Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Blackhat


Jika hanya diperkenankan menyebut satu alasan yang mendasari ketertarikan untuk merasakan Blackhat, maka itu ialah Jakarta. Ada semacam kepenasaran melihat bagaimana ibukota negara ini akan dibingkai oleh film berbujet besar produksi studio raksasa Hollywood yang diarahkan oleh sutradara (dulunya) kelas A dengan gugusan pemain papan atas, setelah biasanya hanya berkesempatan unjuk diri di film joint venture kelas menengah ke bawah. Bukankah ini terdengar... wah? Belum lagi, di atas kertas, Blackhat mempunai tatanan penceritaan yang menjanjikan dengan mengedepankan ‘techno-thriller’ mengupas perburuan terhadap hacker kelas kakap yang membuat kekacauan di tingkat internasional. Dengan premis semacam ini, tidak heran kejar mengejarnya pun melintasi benua – dari Amerika ke Asia – dan menetapkan ekspektasi cukup tinggi bagi penonton. Walau hasil alhasil, yah... jauh dari bayangan. 

Blackhat memulai segalanya secara meyakinkan lewat visualisasi bagus menembus jaring-jaring internet yang seolah mengisyaratkan ini akan menjadi sebuah film penuh ketegangan yang cerdas. Lalu, seperti sekelumit plot yang telah terjabarkan sebelumnya, Mann membawa kita pada masalah peretasan komputer yang berdampak pada kacaunya pasar saham di Amerika Serikat karena nilai bahan baku bergerak tak stabil. Guna menindaklanjuti kasus peretasan ini, dua biro FBI, Carol (Viola Davis) dan rekan kerjanya – entah siapa namanya (Holt McCallany), bekerjasama dengan agen keamanan dari Tiongkok, Chen Dawai (Leehom Wang) dan Chen Lien (Wei Tang). Tidak ada yang salah sampai di sini. Nuansa ‘hacking movie’ masih tercium, sementara kepenasaran terhadap lantunan kisah juga masih hangat. Hingga Dawai meminta tunjangan mitra lamanya seorang hacker jenius yang tengah ditahan di penjara berjulukan Nick Hathaway (Chris Hemsworth) untuk menuntaskan perkara. Tepokan pun mendarat secara mulus... di jidat. 

Well, apabila berpatokan pada sederet artikel yang mampu kamu jumpai di dunia maya, sejatinya Blackhat memuat sederet istilah beserta cara-cara peretasan dengan tingkat akurasi yang sangat bisa dipertanggungjawabkan. Yang menjadi hambatan yakni bagaimana Mann dan Morgan Davis Foehl mewujudkannya ke dalam penceritaan yang sama sekali tidak menarik untuk diikuti. Setelah kemunculan Nick Hathaway, perlahan tapi niscaya tuturan pada film mulai kedodoran. Kebingungan menentukan arah dengan segudang tema – dari ekonomi, sosial, politik – yang pada kesannya digiring menuju: aksi kucing-kucingan generik selayaknya film kelas B. Segala hal akil soal dunia teknologi komputer yang mencuat di awal film mendadak meredup entah kemana, tergantikan oleh hal-hal menggelikan (salah satunya kebodohan distributor NSA yang begitu mudahnya terjerumus ke dalam perangkap Hathaway melalui trik peretasan kelas pemula. Duh!) yang semakin mendekati simpulan justru beranak pinak. 

Kekacauan masif di sektor naskah ini lantas merembet ke segala penjuru. Salah satu terkena dampaknya yakni departemen akting. Walau menempatkan Chris Hemsworth, Viola Davis, Leehom Wang, dan Wei Tang di garda depan, keempatnya nyaris tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan film... malah semakin memperburuk keadaan. Okay, Davis mungkin masih bermain cukup elok sebagai seorang biro FBI – meski seringkali terkesan berlebihan – namun Hemsworth hanya akan memanjakan mata para penggemar perempuan (lewat kebiasannya memamerkan dada bidangnya, tentu saja) alasannya penampilannya sebagai hacker ulang jauh dari kata meyakinkan. Malahan, sangat konyol. Sekeras apapun beliau mencoba, penonton kesulitan untuk dibuat percaya bahwa ia memiliki keahlian di bidang teknologi. Sementara perwakilan dari Tiongkok, Leehom Wang tersia-siakan begitu saja dan Wei Tang... she’s hot. Itu saja. 

Sebagai sebuah film dengan gelontoran dana sebesar $70 juta – dijual pula sebagai action-thriller – maka pengharapan memperoleh gelaran agresi bertensi tinggi di Blackhat tidak terkesan berlebihan. Wajar. Kenyataannya, Mann seolah menunjukkan harapan kosong dengan lebih menggeber sisi (maunya) ketegangan ketimbang baku tembak, baku hantam, kejar mengejar, atau sederet bentuk aksi yang mampu kamu jumpai di film semacam ini. Tidak ada duduk perkara sama sekali, jikalau berhasil, akan tetapi presentasi yang berlalu begitu datar malah memunculkan kejenuhan akut terlebih ini mendominasi film berdurasi melampaui 2 jam. Ketika apa yang diharap-harap datang – masih dibalut dengan ciri khas Mann yang bergantung pada editing dan tata kamera dinamis – ketertarikan telah menurun drastis. Ditambah lagi, gelaran aksinya pun kelas medioker yang tidak jauh berbeda dari Java Heat (dan sejumlah film agresi kelas B lainnya) terutama sehabis Hathaway menjejakkan kaki di Jakarta. Seolah belum cukup segala kebodohan yang terjadi sepanjang film, Mann menutup Blackhat lewat kekonyolan lain yang berlangsung di Lapangan Banteng dan menciptakan kita hanya mampu menggelengkan kepala melihat si pembuat film mengulangi kesalahan sama yang diperbuatnya pada Miami Vice. It's so damn boring and messy.

Poor

Post a Comment for "Review : Blackhat"