Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : The Maze Runner


“WICKED is good.” 

Labirin raksasa menyesatkan, makhluk penjaga mematikan, dan komunitas taat peraturan yang terisolir dari modernitas. Sekilas, terdengar seperti versi pembaharu dari The Village milik M. Night Shyamalan. Tetapi kenyataannya, wilayah aneh di dunia distopia ini berasal dari novel young adult rekaan James Dashner, The Maze Runner, yang mengikuti rekan sejawatnya semacam The Hunger Games dan Divergent untuk ditransformasikan ke dalam bahasa gambar. Garis besar tuturannya pun tidak terlampau jauh berbeda; seorang akil balig cukup akal kemarin sore bertindak berani melanggar batasan yang telah disepakati, melaksanakan pemberontakan terhadap sistem mengekang yang dianggapnya sangat tidak adil, dan (risikonya) menciptakan pergerakan revolusioner. Tipikal. Membuat The Maze Runner seperti terlihat tak lebih dari sekadar pengekor yang berharap bisa memperoleh kesuksesan serupa. Apakah betul demikian? 

Tidak juga. Sekalipun dari segi konsep menawarkan kemiripan dan ide dasarnya seperti mencomot Lord of Flies, The Maze Runner berhasil menghindari keterpurukan mirip apa yang dialami oleh beberapa adaptasi kurang beruntung mirip The Host, The Mortal Instruments: City of Bones, serta Beautiful Creatures. Premis menggugah seleranya mampu dikembangkan oleh Wes Ball, ahli imbas khusus yang kali ini menempati kursi penyutradaraan, menjadi sebuah menu yang akan membuat perhatian Anda tertambat selama kurang lebih dua jam. Bahkan, adegan pembuka film ini telah mengindikasikan akan ada ketegangan pada balutan kisahnya yang penuh misteri. Memperlihatkan Thomas (Dylan O’Brien), hero utama kita, terbangun di sebuah lift bermuatan barang-barang kebutuhan pokok. Seperti halnya Thomas, penonton pun dibentuk bertanya-tanya, “apa yang bekerjsama terjadi di sini?.” 

Pertanyaan itu tak lantas terjawab. Thomas yang tidak bisa mengingat sedikitpun kurun lalunya, termasuk nama, lantas menyadari bahwa dirinya ‘terdampar’ di padang rumput luas dengan dinding-dinding raksasa mengelilingi bernama The Glade yang dihuni oleh sebuah komunitas beranggotakan seluruhnya remaja pria di bawah komando Alby (Aml Ameen). Tempat apa ini? Mengapa dirinya bisa hingga di sini? menjadi semacam pertanyaan yang menghantui Thomas... begitu pula saya. Kepenasaran semakin terbentuk saat Thomas menyadari setiap penduduk The Glade mengalami nasib sama dengannya dan sulit menemukan jalan keluar di balik dinding berisi labirin raksasa yang alurnya terus berubah setiap malam sehingga sulit dipetakan. Belum lagi ada bahaya kasatmata dari makhluk misterius yang bersiap-siap mengoyak badan siapapun yang nekat bertahan dalam labirin dikala mentari telah singgah ke peraduannya. 

Apabila Anda berpikir The Maze Runner akan kehilangan tajinya sehabis pembuka menghentak itu, maka bersiaplah untuk dikejutkan. Materi dari Dashner nyatanya tidaklah secethek yang banyak orang pikirkan dan memberi ruang lebih pada sisi thriller ketimbang membuang-buang waktu untuk fokus pada urusan asmara. Usai memberi kesempatan bagi penonton berkenalan dengan The Glade – mempelajari bagaimana komunitas ini terbentuk dan bekerja – Ball kembali meminta penonton untuk mengencangkan sabuk pengaman sebab film akan segera memasuki jalurnya, bergerak secara kencang nyaris tanpa jeda. Betul saja, upaya Thomas mengacaukan peraturan yang telah menahun berdiri kokoh hanya untuk menemukan balasan atas rasa ingin tahunya yang menggunung menciptakan eskalasi suspensi pada tuturan dongeng. Semakin menjadi-jadi dengan kemunculan seorang wanita bernama Teresa (Kaya Scodelario) yang dinyatakan sebagai anggota terakhir bagi kelompok kecil ini. Ada konsekuensi yang harus diterima mereka atas keputusan yang dibentuk oleh Thomas, mengakibatkan korban-korban berjatuhan silih berganti. 

“Apa yang akan terjadi berikutnya?” yaitu kunci keberhasilan dari The Maze Runner. Rasa ingin tau diusik sedemikian rupa hingga-sampai penonton enggan memalingkan pandangan dari layar. Ritme film pun berhasil dijaga dengan sangat baik oleh Ball sehingga sekalipun misteri terurai satu demi satu, masih ada ketertarikan yang tersisa. Bagusnya, The Maze Runner pun disokong oleh muda-mudi berbakat di jajaran departemen akting yang menunjukkan bantuan performa apik, khususnya Dylan O’Brien yang cukup berkharisma sebagai lead, dan polesan efek khususnya pun berhasil dimaksimalkan oleh Ball – tidak mengherankan melihat latar belakangnya – sehingga memunculkan kesan mewah, megah, dan manis, sukses menutupi fakta bahwa kucuran dana dari studio terbilang minim. Pada akhirnya, bolehlah The Maze Runner disebut sebagai salah satu film pembiasaan novel young adult terbaik ketika ini dan sebuah pembuka jalan sebuah trilogi yang meyakinkan. Seru, menegangkan, dan mengasyikkan dijahit menjadi satu dalam plot yang sungguh mengikat.

Exceeds Expectations

Post a Comment for "Review : The Maze Runner"