Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Jurassic World


“Monster is a relative term. To a canary, a cat is a monster. We're just used to being the cat.” 

Apakah kau masih ingat bagaimana perasaan yang muncul dikala menyaksikan Jurassic Park garapan Steven Spielberg untuk pertama kalinya? Apabila menu ini kamu tonton di kala 1990’an – tak peduli melalui medium bioskop atau televisi – hampir bisa dipastikan terperangah dengan ‘rahang terjatuh ke lantai’ yaitu pendeskripsian paling sempurna. Sulit untuk menampik, efek khusus yang dipergunakan dalam memvisualisasikan dinosaurus pada Jurassic Park terbilang luar biasa (tentu, menurut ukuran kurun itu). Spielberg mampu membuat kita berdecak kagum, selain meneteskan keringat cuek lantaran injeksi serum ketegangan pada film yang tidak main-main, yang menyebabkan film tersebut sebagai salah satu blockbuster movie terbaik yang pernah dibentuk oleh Hollywood. Lalu, mengharapkan kesuksesan serupa dengan suntikan dana lebih tinggi, Universal Pictures luncurkan The Lost World dan Jurassic Park III yang, well, tak sehebat sang pionir. Mengendurnya kualitas jilid ketiga seketika mematikan franchise laris ini (atau setidaknya itu yang kita kira) hingga diputuskan untuk dihidupkan kembali 14 tahun kemudian dengan upgrade sana sini berwujud Jurassic World

Ditinjau dari penceritaan, sejatinya minim pembaharuan yang mampu kamu jumpai di Jurassic World. Secara garis besar, apa yang hendak dicelotehkan oleh Colin Trevorrow masih seputar “arogansi berlebih insan membawa musibah.” Ya, meski taman rekreasi Jurassic World di Isla Nublar yang telah dibuka untuk umum telah mendatangkan dollar berlimpah ruah bagi InGen, tapi pihak korporasi dan investor mengharapkan lebih. Untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke taman bertema prehistorik ini tiap tahunnya, mereka pun mengkreasi spesies dinosaurus baru, Indominus Rex, dengan genetika dicomot dari bermacam-macam hewan yang digadang-gadang lebih beringas dari sekumpulan dinosaurus dalam katalog Jurassic World. Tapi tentu saja, planning untuk menyebabkan si hewan buas nan cerdas ini sebagai komoditas utama harus dibayar mahal dikala Indominus Rex melepaskan diri dari kandangnya dan secara membabi buta menelan siapapun yang menghalangi langkahnya. Tak ingin korban terus menerus berjatuhan, sekaligus menyelamatkan sang keponakan yang tersesat entah kemana, manajer operasional taman, Claire (Bryce Dallas Howard) pun terjun ke lapangan dengan santunan Owen (Chris Pratt), salah satu pekerja di taman yang melatih kawanan Raptor. 

Jika kau termasuk satu dari sekian juta penggemar berat Jurassic Park yang ketar ketir terhadap penanganan Trevorrow film kelanjutan ini, silahkan bernafas lega. Jangankan kita, Spielberg maupun mendiang Michael Crichton – sang pencetus wangsit – bakal menyunggingkan senyum penuh pujian mengusut perlakuan penuh penghormatan dari sutradara pembesut Safety Not Guaranteed ini kepada si franchise. Atmosfir (dan semangat) serupa dari instalmen pertama mampu kau rasakan di sini, begitu pula dengan setumpuk rujukan yang pastinya akan menciptakan para pecinta trilogi sebelumnya berjingkat bangga. Trevorrow terperinci telah menghasilkan sebuah homage yang sempurna. Akan tetapi, apakah itu berarti Jurassic World hanya akan ‘mengetuk hati’ mereka yang pernah mencicipi hype dari seri pembuka pada 20 tahun silam? Silahkan (sekali lagi) hembuskan nafas kelegaan alasannya adalah, well... tidak. Sekalipun penonton belum pernah berkenalan dengan franchise ini, kesenangan masih mampu dicicipi. Jurassic World tak ubahnya taman rekreasi yang di dalamnya dipenuhi wahana permainan mengasyikkan, menegangkan, sekaligus menghibur. Gairah dari para newbie mungkin tidak akan pribadi memanas saat pertama kali menjejakkan kaki di taman – mirip halnya dialami salah satu tokoh – tapi begitu merasakan nikmatnya atraksi yang ditawarkan, bisa jadi kamu enggan meninggalkan taman ini. Berkunjung sekali ke Jurassic World juga tidak akan terasa cukup. 

