Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Toba Dreams


“Lelaki andal bukan mereka yang bisa melewati ribuan pertempuran, lelaki andal adalah mereka yang ada untuk keluarganya.” 

Ada banyak senyum mengembang tanda kepuasan seusai menyaksikan film Indonesia dalam kuartal pertama di tahun 2015 ini. Baru saja kita menapaki Mei, akan tetapi film-film berkualitas di atas rata-rata terus mengalir silih berganti (nyaris pula tanpa henti). Seorang mitra bahkan berujar, “apabila FFI dihelat bulan Mei, kuota untuk nominasi film terbaik akan dengan mudah terisi.” Dan saya sangat meyakini – tiada keraguan sedikitpun – bahwa salah satu judul yang dimaksudnya adalah Toba Dreams. Garapan terbaru dari Benni Setiawan (3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, Love & Faith) yang didasarkan pada novel berjudul serupa rekaan T.B. Silalahi ini tak bisa dipungkiri merupakan salah satu dari sederet karya perkasa dari sineas dalam negeri di tahun ini. Walau menerapkan formula klasik pada sisi penceritaan dengan durasi yang tergolong panjang pula, Toba Dreams nyatanya tak pernah sedikit pun terpeleset menjadi tontonan melelahkan bercita rasa lama. Sebaliknya, berkat perpaduan tepat antara skrip berisi, performa penuh tenaga, serta visualisasi menyejukkan mata, Toba Dreams justru bermetamorfosis sebagai film mengesankan yang tak segan-segan mengoyak emosimu sampai titik maksimal. 

Konflik dalam Toba Dreams bermula dari keputusan Sersan Tebe (Mathias Muchus) memboyong keluarganya pindah ke kampung halamannya di Sumatera Utara seusai pensiun dalam melayani negara. Dipaksa berpisah dari kekasih tercinta sekaligus mendiami kawasan yang tidak menunjukkan impian apapun, putra sulung TB, Ronggur (Vino G Bastian) memberontak. Hanya sekejap setelah menempati kediaman baru milik Opung Boru (Jajang C. Noer), Ronggur minggat ke Jakarta. Dalam perantauan di ibukota inilah, Ronggur menjalani profesi sebagai supir taksi yang lantas mempertemukannya dengan sejumlah gembong narkotika kelas kakap. Dibutakan oleh ambisi untuk mencapai kejayaan secara kilat dengan tujuan untuk menerangkan kepada sang ayah bahwa ia dapat sukses, Ronggur pun terjun ke dunia gelap ini. Memang betul, hanya dalam waktu singkat penghasilan Ronggur meroket yang membuatnya dapat hidup mapan sekaligus membina rumah tangga bersama Andini (Marsha Timothy). Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar mahal oleh Ronggur demi secicip kesuksesan yang sejatinya juga tidak berasa anggun itu. 

Apabila Bulan di Atas Kuburan yang rilis beberapa waktu silam cenderung mengetengahkan fokus sebatas pada perjuangan sejumlah abjad Batak dalam mengarungi kelamnya Jakarta demi menemukan secercah cahaya, maka Toba Dreams mencoba berbicara lebih dari itu. Walau sama-sama menyoal mimpi yang diluluhlantakkan oleh ambisi, Benni Setiawan juga membawa duduk perkara yang lebih relatable bagi penontonnya, sekalipun kau tidak berdarah Batak. Siapa sih yang tidak pernah berkonflik dengan orang renta (khususnya ayah) perihal pilihan periode depan? Siapa sih yang tidak pernah terpuruk alasannya adalah merasa gagal belum menyumbangkan kontribusi membanggakan bagi orang bau tanah? Dan siapa sih yang tidak pernah berada dalam posisi takut untuk mengecewakan orang renta sehingga terpaksa menentukan jalan sesuai petunjuk orang tua? Jika penonton sudah menapaki usia 20-an, daddy issues merupakan salah satu hal yang tidak bisa terelakkan... entah disadari atau tidak. Beranjak dari problematika lebih banyak didominasi inilah, Benni membangun konflik utama yang lantas dijahit bersama serangkaian permasalahan hidup lainnya. 

Ya, ada banyak hal yang ingin disampaikan oleh si pembuat film lewat Toba Dreams. Walau ketegangan ayah-anak ditempatkan sebagai tombak utama, kita juga mendapati plot mengenai toleransi beragama, lika-liku dua sejoli dalam memperjuangkan cerita cinta, minimnya balas jasa dari pemerintah terhadap pensiunan militer, sampai upaya menegakkan mimpi di Toba Dreams. Terkesan penuh sesak, memang, dan jika mengusut jejak rekam Benni Setiawan di beberapa film terakhir yang tergolong mengendur, ada kekhawatiran tatanan dongeng tersampaikan secara tertatih-tatih. Tapi untungnya, meski beberapa sempalan konflik ada yang masih terasa kurang matang, Benni berhasil menggulirkan penceritaan secara lancar di sini. Malah, Toba Dreams bisa dikatakan sebagai karyanya paling memuaskan selain 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Caranya dalam mempermainkan emosi penonton sepanjang durasi mengalun tidak main-main. Berulang kali hati ini dibentuk teriris-iris dan mata berkaca-beling, terlebih di klimaks yang memunculkan hentakan kuat dengan iringan tembang mendayu-dayu “Dang Marna Mubaho.” Memberikan definisi yang tepat untuk kata heartbreaking

Menariknya, untuk menghindarkan kesan depresif dan menjaga mood penonton semoga tidak awut-awutan karena kelewat sering air mata dikuras, dituangkanlah elemen humor dan agresi ke hidangan penceritaan. Ada sesekali baku tembak kolam film gangster – pertarungan puncak yang berlangsung di klub malam meski singkat tapi tereksekusi keren – sementara canda tawa cukup banyak mewarnai paruh awal menuju pertengahan tanpa pernah mendistraksi alur utama maupun menjadi kelewat konyol. Tugas menciptakan penonton bersenang-bahagia ini diemban secara mengesankan oleh Boris Bokir sebagai Togar, teman periode kecil Ronggur, serta Jajang C. Noer. Sedangkan peran dalam menghujam hati penonton diserahkan kepada Vino G Bastian, Mathias Muchus, Marsha Timothy, dan Tri Yudiman, yang masing-masing memiliki momen untuk bersinar dengan lakon cemerlang pula emosional. Ketangguhan dari departemen akting ini ditopang juga oleh ilustrasi musik Viky Sianipar yang menghanyutkan beserta kecakapan Roy Lolang dalam mengabadikan keelokan alam Sumatra Utara sehingga menghasilkan salah satu film Indonesia terkuat tahun ini yang seketika seusai menontonnya membuat saya tidak kuasa untuk menelpon ayah tercinta sekadar untuk menanyakan kabar. Satu pesan saya sebelum kau memasuki studio demi menonton Toba Dreams: persiapkan sekotak tissue!

Outstanding

Post a Comment for "Review : Toba Dreams"