Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Hijab


“Perempuan itu kudu di rumah, nyuci baju, merawat anak, masak dan patuh dengan suami.” 

Setelah beberapa tahun terakhir ini Hanung Bramantyo kerap kali disibukkan oleh proyek ambisius dengan bekal cerita cenderung bernada serius dan berat menuntut perhatian lebih, ada semacam kerinduan menyaksikannya bersenang-senang seperti halnya di awal-awal karir penyutradaraan – sebut saja, Catatan Akhir Sekolah dan Jomblo – yang jujur dalam berkisah, lepas tanpa beban, dan santai namun tetap meninggalkan kesan mendalam usai menyimaknya. Mungkin, seperti halnya para pecinta film, Hanung pun mencicipi kerinduan (atau justru kelelahan) serupa sehingga usai megaproyek Soekarno dan sebelum melangkah ke film berbujet raksasa lainnya, diputuskan untuk berelaksasi, menyegarkan pikiran sejenak supaya tidak suntuk. Lagipula, why so serious? ‘Main-main’ ala Hanung ini lantas diwujudkan lewat Hijab yang tak seperti judulnya – bahkan mungkin bayanganmu – enggan bergerak di ranah reliji. Kenyataannya, Hijab yaitu sebuah film komedi satir cerdas berisi nan mengasyikkan yang tanpa aib-malu berbicara soal kesetaraan jender, posisi wanita, anutan agama, etika, dan (tentunya) hijab sebagai bagian dari gaya hidup bukan sekadar penanda keimanan seseorang. 

Hijab menyoroti pengisahannya pada persahabatan empat perempuan; Bia (Carissa Puteri), Tata (Tika Bravani), Sari (Zaskia Adya Mecca), dan Anin (Natasha Rizky). Diantara mereka berempat, hanya Anin yang masih betah melajang dan tidak memakai jilbab. Meski Anin telah menjalin korelasi cukup serius dengan Chaky (Dion Wiyoko), sutradara film pendek yang kontroversial, Anin enggan menapaki jenjang ijab kabul lantaran khawatir akan bernasib serupa mirip ketiga sahabatnya yang menjadi isteri ‘ikut suami’. Semenjak Bia bersuamikan artis sinetron super sibuk, Matnur (Nino Fernandez), beliau harus kehilangan ‘me time’ karena harus menemani sang suami di lokasi syuting. Tata yang bersuamikan fotografer ternama, Ujul (Ananda Omesh), direpotkan dengan urusan anak. Dan, Sari – terparah dari semuanya – yang bersuamikan lelaki ketutunan Arab kolot, Gamal (Mike Lucock), terpenjara di rumah alasannya adalah peran istri hanya sebatas pada patuh pada suami dan mengurus rumah tangga. Selain itu, haram! 

Satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk berkumpul dan merasakan sedikit kebebasan yakni ketika arisan bersama. Ndilalah, di satu kesempatan, Gamal keceplosan, “Semua arisan ibu-ibu bantu-membantu arisan suami, karena duitnya dari suami.” Sebagai mantan aktifis wanita, Tata merasa terusik dengan pernyataan Gamal dan membisu-membisu mengajak ketiga sahabatnya untuk mencari penghasilan sendiri tanpa bergantung pada suami. Mereka berjualan hijab secara online. Dan, di sinilah akar konflik dari Hijab mulai menampakkan wujudnya. Setidaknya lebih dari durasi film dimanfaatkan oleh Hanung Bramantyo untuk melancarkan sentilan sentilun ke berbagai arah, khususnya berkenaan tentang pemakaian hijab, tugas perempuan bersuami dipandang dari sisi agama Islam, kultur dan lingkungan sosial masyarakat yang kerap kali disalahgunakan oleh para laki-laki demi memuaskan ego, melalui kelakar-kelakar ringan. Tidak ketinggalan pula ada celetukan soal ormas tertentu yang memakai agama sebagai kedok, ketergantungan terhadap gadget, dan fenomena unik soal industri hiburan tanah air. 

