Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Zombieland Double Tap


“When you love something, you shoot it in the face. So it doesn't become a flesh eating monster.”

Apakah ada diantara kalian yang masih ingat dengan Zombieland? Itu lho, film ihwal jenazah hidup yang disajikan secara unik dan mendapatkan puja puji dari kritikus maupun penonton ketika dirilis di bioskop pada tahun 2009 silam. Ketimbang sebatas bernarasi ihwal sejumlah manusia yang mencoba bertahan hidup dari serangan zombie, film aba-aba Ruben Fleischer (Gangster Squad, Venom) tersebut mencoba menawarkan sejumlah modifikasi yang terdiri dari: 1) pijakan genrenya ialah komedi dimana film tak pernah menganggap dirinya serius, 2) ada aturan-hukum diberlakukan untuk bertahan hidup yang tak hanya diucapkan tetapi juga divisualisasikan secara nyentrik, 3) penggunaan nama kota di Amerika Serikat sebagai nama aksara untuk menghindari ketergantungan, dan 4) film menyelipkan kehangatan ke dalam narasi menyusul adanya topik pembicaraan seputar “insan adalah makhluk sosial”. Hasilnya, kita mendapati salah satu tontonan zombie terbaik yang pernah dibuat. Lebih-lebih, Zombieland juga dianugerahi chemistry jago dari keempat pelakon utamanya seperti Woody Harrelson, Jesse Eisenberg, Emma Stone, serta Abigail Breslin yang belakangan semuanya menyandang predikat “pemain kelas Oscar”. Sungguh impresif, bukan? Saking impresifnya, ada beban tersendiri bagi tim pembuat film tatkala mencetuskan gagasan untuk menciptakan sebuah sekuel. Mereka membutuhkan waktu selama bertahun-tahun untuk menggodok naskah, sampai risikonya film kelanjutan bertajuk Zombieland Double Tap gres siap diluncurkan pada perayaan ulang tahun ke-10 dari film pertama yang untungnya masih dimeriahkan oleh jajaran pemain yang sama.

Ya, Zombieland Double Tap masih mengandalkan empat huruf yang sama dengan sang predesesor untuk menggerakkan roda penceritaan mirip Tallahassee (Woody Harrelson), Columbus (Jesse Eisenberg), Wichita (Emma Stone), serta Little Rock (Abigail Breslin). Kini, berselang sepuluh tahun semenjak insiden di penghujung film pertama, keempat protagonis kita ini dikisahkan telah lihai dalam membasmi zombie dan mereka telah menemukan sebuah kawasan tinggal yang aman nan nyaman: Gedung Putih. Disamping itu, kita juga memperoleh info bahwa kekerabatan diantara Columbus dengan Wichita sudah berkembang semakin serius, sementara hubungan Tallahassee dengan Little Rock tak ubahnya ayah bersama putri kandungnya sendiri. Mudahnya, mereka telah membentuk sebuah keluarga kecil senang mirip harapan mereka selama ini. Jadi, apa lagi yang kurang? Ternyata oh ternyata, berada di zona nyaman selama bertahun-tahun membuat keempatnya mengalami kejenuhan sehingga tak pelak konflik pun menjangkiti. Little Rock yang mendamba korelasi dengan lelaki sebaya menetapkan untuk kabur, sedangkan Wichita yang belum siap menjalin kesepakatan memilih untuk meninggalkan Columbus. Ditinggalkan oleh dua perempuan penting dalam hidup mereka, Tallahassee dan Columbus pun dirundung sepi. Mereka mencoba bertahan hidup dalam kesunyian hingga Madison (Zoey Deutch) yang penuh keceriaan mendadak hadir ditengah-tengah mereka dan Wichita memutuskan kembali ke Gedung Putih selepas “dicampakkan” Little Rock. Bersama-sama, empat manusia ini lantas nekat turun ke jalanan yang dipenuhi zombie ganas guna menemukan keberadaan Little Rock yang konon pergi bersama seorang hippie tanpa senjata, Berkeley (Avan Jogia).


