Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Insurgent


“You can take the girl out of Abnegation, but you can't take the Abnegation out of the girl.” 

Divergent meninggalkan penonton pada kepenasaran tinggi ketika konflik yang mulai meruncing diakhiri begitu saja yang memberi ending menggantung selayaknya film-film lain yang sari penceritaan dijumput dari novel young adult berseri. Masih teringat jelas, masa itu ada semangat menyeruak untuk menantikan kemunculan film kelanjutan, Insurgent, hanya sesaat sehabis melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan semacam “apa langkah yang ditempuh oleh Tris dan Four berikutnya?” atau “akan sebesar apa pergolakan antar faksi ini seusai pemberontakan yang dilakoni si tokoh utama?” senantiasa membayangi. Dengan meruncingnya konflik di penghujung film pertama – dan momen perkenalan yang disuntikkan dalam medium pencarian jati diri telah berlalu – maka sudah sewajarnya keinginan penonton menggelembung untuk memperoleh sajian berisi plot rumit mengikat dengan agresi seru yang tak berhenti berdentum terlebih kesemua itu telah dijanjikan oleh trailernya. Tapi lagi-lagi, bukankah kita tidak seharusnya menaruh keyakinan sepenuhnya pada bahan promosi demi menghindari kekecewaan? 

Berselang tiga hari setelah kekacauan besar di sarang Dauntless, Tris (Shailene Woodley), Four (Theo James), Caleb (Ansel Elgort), Peter (Miles Teller), dan Marcus (Ray Stevenson), menumpang sejenak ke markas Amity guna menghindari kejaran pasukan-pasukan kiriman Jeanine (Kate Winslet) yang membabi buta melacak eksistensi Tris sesudah diketahui bahwa ada kemungkinan Tris memiliki kemampuan istimewa dibanding Divergent lain untuk membuka sebuah kotak misterius – semacam pandora box – yang menyimpan pesan dari leluhur. Tentu, Tris tidak menyerahkan diri begitu saja sekalipun beberapa aliansinya melakukan pengkhianatan untuk kepentingan eksklusif masing-masing. Demi merebut tampuk kekuasaan dari Jeanine sekaligus melindungi Tris yang posisinya semakin sulit, Four pun mendekati Factionless – kumpulan orang tanpa faksi – untuk meminta derma meski ini berarti mengungkit kembali abad lalunya yang kelam berkaitan dengan pemimpin Factionless yang oportunis, Evelyn (Naomi Watts). 

Menapaki babak kedua dari trilogi distopia rekaan Veronica Roth, skala problematika yang menaungi Chicago kurun depan memang semakin membesar dan penuh lika liku. Hanya saja, ini tidak menimbulkan efek apapun terhadap laju film yang mirip halnya jilid pertama mengalun begitu perlahan cenderung menguji kesabaran. Apabila Divergent masih memberikan semangat karena penonton (khususnya awam yang tidak pernah menyentuh versi novelnya) diberikan introduksi mengasyikkan soal dunia gres di abad depan yang dikotak-kotakkan dalam faksi sesuai aksara, maka Insurgent bagaikan kendaraan yang mulai kehabisan bakar bakar. Berjalan tertatih-tatih. Guliran soal upaya Tris dan Four melarikan diri dari kejaran Jeanine dengan berpindah-pindah ke markas aneka macam faksi yang menyelimuti sebagian besar paruh awal dikemas oleh Robert Schwentke (RED, R.I.P.D.) secara tidak menarik, penuh repetisi, dan berasa menjemukan terlebih tanpa dibekali banyak tensi yang membuatmu mencengkram akrab kursi bioskop. 

Tak mirip saga sebelah (maaf, terpaksa harus membandingkannya dengan The Hunger Games), dilema besar yang seharusnya menjadi daya tarik utama pada penceritaan dalam Insurgent – entah itu berwujud serangan balasan dari kubu villain, mencuatnya ketegangan dalam faksi, atau sisi psikologis Tris yang terguncang – hanya melewati proses pengupasan di permukaannya saja tanpa pernah benar-benar digali lebih mendalam oleh si pembuat film sampai-hingga kubangan konflik yang dituturkan secara bertele-tele ini gagal mengikat hati dan hanya membuatmu menguap mahir. Alih-alih memunculkan ikatan afeksi besar lengan berkuasa antara penonton dengan jalinan pengisahan yang seharusnya memunculkan harapan untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya, kita hanya ingin tuturan berbalut dialog-obrolan menggelikan yang serasa kebingungan menentukan arah ini cepat diselesaikan dan dapat bergerak ke babak berikutnya sebelum benar-benar dibuat tertidur pulas di pertengahan film. 

Dan kalau kamu rela untuk bersabar, semenjak Kate Winslet menampakkan diri di layar yang mengungkap motifnya memburu Tris, film mulai memperlihatkan pergerakan yang menarik untuk diamati. Perlahan tapi niscaya ketegangan merangkak naik dengan bermunculannya rentetan adegan berkelahi seru nan mendebarkan yang secara otomatis melunturkan seluruh kebosanan yang menghiasi babak awal. Tanda-tanda kehidupan dalam Insurgent mulai terlihat. Keseruan di Divergent yang hanya berkisar pada faksi Dauntless sekali ini diperluas jangkauannya walau arena pemacu adrenalin masih berlangsung di alam bawah sadar Tris balasan dari proses simulasi. Setidaknya, kita melihat Tris melewati rintangan penuh bahaya dalam durasi yang lebih panjang, divisualisasikan dalam imbas khusus yang cukup memanjakan mata, dan merasakan gejolak-gejolak sesudah puluhan menit lamanya menyimak air keruh yang hening. Dengan kesemua ini, mimpi buruk yang dihadapi penonton dapat terlupakan. 

Ditinjau dari sisi naratif, Insurgent memang tampak kewalahan nyaris tak berdaya dan membuatnya tidak lebih dari sekadar epigon lainnya dari The Hunger Games. Puji syukur, film masih dikaruniai performa menawan dari jajaran pemain beranggotakan bintang-bintang papan atas – khususnya Shailene Woodley yang berlakon prima dalam menerjemahkan bingung gulana yang dihadapi oleh Tris dibalik sosoknya yang terlihat tangguh pula mematikan hanya lewat pancaran mata serta duo pemain senior Kate Winslet-Naomi Watts yang badass – dan gelaran teknis berupa efek khusus keren maupun tangkapan kamera dengan pergerakan dinamis yang rancangannya mengalami peningkatan signifikan ketimbang sang predesesor sehingga Insurgent masih bisa diselamatkan dari terperosok jatuh ke jurang keterpurukan sekaligus membangkitkan kembali harapan untuk menantikan kelanjutan dari The Divergent Series meski tak bisa dinafikan kali ini gairahnya sudah agak menurun.

Acceptable

Post a Comment for "Review : Insurgent"