Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Mad Max: Fury Road


“Oh what a day, what a lovely day!” 

Apabila kau telah memproklamirkan Furious 7 atau Avengers: Age of Ultron sebagai film aksi terbaik tahun ini berkat penataan adegan laganya yang terhitung spektakuler, tunggu sampai kau menyaksikan Mad Max: Fury Road. Jilid keempat dari rangkaian seri Mad Max yang berjasa dalam mengorbitkan karir Mel Gibson ke blantika perfilman dunia sebagai action star ini menciptakan dua film laris tersebut layaknya film buat kanak-kanak. Tidak tanggung tanggung, Fury Road menggenjot adrenalinmu hingga titik maksimal dari menit pembuka sampai credit title mengular secara liar di layar. Walaupun sang punggawa, George Miller, yang juga ‘ayah kandung’ dari franchise ini telah menginjak usia kepala 7, tapi beliau masih paham betul bagaimana caranya membuat gelaran aksi tanpa jeda yang sangat impresif sehingga menciptakan gedung bioskop yang tengah menayangkan Fury Road sebagai kawasan paling kotor di muka bumi alasannya penonton yang dibuat takjub tak henti-hentinya melontarkan umpatan atau malah justru tempat paling kudus karena penonton mengucap “oh my God!” berulang kali berkat pesona visualnya yang mencengangkan. 

Berlatar di abad depan yang gersang dikala air merupakan barang paling berharga di muka bumi, Fury Road berfokus pada petualangan baru dari Max Rockatansky (Tom Hardy) yang sekali ini ditawan oleh kelompok mutan, War Boys, untuk dimanfaatkan sebagai penyuplai darah khususnya bagi Nux (Nicholas Hoult). Setelah beberapa percobaan dalam meloloskan diri berakhir kegagalan, kesempatan itu datang saat Nux memboyong Max untuk menangkap Furiosa (Charlize Theron), panglima dari King Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne), yang melaksanakan pemberontakan dengan melarikan lima istri Joe menuju ‘tempat penuh impian’ menggunakan War Rig. Dalam kejar mengejar penuh kekacauan antara pasukan Joe yang beringas dengan Furiosa ini, Max jadinya berhasil meloloskan diri dari cengkraman Nux. Tidak mempunyai kendaraan sebagai alat pelindung, maka tidak ada cara lain bagi Max untuk menyelamatkan diri dari serbuan pasukan Joe selain membantu Furiosa menyelesaikan misinya. 

Ya, Fury Road adalah sebuah film yang benar-benar edan, melebihi dari apa yang bisa kau pikirkan. Diibaratkan tengah menaiki moda transportasi, Fury Road bagaikan bis malam dengan Miller berada di balik kemudi sementara kita ialah penumpang. Kamu tentu tahu bagaimana kelakuan bis malam, bukan? Melaju kencang seperti tidak dilengkapi rem, ugal-ugalan selap selip kanan kiri, memberi sensasi jantung berdegup kencang bagi para penumpang. Kurang lebih, mirip itulah cara mendeskripsikan paling sempurna kesintingan seperti apa yang bakal kamu dapatkan di Fury Road. Tontonan beroktan tinggi dengan laju penceritaan melesat cepat yang tidak memberikan kesempatan bagi para penontonnya untuk menghembuskan nafas kelegaan... walau hanya sedetik. Gelaran adegan laganya berkelanjutan – satu dilema terselesaikan, datang masalah lain – tanpa pernah terasa melelahkan, malah justru memberi candu yang membuat kita diliputi ketidaksabaran untuk menanti-nanti “apa sih yang bakal terjadi berikutnya?” lantaran Miller melenakan kita melalui ekspo aksi minim efek khusus yang dirangkai secara berani, kreatif, serta segar. Bahkan banyak diantaranya yang belum pernah kita saksikan di layar lebar! 