Ditinjau dari segi narasi, bekerjsama tidak ada pembaharuan berarti yang ditawarkan oleh Zombieland Double Tap. Guliran pengisahannya mampu dibilang senada dengan sang pendahulu dimana kali ini topik pembicaraannya berkisar pada “menemukan rumah sebetulnya bersama keluarga sesungguhnya.” Mengingat bahwa film terjebak dalam status development hell selama beberapa tahun, maka tentu sedikit mengecewakan begitu mendapati narasinya yang seolah sebatas menduplikasi film pertama. Pun begitu, saya mampu memahami keputusan yang diambil oleh si pembuat film sebab mengubah ramuan yang telah terbukti manjur ialah tindakan yang beresiko. Para penggemar mungkin akan mengeluh, para penggemar mungkin akan mengajukan boikot. Demi memberi pembeda sehingga tak terkesan terlampau malas, Zombieland Double Tap pun meningkatkan cakupan skala mirip umumnya dilakukan oleh sekuel dimana kali ini penonton mampu menjumpai lebih banyak zombie ganas (beberapa jenisnya meliputi Hawking, Ninja, dan T-800), memperkuat elemen komedik beserta laga, dan memperbanyak jumlah abjad yang berkontribusi terhadap pergerakan kisah. Selain Madison dan Berkeley, film juga memiliki Nevada (Rosario Dawson) yang mencuri hati Tallahassee beserta duo Albuquerque (Luke Wilson) dan Flagstaff (Thomas Middleditch) yang mempunyai kemiripan karakteristik dengan dua protagonis kita. Imbas yang kemudian mampu diraskan dari penggandaan skala ini ialah Zombieland Double Tap terasa lebih meriah. Dentuman demi dentuman mampu ditemui dengan mudah, gelak-gelak tawa juga semakin sering terdengar. Adanya kandungan hiburan yang pekat, membuat diri ini bersedia untuk bersikap agak permisif terhadap jalinan pengisahan yang sekali ini tergolong kurang greget.

Disamping faktor pengulangan yang menjadikan beberapa keunikan dari seri pertama tak lagi nampol (terutama soal peraturan, “Zombie kill of the year” sebagai gimmick tetap lucu), persoalan yang mendera para huruf tak benar-benar tergali. Mereka pergi begitu saja, mereka juga kembali begitu saja sehingga meniadakan stakes yang memadai dalam narasi yang menciptakan penonton terikat. Beruntung, rentetan humor yang dilontarkan di film ini hampir seluruhnya berjalan dengan baik, dengan sorotan khusus pada celotehan untuk menciptakan jasa semacam Uber yang sangat jenius, dan beruntung juga, chemistry diantara para pemain tidak pernah padam. Meski terpisah selama satu dekade, interaksi yang timbul  dari Harrelson, Eisenberg, Breslin, serta Stone masih saja menggigit yang membuktikan bahwa mereka memang layak menyandang predikat “aktor Oscar”. Ada setitik kehangatan dari interaksi Harrelson-Breslin, ada sejumput rasa bagus dari interaksi Eisenberg-Stone, dan ada banyak kelucuan dari interaksi si pendatang baru Deutch dengan para bintang utama. Stone dengan komentar-komentar sarkasnya memang acapkali menciptakan aku terbahak-bahak, tapi mesti diakui, bintang bahu-membahu dari Zombieland Double Tap ialah Zoey Deutch yang menebarkan keceriaan hingga titik maksimal. Karakter Madison yang berpotensi menjadi sangat menyebalkan mengingat penggambarannya yang kelewat generik (gadis pirang yang terbelakang, anyone?), bisa dibawakan dengan penuh energi dan comic timing yang jarang sekali meleset oleh Deutch. Dari semula hanya menertawakan tingkah polah konyol Madison, kita lambat laun akan dibentuk jatuh hati kepadanya sampai-sampai ada kerinduan menyergap tatkala sosoknya bolos dari layar. Kita merindukan keceriaannya, kita merindukan semangatnya, dan kita tentu saja merindukan celotehannya yang abnormal.


Note : Ada dua hukum yang sebaiknya kau penuhi saat menonton Zombieland Double Tap: 1) Jangan datang terlambat alasannya adalah film dibuka secara unik, dan 2) jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena film mempunyai dua bonus adegan di sela-sela serta penghujung end credit.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Zombieland Double Tap"