Betapa tidak, kunjungan ke Jurassic World memberi cinematic experience yang sungguh mengesankan. Laju pengisahan memang tak langsung menukik malah cenderung slowburn, menit-menit awal film berfungsi sebagai ‘tour guide’ yang memberi penonton citra soal taman kepunyaan Trevorrow. Terima kasih banyak kepada teknologi, mimpi besar John Hammond, sang pencetus taman wisata dinosaurus, dapat diejawantahkan secara manis ke dalam bahasa gambar. Bangunan dari Jurassic World lengkap beserta isinya berupa kemudahan, wahana, serta dinosaurus, tentunya, sanggup memunculkan kesan ‘wow!’ yang lantas menciptakan Disneyland tampak terlihat seperti pasar malam. Seusai berjalan-jalan kalem kesana kemari seraya mengagumi visualisasi dinosaurus anyar yang lebih besar, lebih menyeramkan, dan lebih bergigi (maaf, Indominus Rex, tapi Mosasaurus lah yang membuatku terkesima), penonton memasuki atraksi utama yang ditandai oleh ketegangan mengalami eskalasi. Terhitung sedari si dinosaurus antagonis menetapkan jalan-jalan mencari udara segar, aroma teror semerbak terasa. Ketenangan melenakan di babak awal berangsur-angsur berkembang menjadi nuansa mencekam. Kamu yang mendambakan ketegangan selayaknya diumbar di film pertama, berbahagialah. Permainan kucing-kucingan dengan Indominus Rex memberi sensasi menghela nafas panjang, deg-degan, hingga gregetan. Mengingat adanya ekspansi skala disana sini, maka jumlah korban yang dicaplok si dinosaurus tidak lagi satu dua... melainkan puluhan (bahkan mungkin ratusan)! 

Dan inilah letak keasyikan dari menyaksikan Jurassic World. Naskah yang tak lagi inovatif atau memberi kedalaman (well, ini problematika utama franchise ini), mampu diampuni berkat kecakapan si pembuat film dalam menggeber ketegangan ke titik maksimal sampai-hingga bangku bioskop pun dicengkram dekat-akrab. Kita berhasil dibawa larut ke dalam petualangan mendebarkan menjelajahi Jurassic World seraya menghindari kejaran Indominus Rex maupun pertempuran kematian antar dinosaurus ditemani oleh duo huruf utama yang begitu gampang untuk dicintai. Bryce Dallas Howard bertransformasi sempurna dari tante workaholic menyebalkan menjadi badass heroine (hey, jangan pernah meremehkan perempuan yang sanggup berlarian di medan berat menggunakan high heels!) dan Chris Pratt membawakan perannya sebagai sang jagoan yang sedikit besar kepala secara menawan. Jurassic World tidak saja mengingatkan pada jilid pertama dari franchise tetapi juga summer blockbuster di era 1990’an yang menomorsatukan ketegangan serta kesenangan. Walau memang pada akibatnya Trevorrow tidak bisa mengungguli pencapaian Spielberg di Jurassic Park, tetapi beliau jelas telah mengembalikan nama baik franchise ini dengan melampaui pencapaian The Lost World dan Jurassic Park III. Jurassic World, jelas salah satu summer movie tahun ini yang sebaiknya tidak kau lewatkan begitu saja kehadirannya. Rasakan cinematic experience yang ditawarkannya!

Outstanding



Post a Comment for "Review : Jurassic World"