Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Zootopia


“Life’s a little bit messy. We all make mistakes. No matter what type of animal you are, change starts with you.” 

Setelah berturut-turut menghidangkan produk berkualitas premium sejak Tangled, sulit untuk tidak menaruh kepenasaran tinggi terhadap langkah berikutnya dari Walt Disney Animation Studio. Dengan Pixar kembali menggeliat tahun lalu, maka tentu semakin menarik untuk mengetahui bagaimana studio bermaskot Mickey Mouse ini mengantisipasi ‘serangan’ dari ‘tentangan’. Begitu mendengar kabar produksi ke-55 mereka adalah sebuah fabel – salah satu kesukaan Disney selain cerita putri-putrian – ada dua reaksi muncul: bersemangat alasannya lagi-lagi kembali ke ‘rumah’ seperti halnya Frozen, dan ragu-ragu karena, well, apa lagi sih yang mampu dieksplorasi dari kisah mengenai sekumpulan binatang-binatang berbicara? Tapi nyatanya, kau tidak bisa meremehkan sebab keajaiban Disney masih tersedia dalam film bertajuk Zootopia ini yang trailer versi kukangnya seketika melambungkan cita-cita. Memang sih tingkat kesenangan Zootopia tidaklah setinggi rilisan Disney simpulan-simpulan ini (setidaknya bagi penonton cilik), namun berbicara soal penceritaan, whoaaa... kamu mungkin akan sedikit terkejut mendapati keberanian Disney disini. 

Tokoh utama dari Zootopia yaitu seekor kelinci idealis sekaligus ambisius berjulukan Judy Hopps (Ginnifer Goodwin) yang mimpinya sedari belia ialah mengabdikan diri ke masyarakat sebagai polisi. Dengan tekad kuat, Judy berpindah ke Zootopia – sebuah megapolitan dengan tatanan kota ibarat perpaduan antara Tomorrowland dan Dubai – dengan harapan dapat merealisasikan mimpinya tersebut. Mengingat lapangan pekerjaan ini sangatlah abnormal bagi kelinci melihat fakta bahwa Judy ialah kelinci pertama yang diterima di Zootopia Police Department, tentu hari-hari pertama Judy bekerja jauh dari pengharapan. Alih-alih menugaskan Judy untuk mencari sejumlah penduduk Zootopia yang menghilang, Chief Bogo (Idris Elba) justru menempatkan Judy di bab pelanggaran parkir yang lalu mempertemukannya dengan seekor rubah licik, Nick Wilde (Jason Bateman). Meski korelasi keduanya dimulai dari ketidaksukaan satu sama lain, Judy dan Nick pada balasannya terpaksa bekerja sama dalam satu tim dikala mereka terseret ke sebuah konspirasi misterius yang ternyata mempunyai keterkaitan dengan perkara lenyap tanpa jejaknya sejumlah penduduk Zootopia. 

See? Saat mengira tidak ada lagi bahan kupasan untuk film animasi berbasis fabel, Zootopia memberi kita kejutan yang mampu jadi juga tidak disangka-sangka oleh para penanti film animasi terbaru keluaran Disney. Bukan sekadar kisah petualangan bersama sobat biasa mengarungi antah berantah, atau area sama sekali aneh, namun duo sutradara, Byron Howard dan Rich Moore, turut memasukkan banyak elemen buddy cop maupun neo-noir yang sejauh ingatan ini bisa dilayangkan belum pernah disentuh oleh film animasi berpangsa pasar keluarga. Ya, melalui Zootopia, kita diajak mencicipi asyiknya bermain-main sebagai detektif yang mencoba memecahkan sebuah perkara besar dibekali petunjuk minim. Mengasyikkan bagi penonton akil balig cukup akal karena guliran pengisahannya sebisa mungkin mencoba menjauhi penyederhanaan masalah, menyenangkan pula bagi penonton cilik yang mungkin saja baru pertama kali merasakan pengalaman menonton mirip ini. Hanya saja, kala Judy dan Nick telah semakin bersahabat ke akar duduk perkara, Zootopia kian terasa kelam pula agak njelimet dalam pemaparan sehingga sedikit banyak mengurangi kadar kesenangan film khususnya untuk penonton belia yang mengharap film ini akan segegap gempita Frozen atau Big Hero 6 (well, aku menjadi saksi mata atas menangisnya dua penonton cilik). 

Walau detik-detik titik puncak agak ‘mengucilkan’ sasaran utamanya, Zootopia masih tetap sangat layak diberi kesempatan setidaknya untuk pesan yang diutarakannya. Oh ya, keberanian yang aku maksud di paragraf pembuka merujuk kepada kandungan etika Zootopia alih-alih keputusan menghidangkan plot penuh teka-teki ke anak-anak. Seperti halnya film-film animasi Disney lainnya, Zootopia memang masih membicarakan sesuatu yang universal mirip ‘keberanian untuk bermimpi’, ‘usaha keras tidak akan mengkhianati’ atau ‘merubah dunia menjadi kawasan lebih baik’, namun apa yang membuatnya menarik ialah si pembuat film juga menyisipkan pesan relevan sesuai keriuhan di tengah-tengah masyarakat modern dikala ini tentang ‘prasangka didasarkan stereotip dari ras tertentu’. Sebuah pesan yang (lagi-lagi) tidak kau duga akan muncul dari film animasi Disney, kan? Tanpa pernah terdengar mengkhotbahi, malah justru mengena cenderung menyentil, inilah salah satu kekuatan yang dipunyai oleh Zootopia disamping grafis animasinya yang begitu manis dalam memvisualisasikan setiap distrik di Zootopia (berharap Disney akan mengembangkannya menjadi serial televisi sehingga ada kesempatan menjelajah lebih jauh), barisan pengisi bunyi yang sangat menjiwai peran masing-masing, serta tatanan penceritaan yang terbilang seru untuk diikuti.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Zootopia"