Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Wild Tales


“Shoot this, Néstor.”

Pemberitaan mengenai tepuk tangan sambil bangun selama sepuluh menit yang bergemuruh di Festival Film Cannes setahun silam untuk film kode Damian Szifron, Wild Tales, mungkin terdengar berlebih-berlebihan (atau malah gila, mungkin?)... bagi yang belum menonton filmnya. Tapi jika kau telah menyaksikan apa yang telah diperbuat oleh Damian Szifron dalam ‘dongeng-dongeng liar’, maka kehebohan tersebut terasa sangat masuk nalar. Tidak saja Wild Tales akan membuatmu terperangah selama sepersekian detik lantas ‘menyihirmu’ untuk bangkit secara sukarela seraya memberi tepukan meriah usai menyimaknya, tetapi juga secara tidak sadar akan membuatmu melontarkan umpatan-umpatan penuh kekaguman (terhitung setidaknya enam kali saya mengucap “watdefak banget!” sepanjang film) atas kinerja brilian dari si pembuat film yang begitu lincah, rapi, pula liar bukan kepalang – seperti halnya tajuk yang dipergunakan oleh film omnibus ini – dalam menuturkan sederet cerita rajutannya. Bisa dibilang, Wild Tales adalah film omnibus terbaik yang pernah aku tonton sampai goresan pena ini diturunkan di blog. 

Wild Tales terbagi atas enam segmen yang tidak saling berkaitan satu sama lain dengan masing-masing bangun sendiri, kecuali disatukan oleh tema kekerasan dan pembalasan dendam. Sajian pembukanya yakni ‘Pasternak’ yang melalui pembicaraan basa bau antar dua penumpang di pesawat disadari bahwa, well... dunia itu memang sempit. Melanjutkan kegilaan segmen pertama yaitu ‘The Rats’ yang menghadapkan kita pada dilema seorang pelayan rumah makan antara membunuh atau tidak membunuh. Dalam ‘The Strongest’, ada pertarungan habis-habisan dua laki-laki di jalan raya karena kendaraan beroda empat yang melaju lambat. Pada ‘Little bomb’, seorang ayah menerima ‘hadiah’ saat membelikan kado ulang tahun untuk putrinya. Dengan nada agak serius ketimbang segmen lainnya, ‘The Proposal’ menunjukkan bahwa uang memang bisa membeli segalanya di negara dengan sistem aturan yang bobrok. Sedangkan dalam sajian epilog, ‘Until death do us part’, seorang mempelai wanita mendapati kenyataan mengenai pasangannya dikala resepsi pernikahan tengah berlangsung. 

Yang menciptakan Wild Tales jauh lebih istimewa ketimbang film omnibus kebanyakan ialah nihilnya masalah pokok khas film jenis ini: ketimpangan kualitas. Umumnya, tidak peduli seberapa anggun kualitas keseluruhan sebuah film antologi, selalu saja ada satu dua segmen yang menciptakan kita mengernyitkan dahi lantaran bab tersebut menawarkan noda untuk sebuah karya seni yang sejatinya telah terhampar sempurna. Pernyataan-pernyataan semacam “segmen A dan D ialah yang terbaik” atau “segmen C yaitu yang terburuk” hampir mampu dipastikan selalu mengikuti... dan itu sama sekali tidak terjadi dalam Wild Tales! Dengan kekuatan cenderung merata – walau ya, segmen pembuka dan penutup memang mempunyai daya hentak lebih – maka topik pergunjingan beralih ke segmen favorit bukan lagi mana yang lebih baik atau lebih jelek. Itulah mengapa aku tidak akan memberimu banyak isu mengenai tuturan di setiap segmen dalam Wild Tales – hanya sekadar kata kunci, atau kurang lebih begitu – alasannya semakin sedikit kamu mengetahui kandungan keliaran di dalamnya maka pengalaman menonton yang mengasyikkan lantaran adanya sensasi berwujud kejutan dapat kau rasakan. 

Sejak ‘Pasternak’ yang membuat saya terpukau atas idenya yang cemerlang – dieksekusi pula dengan amat baik – laju penceritaan Wild Tales tidak sekalipun mengendur hingga menit penutup. Stamina balada sakit hati ini begitu terjaga berkat kemampuan bercerita dari Damian Szifron yang sangat lihai, lancar, sekaligus tertata yang membuat penonton terus menerus diselimuti oleh rasa kepenasaran terhadap apa yang akan terjadi berikutnya. Problematika yang kesemuanya dipicu oleh perkara yang gampang kita jumpai di keseharian – hei, siapa yang tidak pernah menjumpai pengemudi yang luar biasa lambat, birokrasi menjengkelkan, para penegak aturan yang tidak tahu aib untuk menerima suap, atau perselingkuhan? – lantas dikemas dalam bentuk kritik sosial yang jauh dari kata memusingkan, berat, atau menjemukan, dan malah penuh keliaran yang terdiri atas plot pembalasan dendam yang sinting, humor-humor renyah, maupun kekerasan bergaya yang mampu jadi tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya hasil dari sebuah pertanyaan besar, “bagaimana jikalau orang-orang yang dizalimi oleh lingkungan sekitarnya ini tidak mampu lagi menahan amarahnya dan melampiaskannya secara membabi buta?” yang dicetuskan oleh si pembuat film tatkala mencoba memulai guliran pengisahan dari film yang diproduseri oleh Almodovar bersaudara ini. Kekacauan besar-besaran, seperti yang kau lihat di setiap segmen, ialah alhasil. 

Menyiksa? Tentu tidak sama sekali, kecuali kau yaitu seseorang yang sangat membenci tayangan sarat akan kekerasan. Malah Wild Tales adalah sebuah menu yang di luar dugaan begitu menyenangkan buat disantap dengan bercampur baurnya canda tawa, jalinan penceritaan dengan emosi meletup-letup sedemikian rupa, kejutan demi kejutan, dan visualisasi gambar elok dalam satu piring. Jarang-jarang ada (atau malah sama sekali tidak mampu kau jumpai) film omnibus yang setiap segmennya saling menguatkan satu sama lain sehingga kalau masing-masing dilepas, kesemuanya layak diganjar penghargaan untuk film pendek terbaik sekaligus mampu dipergunakan sebagai landasan dari lahirnya suatu film panjang. Sederet reaksi hiperbolis yang telah aku tuangkan di paragraf pembuka seharusnya sudah cukup menggambarkan betapa edannya film asal Argentina ini. Betul-betul edan. Silahkan saja luangkan waktu selama dua jam untuk menerima salah satu pengalaman menonton terliar, terlucu dan tercantik dalam hidupmu lewat Wild Tales.  

Outstanding



Post a Comment for "Review : Wild Tales"