Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Cjr The Movie: Lawan Rasa Takutmu


“Kita harus berguru dong naklukkin rasa takut kita. Jangan cuma dirasain sama dipikirin. Lakuin sesuatu!” 

Ada banyak sinisme menyertai dikala Coboy Junior the Movie dirilis ke bioskop dua tahun silam sebab dianggap tidak lebih dari sekadar proyek aji mumpung memanfaatkan ketenaran boyband ABG Coboy Junior. Menilik kebiasaan para pelaku industri hiburan di Indonesia yang tidak segan-segan menggenjot habis penyanyi atau artis tertentu saat popularitas tengah mendaki untuk melakoni bermacam-macam aktifitas hiburan yang (umumnya) digarap secara serampangan, maka ini tidak sepenuhnya salah. Garapan Anggy Umbara tersebut diyakini akan menuju ke arah sama, sampai kita menontonnya dan menyadari bahwa sederet anggapan negatif yang ditujukan pada film ini tidak terbukti. Pemaparan kisah sukses Coboy Junior tergarap begitu baik dan menyenangkan tanpa harus mengalienasi bukan-penggemar, malah mampu menggaet, hingga ratusan ribu penonton pun terkumpul. Dengan ukiran sejarah seperti ini, tak mengherankan kesuksesan diniatkan untuk diulang... sampai bertubi-tubi duduk perkara menimpa yang memaksa boyband ini merubah formasi dan memulai segalanya dari awal lewat CJR. 

Hengkangnya salah satu personil, Bastian, memberikan hantaman keras bagi anggota lain di Coboy Junior; Teuku Ryzki, Alvaro Maldini, dan Iqbaal Dhiafakhri, mengingat kekerabatan diantara mereka telah begitu akrab selayaknya keluarga. Sisi psikologis terganggu dengan iktikad diri tergerus bertahap dan Iqbaal tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Bastian. Menyadari bahwa anak didiknya tengah terpuruk sementara Comate (sebutan untuk para penggemar) tidak ingin lagi kehilangan idola, Patrick (Abimana Aryasatya) berinisiatif mengajak Kiki, Aldi, dan Iqbaal untuk berkeliling separuh benua Australia ditemani ‘pengasuh’ mereka, Jimmy (Arie Kriting). Selain berlibur sejenak guna meringankan beban pikiran, ketiga cukup umur ini juga menerima gemblengan latihan vokal dan fisik cukup keras bersama D-Doc (Rio Dewanto) dan wejangan pemacu semangat dari penyanyi berkebatasan fisik, Emmanuel Kelly, sebagai bekal untuk memulai langkah gres sebagai CJR. 

Dengan mencuatnya sederet konflik ke hadapan CJR dan tim, ada bayangan maupun pengharapan bahwa CJR the Movie akan terhidang sebagai tontonan emosional sekaligus menginspirasi dengan fokus penceritaan ditekankan pada upaya Kiki, Aldi, Iqbaal, serta Patrick bangun dari keterpurukan dan menghadapi ketakutan terbesar yang menghalau mereka untuk maju. Sayangnya, potensi untuk berubah menjadi sebagai gelaran mengikat itu disia-siakan begitu saja oleh Patrick Effendy yang sekali ini menggantikan posisi Anggy Umbara di dingklik penyutradaraan. Ketimbang bersusah payah menggali proses jatuh bangkit CJR lebih mendalam yang memungkinkan penonton dekat pada setiap huruf termasuk memahami rasa kehilangan Iqbaal dan konco-konco, Patrick lebih memilih jalur tempuh yang kondusif – kelewat kondusif malah – dengan sekadar menyoroti perjalanan para personil yang seringkali dihabiskan untuk bersenang-senang daripada berlatih seperti tujuan awal yang menyebabkan CJR the Movie terlihat tidak lebih dari sekadar video rekaman jalan-jalan CJR ke Australia. Hal ini, tentunya, membuat jarak antara film dengan para-bukan-penggemar yang sebelumnya telah dibuai oleh kesenangan berisi di film terdahulu. 

Keputusan Patrick membawa CJR the Movie ke arah film senang-bahagia belaka bukan juga suatu kekeliruan yang fatal. Jika diniatkan sebagai ‘gimmick’ untuk menghibur Comate dan mengobati kerinduan mereka dalam menyimak sang idola beraksi di layar lebar, maka film telah merampungkan misinya. Kesenangan memang masih tersedia di sini dari interaksi antara CJR bersama orang-orang terdekat, tantangan di Australia (termasuk sky diving dan berkemah di alam liar seraya melantunkan tembang milik Sheila On 7), sampai konser tunggal perdana di penghujung film namun hanya sebatas itu – yang lagi-lagi, akan diterima oleh penggemar beratnya saja – tak pernah mencapai tatanan megah meriah, membuatmu bersemangat atau bersuka cita sepanjang film selayaknya penggemar sejati walau intinya hanya tahu sekelumit. Jika terpaksa dibandingkan dengan film sebelumnya, CJR the Movie terang merupakan sebuah penurunan. Walau masih menyimpan beberapa momen menghibur dengan pesan budpekerti untuk penonton muda yang terhantar cukup baik, ditinjau dari sisi penggarapan maupun penceritaan, CJR the Movie terasa kurang kokoh yang mungkin akan membuatnya kesulitan menjangkau penonton di luar lingkaran penggemar CJR.

Acceptable

Post a Comment for "Review : Cjr The Movie: Lawan Rasa Takutmu"