Cara santai-tapi-serius ini tergolong efektif sekaligus tepat guna dalam menghantarkan dongeng. Guyonan sebagai solusi dalam mengapungkan berita yang akan kentara sekali sensitifitasnya bagi para konservatif apabila dikupas secara serius. Si pembuat film, terperinci, telah mencar ilmu dari kesalahannya di abad lampau. Kita diajak tertawa terbahak-bahak berulang kali. Bukan menertawakan orang lain, melainkan diri sendiri dan kenyataan yang tumbuh berkembang di lingkungan sosial sekitar – tak peduli seberapa keras kita mencoba menyangkalnya – maka jangan kaget ketika gelak tawamu bermunculan, tiba-tiba merasa tersentil, tergelitik, atau tertohok. Damn! Pun demikian, Hijab tak sepenuhnya soal berhaha-hihi. Menilik tema film yang berkisar pada persahabatan dan kekeluargaan, pembubuhan rona drama pada penceritaan bukan sesuatu yang mengherankan malah cenderung sangat diharapkan. Seperti halnya kehidupan – maupun persahabatan di dunia faktual – canda tawa akan selalu diselingi oleh air mata alasannya adalah keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Konflik mustahil dihindari. 

Untuk itu, usai paruh pertama dan separuh berikutnya yang disesaki oleh keceriaan, kesenangan, dan keriangan, perlahan tapi pasti nuansa Hijab berbelok arah seiring meruncingnya permasalahan pada titik, “apa yang akan terjadi saat penghasilan para istri benar-benar telah melampaui sang suami?” yang dihadapi oleh para tokoh utama. Puncak dari segala puncak ialah tatkala Andien melantunkan tembang “Satu Yang Tak Bisa Lepas” yang seketika menggiring penonton pada perasaan terenyuh, tersentuh, dan lalu menitikkan air mata. Ada simpati tersemat kepada Bia, Sari, dan Tata, membuat kita turut merasakan ‘kegagalan’ yang mereka hadapi. Bagusnya, Hanung tidak pernah melantunkan sisi sentimentil dari Hijab ini kelewat dramatis sehingga kesan cengeng pun berhasil terhindarkan. Bagusnya lagi, tak ada penggampangan persoalan dalam pencarian jalan keluar untuk setiap konflik karena Hanung memilih melewati jalur realistis alih-alih bombastis. 

Keunggulan Hijab tidak saja disebabkan oleh skrip trengginas rancangan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra maupun pengarahan mengesankan Hanung, melainkan turut ditopang oleh penataan kostum, artistik, pengambilan gambar manis penuh warna a la Instagram dari Faozan Rizal, dan terpenting, performa bertenaga dari jajaran pemainnya. Selain menunjukkan chemistry mahir satu sama lain, kedelapan bintang yang ditempatkan di garda terdepan Hijab memperlihatkan bantuan lebih – menancapkan nyawa kepada masing-masing huruf yang dimainkan. Ya, dari Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Carrisa Puteri, Natasha Rizky, Mike Lucock, Ananda Omesh, Nino Fernandez, sampai Dion Wiyoko, kesemuanya bermain secara natural tanpa beban seolah-olah memerankan diri sendiri menciptakan kita mampu percaya bahwa mereka bersahabat, percaya bahwa mereka yaitu pasangan-pasangan, dan percaya bahwa mereka ada. Ketika kita telah diberikan iman itu, maka gampang untuk terciptanya kedekatan antara aksara dengan para penonton sehingga kita mampu peduli kepada mereka. Dengan bekal kekuatan semacam ini, bisa kiranya aku menyebut Hijab sebagai salah satu film terbaik yang pernah digarap oleh Hanung Bramantyo. Melambungkan kembali ingatan kepada JombloCatatan Akhir Sekolah, maupun Get Married. Trust me, this one should not be missed. Keren!

Outstanding

Post a Comment for "Review : Hijab"