), yang menjalankan bisnis IT dengan sukses sampai-hingga mempunyai kekerabatan baik dengan para pemangku jabatan, apa yang dilakukan oleh Pengki tidak lebih dari kesia-siaan belaka. Dia sejatinya ingin melihat putranya tersebut lebih menyerupai dirinya sebagai pebisnis ulung ketimbang menyerupai suaminya, Babe (Rano Karno), yang memilih untuk hidup sederhana. Ditengah upaya Nyak Mami melatih Pengki untuk menjadi pebisnis, Pengki justru terdistraksi dengan kehadiran seorang perempuan berjulukan Aida (Delia Hussein) yang merupakan simpanan dari cecunguk kelas kakap, Said (H. Qomar). Demi menyelamatkan Aida yang telah menciptakan Pengki jatuh hati dari cengkraman Said sekaligus membebaskan warga kampung sebelah dari penggusuran, Pengki bersama Somad dan Achie pun merancang misi pembobolan ke markas Said. Suatu misi yang lantas semakin memperkeruh relasi antara Said dengan Nyak Mami yang memang tidak terjalin baik. 


Sebetulnya, disamping kerja sama Hanung dengan Reza, faktor lain yang menciptakan Benyamin Biang Kerok tampak menggoda di atas kertas adalah konsepnya yang menggugah selera. Coba dengarkan ini: satir sosial dengan sentuhan budaya Betawi ala Get Married (salah satu film terbaik garapan Hanung!) yang dibalut elemen berkelahi dan fiksi ilmiah. Menarik sekali, bukan? Meski mirip bukan padupadan yang sempurna, tapi ini sedikit banyak bisa membangkitkan ketertarikan terhadap film ini. Yang kemudian menciptakan Benyamin Biang Kerok ternyata tidak berjalan sesuai pengharapan yaitu si pembuat film terjebak dengan konsep ambisiusnya sendiri sehingga mengalami kebingungan hendak membawa film ke arah mana. Sentilan sentilun terhadap berita sosial politik yang berkembang di tanah air mirip penggusuran, penyuapan, hingga jual beli wanita, dimunculkan sekenanya saja tanpa pernah dipergunjingkan lebih mendalam. Elemen fiksi ilmiahnya dihadirkan tanpa pernah memberi signifikansi apapun kepada penceritaan selain berusaha membuat film terlihat keren. Unsur Betawi hanya dimanfaatkan sebagai penghias supaya tuntutan ‘memboyong kearifan lokal’ bisa terpenuhi. Dan guliran laganya yang memperoleh sentuhan dari film spionase tidak sanggup memompa adrenalin penonton. Semua-muanya dimasukkan begitu saja sampai-sampai terasa saling tumpang tindih. Pokoknya yang penting meriah walau ini berarti kemeriahan yang kosong dan masbodoh. Dalam melontarkan canda tawa yang merupakan jualan utamanya pun, nyaris tak terhitung berapa kali Benyamin Biang Kerok terpeleset dan kesulitan mengenai sasaran secara tepat. 

Ini mampu dikategorikan duduk perkara besar karena Benyamin Biang Kerok memproklamirkan dirinya sebagai film komedi. Perlu diketahui bersama bahwa dosa terbesar dari sebuah film komedi yaitu ketika suara jangkrik di kebun sebelah malah terdengar lebih membahana ketimbang suara derai tawa penonton di dalam bioskop. Dalam artian, kegaringannya lebih konkret nan manja daripada kelucuannya. Benyamin Biang Kerok, sayangnya (menghela nafas panjang)….. merangkul bersahabat dosa tersebut bak sobat karib. Selama durasi merentang hingga 95 menit, total jendral hanya sebanyak dua kali dapat terkekeh-kekeh kecil sementara sisanya hanya mampu memasang muka datar plus kebingungan lantaran mengira-nerka dimana letak kelucuannya. Kebingungan juga dipersembahkan oleh tanya, “bukankah sutradara film ini yaitu orang yang sama dengan pembuat Get Married yang lucunya ger-geran itu? Lalu kenapa di sini sensitivasnya dalam ngelaba bisa datang-tiba raib? Apa sebab (lagi-lagi) film ini keberatan konsep?”. Belum juga menemukan jawab atas pertanyaan tersebut, belum juga benar-benar bisa menikmati film, Benyamin Biang Kerok mendadak memperlihatkan kejutan sangat menyakitkan: cliffhanger (ending menggantung alasannya bersambung). Tidak seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang memenggalnya dengan halus – bahkan menginformasikan melalui judul bahwa film terdiri lebih dari satu jilid, Benyamin Biang Kerok melakukannya secara bernafsu yang membuat penonton seketika heboh. Bahkan sinetron di layar beling yang tayang saban hari lebih halus dalam memberi cliffhanger (serius!). Jika memang diniatkan dibagi ke dalam dua jilid, kenapa tidak ada transparansi sedari awal sehingga penonton tidak merasa dicurangi? Lagipula, apa plot film memang sedemikian padatnya hingga harus dipaksa direntangkan ke dua judul? 

Kesemrawutan yang menghiasi sepanjang durasi Benyamin Biang Kerok semakin terasa sempurna berkat keputusan si empunya film untuk mengakhiri durasi secara semena-mena. Alhasil, sebelum melangkahkan kaki ke luar bioskop, aku mengoleskan minyak angin aromatherapy ke kepala terlebih dahulu semoga tidak pingsan. Ini sungguh suatu ujian, Tuan dan Nyonya! Padahal, andaikata tidak diperparah oleh cliffhanger (serius, sakit hatinya mirip ditikung), Benyamin Biang Kerok sejatinya masih mampu (sedikit) dimaafkan. Penyelamatnya adalah performa tiga pemain utamanya; Reza Rahadian, Meriam Bellina, dan H. Qomar, yang cukup manis ditengah segala keterbatasan. Meski lebih sering terlihat mengimitasi Benyamin Sueb daripada berlakon sesuai interpretasi eksklusif, Reza tetap mampu menawarkan energi tersendiri pada film berkat kehadirannya. Hal yang sama berlaku pula pada Meriam sebagai emak-emak galak yang interaksinya bersama Reza berikan dua adegan lucu yang menciptakan aku terkekeh dan H. Qomar sebagai villain jenaka nan mengancam. Tanpa performa mereka, tidak mampu dibayangkan betapa kering kerontangnya film ini. Bisa-bisa elemen musikal yang untungnya tergarap asyik – menampilkan Pengki berdendang dan berlenggak-lenggok bersama beberapa abjad pembantu – akan menjadi penyelamat tunggal Benyamin Biang Kerok.



Poor (2/5)

Post a Comment for "Review : Benyamin Biang Kerok"