Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Cinderella


“Have courage and be kind.” 

Popularitas Cinderella tak perlu lagi dipertanyakan. Everybody knows Cinderella. Who did not grow up with the story with the wicked stepsisters and the glass slipper?... unless you live under a rock, of course. Dibanding rekan-rekannya sesama putri penghuni negeri dongeng, cerita hidupnya yang pilu namun sarat akan keajaiban terbilang paling sering dikulik oleh para sineas perfilman dunia entah dalam wujud penceritaan ulang atau sekadar dimanfaatkan sebagai template untuk membangun guliran dongeng anyar. Ya, semenjak profilnya melesat tinggi berkat film animasi klasik buatan Disney, Cinderella, berturut-turut versi lain bermunculan tanpa terkendali kolam cendawan di isu terkini penghujan. Dengan tren ‘modern retelling of fairytales’ tengah menghinggapi Hollywood mudah untuk menduga bahwa dongeng warisan dari Charles Perrault ini akan turut terkena imbasnya... dan memang tidak perlu menunggu waktu usang bagi kita untuk melihatnya divisualisasikan ke dalam bahasa gambar berbentuk live-action. Bagusnya, ketimbang neko-neko merombak ulang seluruh komponen penceritaan yang telah begitu familiar, Kenneth Branagh (Hamlet, Thor) malah sebisa mungkin setia pada sumber asli seraya mencoba kembali mengingatkan penonton kenapa Cinderella versi Disney banyak dicintai penonton. 

Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang Ella (Lily James). Kebahagiannya terus menerus direnggut secara perlahan dari kehilangan ibunda tercinta, mangkatnya sang ayah, hingga diperlakukan semena-mena selayaknya pembantu oleh ibu tirinya, Lady Tremaine (Cate Blanchett), dan kedua putrinya yang, errr... udik. Tanpa mempunyai teman yang mampu diajak membuatkan derita, Ella melarikan diri sejenak dari kepenatan hidupnya ke hutan dengan menunggangi seekor kuda. Pelariannya ini mempertemukan Ella dengan Prince Charming yang memperkenalkan dirinya sebagai Kit (Richard Madden). Terpesona oleh kecantikan, keberanian, dan kesopanan Ella – disebutnya sebagai “gadis desa yang jujur” – Kit pun menitahkan pasukan kerajaan untuk mengundang seluruh wanita dari beragam lapisan sosial guna menghadiri Pesta Dansa dengan keinginan bertemu kembali dengan Ella. Kabar membahagiakan ini menyebar secara cepat ke seluruh penjuru, termasuk ke telinga Lady Tremaine yang berencana memanfaatkan pesta tersebut untuk berburu menantu kaya bagi kedua putrinya yang tidak bisa diharapkan. And you already know the rest of the story, rite? 

Coba tanyakan pada dirimu sendiri, kapan terakhir dibentuk terperangah – atau setidaknya mencicipi sensasi magis – oleh sebuah film yang guliran penceritaannya didasarkan pada kisah klasik? Well, bila diperkenankan menentukan film animasi, maka jawabannya gampang saja... Frozen. Tapi memperbincangkan live-action, membutuhkan waktu cukup lama untuk memikirkannya sampai ingatan terhenti ke delapan tahun silam pada Enchanted. Dekonstruksi Disney terhadap sederet film keluarga klasik memang semakin lama terasa dipaksakan sampai membuat iktikad pada mereka sedikit meluntur, namun ini tidak berlaku pada Cinderella yang secara sukses meyakinkanku bahwa Disney belum sepenuhnya kehilangan sentuhan magisnya. Karena ya, tidak peduli seberapa sering mendengar cerita ini dikumandangkan, Cinderella versi Kenneth Branagh masih ampuh menjeratku dengan segala pesona yang dimilikinya. Menghidupkan kembali sisi anak kecil dari setiap penonton dewasa yang berjingkrak-jingkrak penuh kegembiraan dalam duduk antengnya karena segenap imajinasi pada dunia kisah yang didiami oleh sang putri dan pangeran impiannya dihamparkan dengan visualisasi yang sangat charming, luar biasa manis, dan melenakan mata oleh Branagh sampai menciptakan kita berkata, “it’s pure magic!”

