Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Stand By Me Doraemon


"Jika kau tidak mencoba, kamu tidak akan berubah."

Bersamaan dengan air mata yang mengalir membasahi pipi, senyuman penuh kebahagiaan turut tersungging di bibir ini seusai menyaksikan Stand By Me Doraemon. Seandainya masa itu tak disibukkan oleh urusan menyeka buliran air, boleh jadi tepuk tangan akan digemakan. Mungkin saya akan menyimpannya untuk tontonan kedua. Tidak peduli akan ada yang mengatakan bahwa ungkapan kegembiraan ini terdengar berlebih-lebihan, akan tetapi pada kenyataannya mirip itulah yang terjadi. Sebagai seseorang yang tumbuh dewasa ditemani robot berbentuk kucing biru dari era depan berjulukan Doraemon – nyaris tak pernah terlewatkan saban Minggu melakoni ritual mingguan memandangi layar kaca untuk menjadi saksi keajaiban lainnya dari Doraemon, sampai kini – maka berkesempatan untuk menyaksikan persembahan khusus menyambut ulang tahun ke-80 dari sang pengarang, Fujiko F. Fujio, adalah keberuntungan yang boleh jadi hanya akan terjadi sekali seumur hidup. 

Ya, Stand By Me Doraemon berbeda dari puluhan judul versi film layar lebar Doraemon yang tak pernah absen memeriahkan bioskop semenjak awal 1980-an. Selain menanggalkan metode konvensional dengan beralih ke pengunaan CGI (Computer-generated Imagery) seutuhnya, film yang dikomandoi oleh salah satu sutradara Jepang terbaik dikala ini, Takashi Yamazaki, dan Ryuichi Yagi ini pun digadang-gadang akan mengulik jalinan pengisahan seputar perpisahan Doraemon dan Nobita. Satu kata kunci yang teramat efektif menggerakkan minat siapapun yang menempatkan Doraemon sebagai teman baik yang tak pernah benar-benar dipunyai, bab dari periode kecil, atau sekadar mengenal sekelumit untuk menyaksikan Stand By Me Doraemon. Sebuah pertanyaan lantas menggelitik sanubari para sobat Dora, “apakah ini adalah sajian yang mengakhiri dongeng persahabatan ikonis antara robot kucing dengan manusia yang dicintai oleh jutaan umat?”. Jawaban telah ditekankan secara tegas, tidak. Stand By Me Doraemon tak ubahnya ‘special episode’ yang memungkinkan para penggemar bernostalgia ke episode-episode terbaik dari Doraemon lewat kemasan baru yang menyegarkan. 

Stand By Me Doraemon menarik kita jauh ke titik awal ketika si robot kucing dari masa ke-22 yang menggilai kue Dorayaki ini bertemu pertama kali dengan bocah berusia 10 tahun bermasa depan memprihatinkan. Ingatan penonton terhadap motif utama di balik misi utama pengiriman Doraemon (Wasabi Mizuta) kembali dibangun di menit-menit awal seraya mencecerkan sekelumit penjelasan atas sejumlah hal – salah satunya, alasan cinta buta Doraemon terhadap Dorayaki – yang mungkin terlewatkan atau malah terlupakan. Apa yang lalu terjadi yakni sederet kekonyolan sebagai bentuk dari eksploitasi sisi buruk Nobita (Megumi Ohara) mencakup manja, malas, terbelakang, tak bertanggung jawab, sekaligus ceroboh. Akibatnya, untuk ‘bertahan hidup’, Nobita pun bergantung pada alat-alat abnormal kepunyaan Doraemon terlebih dalam upayanya mewujudkan periode depan cerah yang dalam kamus Nobita berarti mempersunting Shizuka (Yumi Kakazu), sahabat sekelasnya yang bagus jelita berseri-seri. 

Bagi siapapun, para pemuja serial anime yang telah menghiasi layar kaca nasional sejak 25 tahun silam, Stand By Doraemon ialah kado yang sebaiknya tidak ditolak keberadaannya. Mengapungkan kembali memori-memori indah yang sudah terjalin menahun melalui medium manga atau anime bersama Doraemon dan konco-konco. Dengan materi utama dicuplik dari manga utama – bukan edisi petualangan atau semacamnya – maka tentu saja penceritaan di sini tak jauh-jauh dari interaksi keseharian antara Dora dan Nobita beserta orang-orang di sekelilingnya tanpa melibatkan petualangan sarat akan nuansa fantasi ke negeri antah berantah mirip yang biasa kita saksikan di versi layar lebar. Di sini, Yamazaki dan Yagi menekankan pada upaya Doraemon untuk membantu Nobita menjadi insan yang jauh lebih baik serta persahabatan singkat nan berkesan yang melingkupi keduanya. Banyak tawa canda muncul disebabkan tingkah laris konyol setiap tokoh maupun tangis haru di beberapa adegan krusial. Bahkan, untuk menambah daya pikat, si pembuat film pun tak luput membubuhkan ramuan berwujud semangat lewat keseruan sisi petualangan ketika alat-alat abnormal Doraemon dikeluarkan atau ketika Nobita ‘bertamu’ ke kurun depan. 

Menambah nilai jual, Stand By Me Doraemon ditunjang oleh penggunaan 3D yang tepat guna (dan sangat mengesankan!) – bukan sekadar gimmick tak perlu. Memberikan efek nyata penonton untuk mencicipi penggunaan alat-alat aneh Doraemon semacam Pintu Kemana Saja, Mesin Waktu atau Baling-baling Bambu, penggambaran realistis terhadap tokoh-tokohnya, sekaligus serasa dilibatkan ke dalam penceritaan. Pemakaian tembang ‘Himawari no Yakusoku’ oleh Motohiro Hata untuk memperlihatkan rasa lebih terhadap sisi sentimentil yang telah menjadi tujuan utama sejak awal dengan digalinya kenangan pun tergolong berhasil. Tatkala lampu di gedung bioskop dinyalakan sebagai membuktikan film telah usai, kegembiraan bercampur haru pun dirasakan. Teramat terang, Takashi Yamazaki betul-betul mengetahui bagaimana seharusnya mempresentasikan tokoh ikonik ini ke para penggemar beratnya. Bahkan, tanpa harus menjadi pemuja Doraemon sekalipun, penonton manapun yang telah melalui masa kanak-kanak, bisa jadi akan gampang mencintainya. Rangkaian cerita-dongeng terbaik dari Doraemon dirajut oleh duo sutradara secara tepat dengan mempertemukan kehangatan, kekocakan, serta keseruan yang dilengkapi muatan pesan tabiat wacana persahabatan, mimpi, dan mempercayai diri sendiri. Jika kau memutuskan untuk menontonnya, jangan lupa membawa tissue! 

Note: Saksikan Stand By Me Doraemon dalam format 3D untuk menerima pengalaman menonton yang mengasyikkan. Dan, tonton hingga tuntas karena ada post-credits scene kocak yang akan membuatmu tertawa tergelak-gelak.

Outstanding

Post a Comment for "Review : Stand By Me Doraemon"