Rasa-rasanya, setiap orang akan memiliki highlight versi masing-masing – alasannya adalah, well... ada banyak adegan menonjol yang mampu kamu pilih – dengan aku memilih angin puting-beliung pasir sebagai bagian paling disuka. Sulit untuk tidak berdebar-debar, menatap lekat layar, sekaligus menelan ludah ketika pengejaran terhadap Furiosa memasuki ‘abu pekat raksasa’ yang didalamnya terdapat putaran angin buas yang siap kapanpun meremukkanmu. Apa yang akan terjadi disini? Kamu tidak pernah tahu, tapi satu hal terang akan ada ledakan maupun benda-benda porak poranda. Dan kalau kamu mengira bahwa ini menjadi puncak dari segala keseruan, maka jelas keliru karena sesudah itu kita masih mendapati kejar-kejaran mengasyikkan di padang pasir tandus yang melibatkan gitaris cadas penggelora semangat (seriously, he’s epic!), galah (errr, tidak pernah terbayangkan), hingga nenek-nenek mengamuk yang tidak bisa kamu remehkan begitu saja kapabilitasnya dalam bertarung. Boom boom boom! Phew! Para pecandu film agresi bertegangan tinggi jelas akan tersenyum penuh kebahagiaan melihat cara Miller memanjakan mereka lewat Fury Road ini. 

Soal ajaib-gilaan maupun kebrutalan dalam menggeber gelaran aksi, Fury Road memang salah satu yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir (atau malah dekade!). Tapi ini tidak lantas menciptakan Miller bermalas-malasan untuk mengolah kisah. Dibalik kemasannya yang meriah, liar, serta berisik dengan jalinan pengisahan yang tampaknya sederhana, Miller bersama duo Brendan McCarthy dan Nico Lathouris diam-diam menggeber celotehan yang terbilang cukup kompleks (tapi tetap lezat buat diikuti sekalipun minim obrolan) menyoal permasalahan khas film-film post-apocalyptic wacana kemanusiaan maupun sentilan sentilun terhadap kondisi sosial politik era sekarang yang semakin usang semakin bobrok. Dirajut secara rapi, sektor naskah ini ditopang pula oleh performa sangat mengesankan dari jajaran pemain. Sebagai pemimpin di garda terdepan, Tom Hardy memang menawarkan interpretasi mengagumkan untuk peran ikonik Max tanpa harus menduplikat Mel Gibson, tapi kudos untuk Charlize Theron dan Nicholas Hoult yang menjadi bintang sebetulnya dari Fury Road dengan pesona mereka sedikit banyak melibas Hardy. 

Charlize Theron dengan segala ke-badass-annya sebagai Furiosa yang tangguh, cerdas, tapi rapuh, menjadi sosok ‘ibu’ tepat bagi aktor pendukung wanita lain khususnya Rosie Huntington-Whiteley yang memberi peningkatan memuaskan usai tampil memble di Transformers: Dark of the Moon. Sedangkan Nicholas Hoult, membawakan perannya segila parade koreografi aksi di Fury Road dengan lontaran obrolan, “what a day, what a lovely day,” sangat mewakili perasaan penonton yang seketika hati mereka bungah, hari mereka menjadi cerah ceria usai menerima suguhan yang sangat mengagumkan dari George Miller ini. Sulit untuk tidak menjlentrehkan kata-kata bernada hiperbolis dikala memperbincangkan Fury Road sebab memang seperti itulah filmnya: over-the-top – serba berlebihan dalam memvisualisasikan kegilaan laganya – namun begitu menyenangkan mirip menyaksikan film-film aksi keluaran 70-80’an. Pada akhirnya, aneh, liar, gahar, mengasyikkan dan menegangkan yakni sederetan kata paling cocok untuk mendeskripsikan Mad Max: Fury Road. Sebuah instant classic yang tidak keberatan untuk kita tonton ulang lagi dan lagi. Miller memberikan kepada para juniornya di ranah agresi tentang bagaimana seharusnya sebuah film agresi dibentuk.

Outstanding

Post a Comment for "Review : Mad Max: Fury Road"