Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Poltergeist


“They’re here.” 

Sekalipun cukup sering didaulat sebagai salah satu film memedi terbaik, sejatinya Poltergeist versi Tobe Hooper yang rilis 33 tahun silam bukanlah sajian yang menakutkan... well, setidaknya bagi saya. Ketimbang membuat diri ini bergidik ngeri, meringkuk tak berdaya di bangku, atau bahkan memekik takut yang merupakan efek masuk akal dari menonton film di lajur horor, Poltergeist sekadar memberi sensasi tegang atas serunya jalinan penceritaan selayaknya film fantasi untuk keluarga. Tidak pernah lebih dari itu. Jika ada yang lantas menciptakan Poltergeist tampak mengerikan, itu berkat kisah menggemparkan di balik layar mengenai kutukan yang menimpa pemain dan kru. Maka dikala wangsit pembuatan ulang dicetuskan dengan Sam Raimi menduduki bangku produser (menyenggol Steven Spielberg), dahi ini pun mengernyit. Apa yang akan dibubuhkan pada versi anyar untuk membuatnya tampil menggigit mengingat Poltergeist terang telah kehilangan kadar keseramannya apabila ditonton bertahun-tahun sehabis rilis? Itulah tugas besar yang menanti sang sutradara, Gil Kenan (Monster House). 

Tidak ada perubahan signifikan dari sisi pengisahan – malah mampu dibilang serupa dengan versi asli – masih berkisar perihal roh jahat yang mengganggu ketentraman hidup sebuah keluarga di rumah gres. Usai kehilangan pekerjaan, Eric Bowen (Sam Rockwell) memboyong istri, Amy (Rosemarie DeWitt), dan ketiga anaknya ke pinggiran kota untuk menempati hunian baru yang didapat dengan harga terjangkau. Hanya sesaat sesudah mereka mendiami rumah tersebut, beragam kejanggalan mulai menampakkan diri terutama paling dirasakan oleh Griffin (Kyle Catlett) yang seringkali melaporkan adanya ketidakberesan kepada kedua orang tuanya. Awalnya menganggap keluhan Griffin tidak lebih dari sekadar ocehan manja, Eric dan Amy lantas dikejutkan fakta dari bisak-bisik tetangga bahwa rumah mereka dibangun di atas lahan kuburan. Gangguan demi gangguan yang menimpa keluarga Bowen ini mencapai puncaknya dikala si anak bungsu, Madison (Kennedi Clements), terseret masuk ke dunia arwah. 

Tanpa ada perombakan berarti, Poltergeist milik Kenan ini mempunyai bahasa gambar begitu serupa dengan sang pendahulu. Kesetiaan ini akan membuat sebagian orang menyebutnya malas terlebih penemuan pun minim diberikan – selain pembiasaan teknologi mengikuti zaman, mirip penggunaan drones, ponsel cerdas, dan penggantian televisi tabung ke layar datar – sementara sebagian lain menjulukinya sebagai penghormatan terhadap versi orisinil. Dimanapun keberpihakanmu, satu hal niscaya: seperti halnya kepunyaan Hooper, Poltergeist gubahan Kenan ini pun sulit untuk dikatakan sebagai tontonan menakutkan. Tidak peduli seberapa banyak jump scares dengan skoring nyaring khas film horor murahan yang telah disisipkan, Poltergeist masih kesulitan untuk membuat saya terlonjak tampan. Boneka-boneka dan badut di kamar Griffin memang memiliki tampilan creepy, tapi itu ialah satu-satunya komponen dalam film yang menawarkan sensasi merinding. Selebihnya, Kenan lebih suka memacu adrenalin penonton melalui gelaran aksi yang menghadapkan kita pada perasaan berdebar-debar. 

Apakah ini sesuatu yang jelek? Tidak juga. Walau kadar teror dari atmosfir tak mengenakkan semakin berkurang disini menyusul keputusan Kenan membawa mood film ke arah lebih light, Poltergeist tetap mampu terhidang sebagai tontonan hiburan yang mengasyikkan. Setidaknya, Kenan berhasil membawa kita melewati fase menghela nafas panjang, harap-harap cemas, seraya berteriak gregetan kepada satu dua aksara, “jangan kesana! Jangan kesana!” dengan sesekali diselingi humor-humor renyah pengundang tawa. Beruntungnya, Poltergeist pun diberkahi barisan pemain dengan performa mumpuni, termasuk para pemain pendukung, yang sanggup meniupkan chemistry meyakinkan sebagai satu keluarga. Harus diakui, inilah energi utama kepada film. Karakter yang sangat gampang didukung – sulit untuk membenci keluarga Bowen dan para ‘pengusir hantu’ – menciptakan penonton sedikit banyak merasa terlibat ke dalam penceritaan sehingga meski terornya tidak menakutkan dan polesan imbas khususnya sedikit menggelikan, tetap ada alasan untuk menikmati Poltergeist. Lagipula, laju pengisahannya juga tidak pernah membosankan... and it’s a good thing.

Acceptable


Post a Comment for "Review : Poltergeist"