Mungkin ini terlalu dini untuk mencetuskan prediksi (atau semacamnya), namun jelas sangat keterlaluan apabila Oscars tidak bersedia menunjukkan setidaknya nominasi bagi Cinderella untuk kategori desain produksi, efek khusus, dan kostum. Ketiga departemen ini memberi polesan tepat pada film yang membuktikan bahwa kemajuan teknologi memang seharusnya dirayakan. Lihatlah bagaimana kinerja tim-tim ini memberi gambaran menakjubkan pada keajaiban negeri dongeng; dari lanskap kerajaan yang membuai, transformasi labu beserta hewan-hewan mungil menjadi kereta kencana bersepuh emas dan pengawal Cinderella (begitu pula sebaliknya dalam sebuah adegan yang menciptakan jantungmu berpacu keras!), detil-detil ornamen yang menghiasi rumah Ella, alun-alun maupun istana, hingga paling penting... kostum dan sepatu kaca. It’s time for agree to disagree – atau mungkin menyebutku kelewat hiperbolis – tapi adegan pesta dansa akan membuat matamu terbelalak berkat parade busana-busana pesta mengagumkan utamanya gaun biru berkilau Cinderella yang aduhai cantiknya tiada tara. 

Tentu saja segala keindahan dan kemewahan ini akan berasa hampa tanpa tunjangan memadai dari sektor lakon maupun naratif. Lily James ialah pilihan bijaksana untuk membawakan tugas sebagai Cinderella. Paras eloknya yang sedikit banyak mengingatkan pada Kate Winslet muda berbanding lurus dengan kemampuan berlakonnya yang yah, simply stunning. Karakter Ella yang sekali ini sedikit lebih kompleks dibanding biasanya dihantarkannya secara menawan sehingga mudah bagi penonton untuk terpikat kepada sosoknya. Chemistry-nya bersama Richard Madden pun terajut indah pula meyakinkan yang membuat kita gemas penuh ketidaksabaran untuk melihat keduanya dipersatukan di pelaminan. Tapi bila dipaksa memilih jawaranya, hati ini tertambat pada performa luar biasa dari Cate Blanchett dan Helena Bonham Carter (berperan sebagai The Fairy Godmother). Meski hanya disediakan slot tampil terbatas, Helena Bonham Carter mampu mencuri perhatian sedemikian rupa dengan tugas komikalnya yang membawa keceriaan di tengah-tengah duka namun tetap memancarkan aura keibuan cukup besar lengan berkuasa. Sedangkan Cate Blanchett... ah, dia memberikan betapa piala Oscars memang layak digenggamnya. Dibalik segala keanggunan yang menyertai Lady Tremaine, tersimpan keangkuhan, kebengisan, dan (ini yang tak tampak di versi lain) kerapuhan. Blanchett seolah tidak perlu berusaha keras untuk terlihat masbodoh mengintimidasi di satu momen, namun tak berdaya membutuhkan belas kasih pada momen lain. 

Dan, Chris Weitz yang mengemban peran meracik ulang kisah ini mempertemukan elemen klasik dan modern secara tepat tanpa harus bertindak kurang bimbing dengan mengacak-acak komponen penceritaan orisinil (mirip yang dilakukan oleh, errr... Maleficent, misalnya). Sentuhan anyar yang dibubuhkan seperlunya saja disana sini malah cenderung memperkuat penceritaan ketika cinta yang tumbuh diantara Cinderella dan Prince Charming berasa lebih anggun karena mengulik soal unconditional love yang menyentil juga mengenai ijab kabul para pangeran atas dasar keterpaksaan... atau katakanlah, politik dan beberapa aksara utama memperoleh penggalian lebih mendalam khususnya sosok Cinderella yang sekali ini tidak lagi digambarkan sebagai one-dimensional character yang lemahnya tidak ketulungan melainkan lebih berwarna (dan kuat, tentunya) karena juga mempunyai kecerdasan serta keberanian diatas tingkah lakunya yang santun menuruti amanat dari sang ibunda – sekaligus menjadi pesan etika utama dari film – “have courage and be kind.” Berkat kecermatan Weitz dalam meramu naskah yang lantas berpadu andal bersama pengarahan berpengaruh Branagh, kejelian departemen teknis, serta kegemilangan para pelakon inilah yang menempatkan Cinderella di kasta terhormat diantara penyesuaian film klasik lain dari Disney (maupun studio-studio lain). Setidaknya, Cinderella masih mempunyai satu resep penting yang dihentikan tertinggal dan menjadi alasan utama mengapa versi animasi milik Disney mampu menyandang status klasik, unsur magis. Inilah yang akan membuatmu berkata, “yak, harus nonton lagi!”, hanya sesaat sehabis lampu bioskop dinyalakan. 

Note : Jangan terlambat memasuki gedung bioskop karena sebelum hidangan utama disajikan, kau akan memperoleh hidangan pembuka yang imut menggemaskan melalui Frozen Fever.

Outstanding

Post a Comment for "Review : Cinderella"