Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Paper Towns


“She loved mysteries so much, that she became one.” 

Bagaimana kau memilih untuk mengenang hari-harimu semasa mengenakan seragam putih abu-bubuk? Mengasyikkan sebab memiliki partner in crime yang bersedia diajak asing-gilaan, menyedihkan alasannya kamu merasa tidak ada seorang pun yang dapat memahamimu, atau malah biasa-biasa saja karena well, tujuan bersekolah bukan untuk bersenang-senang melainkan memperoleh nilai sebagus mungkin sehingga bisa memasuki sekolah tinggi tinggi favorit? Seperti halnya kebanyakan orang yang menyebut SMA sebagai salah satu fase terbaik dalam hidup, saya pun menjatuhkan pilihan di opsi pertama. Walau kadar kegilaannya tidak cukup untuk diabadikan dalam bentuk prosa (apalagi film, duh!), tetapi setidaknya cukup menciptakan saya merindukan kala-masa akil balig cukup akal terlebih setelah menyimak gelaran terbaru karya Jake Schreier (Robot & Frank) yang disadur dari novel terkenal rekaan John Green, Paper Towns. Disusun atas celotehan seputar persahabatan, percintaan, dan pencarian jati diri, Paper Towns was one of the finest teen movies in recent years! 

Apabila pertanyaan di paragraf pembuka tersebut diajukan pada Quentin (Nat Wolff), pendekar utama kita di Paper Towns, kemungkinan besar dia akan merapat ke opsi terakhir. Telah merancang jalan hidupnya sampai bertahun-tahun ke depan, Quentin tidak sekalipun berniat mengambil resiko apa yang telah dipersiapkannya sedemikian rupa berantakan hanya alasannya kebodohan kurun muda. Baginya, kehidupan Sekolah Menengan Atas sudah cukup menyenangkan dengan memiliki dua sobat kuper, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smoth), serta mengidolakan sobat kurun kecilnya yang telah menjelma sebagai gadis terkenal di sekolah, Margo (Cara Delevigne). Akan tetapi, segalanya berubah bagi Quentin di suatu malam ketika Margo menyelinap masuk ke kamarnya dan mengajaknya menunaikan misi balas dendam ke mantan kekasih Margo yang berselingkuh. Untuk pertama kalinya dalam belasan tahun menghirup oksigen, Quentin keluar dari zona nyamannya dan merasakan nikmatnya bersenang-bahagia! 

Diajak turut serta dalam kegilaan Margo di salah satu malam terbaik sepanjang hidupnya, Quentin merasa ini semacam isyarat dari Margo untuk menjalin kekerabatan asmara. Tapi tentu saja kedua insan ini tidak lantas dengan mudahnya bersatu begitu saja alasannya adalah saat keegeran Quentin mengangkasa, Margo mendadak lenyap. Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya termasuk keluarganya yang hirau tak hirau. Akan tetapi, Margo yang gemar kabur-kaburan ini sering meninggalkan petunjuk kala dirinya menghilang kepada orang terdekat sebagai penanda bahwa dirinya baik-baik saja. Dalam pelarian kali ini, petunjuk tersebut ditujukan untuk Quentin. Guna menemukan sang pujaan hati, untuk lalu memenangkan hatinya, Quentin ditemani kedua sahabatnya plus sobat baik Margo, Lacey (Halston Sage), dan kekasih Radar, Angela (Jaz Sinclair), pun menelusuri satu demi satu petunjuk dari Margo yang membawa mereka dalam petualangan penuh keseruan di hari-hari terakhir bersekolah. 

Tidak disangka-sangka diri ini akan sangat menikmati Paper Towns. Kesan pertama yang menyeruak hadir usai menontonnya ialah: seru! Menduga film akan bernasib serupa dengan sang abang The Fault in Our Stars yang cenderung mengalun datar – penyelamat terbesar ialah akting manis Shailene Woodley – Paper Towns bergerak penuh dinamika dan letupan-letupan mirip halnya era muda yang penuh semangat. Menonton film ini seketika melayangkan kenangan ke kurun-era SMA; menggila bersama para teman, melanggar sedikit hukum, hingga naksir gadis tercantik di sekolah. Ada semacam unsur nostalgia di dalamnya. Keasyikkan dalam menonton Paper Towns telah mencuat semenjak narasi pertama dari Quentin yang memberi citra ringkas mengenai sosok Margo menurut kacamata si tokoh utama. Si pembuat film berhasil membuat penonton yakin bahwa Margo yaitu perempuan tepat yang memang ditakdirkan bersama Quentin sehingga menit-menit berikutnya tanpa disadari kita pun berpihak atas bersatunya Margo-Quentin dengan performa elok Cara Delevigne dan Nat Wolff semakin memperkuatnya. 

Pun demikian, daya tarik sesungguhnya dari Paper Towns bukan semata-mata pada gejolak romansa sang protagonis melainkan lebih ke proses yang dilalui oleh Quentin dan konco-konco dalam menguak misteri eksistensi Margo. Tidak saja terkemas begitu menyenangkan karena dibentuk ingin tau terhadap “apa ya yang menanti mereka sesudah ini?”, adanya iringan tembang-tembang indie yang menyegarkan indera pendengaran, dan banyaknya semburan tawa berkat kesintingan duo Ben-Radar – serius, saya berharap bisa ikut road trip bersama mereka! – tetapi juga menghangatkan hati melihat indahnya persahabatan para akil balig cukup akal ini dan thoughtful. Hah, thoughtful? Ya, Paper Towns jelas bukan cuma film senang-bahagia belaka yang mengajakmu mengintip momen-momen berharga di ujung Sekolah Menengan Atas dari sekelompok cukup umur tak kita kenal. Ada beberapa momen dalam film yang memberi kesempatan bagi penontonnya untuk berkontemplasi mengenai kehidupan (kebahagiaan, keajaiban, keberanian, kesempurnaan, kepalsuan, penerimaan diri). Sepintas sih terdengar berat, namun cakapnya penanganan Jake Schreier tidak kemudian menciptakan penonton mengernyitkan dahi sesudah menonton Paper Towns melainkan justru merasa lega, bahagia dan bersemangat. What a feel-good movie!

Outstanding

Post a Comment for "Review : Paper Towns"