Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Intern


"Well, I was going to say intern slash best friend."

Mengetahui Nancy Meyers – sutradara dari salah satu film favorit saya, The Parent Trap, sekaligus The Holiday yang tetap saja mempunyai cita rasa bagus sekalipun telah ditonton beberapa kali – akan meluncurkan film gres usai 6 tahun vakum dari industri perfilman, reaksi pertama yakni melaksanakan tarian penuh kegembiraan. Yup, happy dance! Seolah kabar ini masih belum cukup membahagiakan, film bertajuk The Intern ini pun melanjutkan kebiasaan Meyers memasangkan dua pemeran berkaliber Oscar dengan kali ini berasal dari generasi berbeda, ialah Anne Hathaway dan Robert De Niro, untuk saling beradu akting. Sungguh menggugah selera, bukan? Tapi sebelum kau mengkhawatirkan The Intern akan bertutur mengenai dongeng roman beda usia (sejujurnya pikiran negatif ini sempat terbersit, yikes!), tenang saja, korelasi Hathaway dan De Niro disini lebih bersifat profesional alih-alih percintaan yang sedikit banyak akan mengingatkan penonton pada kekerabatan Hathaway dan Meryl Streep yang kejamnya tiada ampun lagi di The Devil Wears Prada dengan Hathaway menggantikan posisi Streep. Whoa! 

Robert De Niro yakni Ben Whitaker, duda berkepala tujuh yang mengalami kejenuhan akut paska sepeninggal sang istri tercinta dan pensiun dari karir gemilangnya. Mencoba berbagai macam aktifitas untuk mengisi kekosongan di hari senjanya, tapi tak satupun yang berhasil hingga Ben melihat ada peluang menemukan ‘kehidupan baru’ dengan bekerja di perusahaan penjualan pakaian berbasis online yang kebetulan tengah mencari pemagang senior. Memiliki jejak rekam di dunia bisnis selama puluhan tahun, ditunjang pula memiliki kepribadian supel, gampang bagi Ben untuk beradaptasi di kantor barunya sekalipun ritme kerjanya jauh berbeda. Satu-satunya tantangan berat bagi Ben adalah menaklukkan hati atasannya, Jules Ostin (Anne Hathaway), yang sedari awal telah menjaga jarak dengan Ben. Berulang kali Jules menunjukkan penolakan untuk berhubungan dengan Ben, namun Ben terus mengupayakan supaya keduanya dapat menjalin relasi baik yang secara perlahan tapi niscaya mulai terbentuk diantara Jules dan Ben terutama setelah masing-masing menyadari bahwa mereka sejatinya saling membutuhkan satu sama lain. 

Satu kata terlontar dari verbal sesaat setelah menyaksikan The Intern ialah, “wow, aku sangat mencintai film ini!.” Menghibur dan menghangatkan hati. Terindikasi akan mengandalkan senda gurau tak berisi sekadar untuk meriuhkan suasana mirip terlihat dalam trailer, kenyataannya The Intern malah jauh lebih dari itu. Seperti halnya film-film Nancy Meyers terdahulu, The Intern pun tidak sesederhana tampak luarnya. Dalam artian, penonton tidak semata-mata dikondisikan untuk terbahak-bahak di dalam gedung bioskop kemudian pulang dengan tangan hampa serta melupakan sebagian besar isi tontonan, melainkan ada sesuatu lebih yang mampu dipetik darinya. Di paruh awal film, kurun masih tahapan perkenalan sampai mengemukanya konflik, The Intern penuh candaan menggelitik – bahasan guyonan seputar seksisme di dunia kerja maupun senior junior – yang akan membuatmu tersenyam-senyum hingga terbahak utamanya dalam pertemuan awal Ben dengan pemijat di kantor, Fiona (Rene Russo), percakapan-percakapan kalem di kantor dan tatkala Ben bersama rekan-rekan kerjanya bergaya ala Ocean’s Eleven menyusup ke rumah ibu Jules guna menemukan sebuah laptop. 

Tapi begitu memasuki paruh tamat, nada penceritaan The Intern berubah secara drastis. Gelak tawa mulai memudar, peran Joy (kau tahu, aksara dari Inside Out) yang mayoritas tergantikan oleh Sadness. Penonton pun bersiap-siap mengeluarkan tissue, khususnya di 30 menit terakhir yang menghujam emosimu keras-keras. Persoalan-duduk perkara yang semula tampak remeh, terakumulasi menjadi semacam angin ribut besar menyebabkan salah satu karakter utama dalam film mengalami kebimbangan untuk memilih dengan pertanyaan utama, “apakah memang karir sukses tidak bisa berjalan beriringan dengan rumah tangga penuh kebahagiaan?.” Pergolakan batin Jules dan Ben disini berasa otentik sebab ya, apa yang mereka hadapi tidak jauh-jauh dari permasalahan personal masyarakat kebanyakan, seperti tekanan keras dunia kerja, impian memperoleh kehidupan yang sempurna, hingga ketakutan akan kesepian di hari tua. Nancy Meyers tidak membuat keduanya sebagai abjad bombastis dengan masalah hidup yang bombastis pula melainkan lebih ke insan biasa sehingga memungkinkan para penonton untuk terhubung, mencicipi, sekaligus bersimpati terhadap konflik yang melingkupi mereka. 

Kecakapan Nancy Meyers dalam mengolah naskah berisi, cerdas, jenaka, dan menyentuh hati hasil dari premis kadaluarsa turut ditunjang oleh skoring menghanyutkan Theodore Shapiro, penataan artistik menawan (menghidupkan suasana kantor About the Fit milik Jules), serta paling utama, akting brilian dari jajaran pemainnya baik utama maupun pendukung. Tidak ada yang lebih sempurna dari menyatukan Robert De Niro dan Anne Hathaway untuk bersinergi di garda terdepan. Saat dipisahkan, masing-masing tampil ciamik dengan De Niro memperlihatkan karisma kuatnya sebagai Ben yang berhati mulia hingga-sampai sulit bagi penonton untuk tidak mengasihi Ben, sedangkan Hathaway tampil meyakinkan sebagai wanita muda ambisius yang jauh di lubuk hatinya menyimpan ketakutan besar. Dan saat disatukan, risikonya jauh lebih dahsyat lagi. Keduanya benar-benar tampak seperti dua orang yang saling membutuhkan satu sama lain untuk saling menguatkan. Untuk saling melengkapi. Seolah-olah memang ditakdirkan bersama (dalam artian persahabatan atau ayah-anak, bukan percintaan). Memercikkan unsur magis dan kehangatan, boleh jadi De Niro-Hathaway ialah pasangan terbaik di layar lebar tahun ini. Keren!

Outstanding

Post a Comment for "Review : The Intern"