Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Love For Sale 2


(ulasan mengandung spoiler, jadi berhati-hatilah di dua paragraf akhir)

“Belum pernah saya lihat mamakmu sebahagia seperti sekarang ini. Auranya… bersinar!”

Bagi sebagian orang, Arini (Della Dartyan) adalah salah satu huruf fiktif paling keji dalam sinema dunia yang semestinya dilaknat. Alasannya, sebab beliau mendadak pergi tanpa pamit dan meninggalkan seorang laki-laki yang menaruh rasa teramat dalam kepadanya di saat sang pria sedang sayang-sayangnya. Tindakan Arini ini terperinci tidak mampu dibenarkan oleh kemanusiaan. Terlebih lagi, pria tersebut juga telah terlampau usang tak memperoleh belaian penuh cinta kasih dari seorang wanita. Jika lalu ada yang mengantagonisasi Arini atas tindakannya kepada bujang lapuk kesepian bernama Richard (Gading Marten), tentu mampu dipahami. Walau sejatinya pernyataan “Arini adalah villain” mampu dipatahkan seketika apabila penonton bersedia untuk mengilas balik ke awal perjumpaan dua huruf utama dalam Love for Sale (2018) ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi, Arini hanyalah pegawai di Love Inc. – perusahaan penyedia pasangan sewaan yang konsepnya ibarat Family Romance di Jepang – yang kebetulan mendapat penugasan untuk mendampingi Richard. Dia mempunyai kontrak yang harus dipatuhi, dia juga memiliki perasaan yang mesti dibatasi. Hubungannya dengan klien bersifat profesional, tidak pernah lebih. Apabila percikan asmara lantas menghinggapi klien, bukankah kesalahan ada di pihak klien karena telah mendobrak batasan? Melalui Love for Sale 2, Andibachtiar Yusuf (Hari Ini Pasti Menang, Romeo Juliet) yang masih menduduki bangku penyutradaraan berupaya untuk “memperbaiki citra” Arini yang kadung tercoreng ini. Dalam narasi yang diekspansi lebih luas lagi demi menuruti hukum tak tertulis untuk sekuel, ada sepenggal narasi yang akan mendorong penonton untuk memahami motivasi bahwasanya dari “sang villain”.

Kali ini, Arini mengenalkan dirinya sebagai Arini Chaniago. Seorang perempuan berdarah adonan Minang-Bugis yang tengah mencari kos di rumah keluarga Tauhid Sikumbang karena akan mengikuti training dari suatu perusahaan di Jakarta. Dalam sesi perkenalan singkatnya, Arini turut mengaku pernah menjalin kekerabatan asmara secara singkat dengan Indra Tauhid Sikumbang alias Ican (Adipati Dolken) semasa menimba ilmu di Bandung. Ican sendiri adalah pelanggan dari Love Inc yang memakai jasa perusahaan tersebut untuk menemukan sesosok wanita yang mampu diperkenalkannya kepada sang ibu, Rosmaida (Ratna Riantiarno), yang terus menerornya dengan pertanyaan “kapan kamu mau menikah?.” Dalam pandangan Bu Ros yang masih menjunjung tinggi budbahasa Minang, Ican yang telah berusia 32 tahun dan mempunyai pekerjaan tetap semestinya sudah membina rumah tangga. Apalagi putra sulung sekaligus bungsunya, Ndoy (Ariyo Wahab) dan Buncun (Bastian Steel), sudah pula dikaruniai momongan sekalipun keduanya masih sering berkonflik dengan Bu Ros lantaran cara mereka menjalani hidup tidak sesuai dengan keinginan sang ibu. Di saat Bu Ros berpesan ingin melihat Ican menikah sebelum dirinya menghadap ke Yang Maha Satu, Ican yang teramat sumpek pun menetapkan untuk mengontak aplikasi Love Inc yang lantas mengirimkan Arini. Kehadiran Arini dengan pembawaannya yang santun jelas seketika menarik perhatian Bu Ros yang memang mendamba menantu berdarah Minang yang berakal memasak dan rajin beribadah. Menyadari bahwa dia mempunyai peluang besar untuk menerima menantu idaman, hati Bu Ros yang tadinya senantiasa gelisah perlahan tapi pasti bermetamorfosis bungah. Tak ada lagi kebencian, tak ada lagi omelan berkepanjangan, dan hanya ada kepedulian yang dia tebar kepada keluarganya.


Bagi mereka yang telah menyaksikan jilid pertama, tentu ada satu pertanyaan yang menggelayuti diri tatkala mengetahui Love for Sale berlanjut ke babak kedua: bagaimana kelanjutan dongeng pencarian Arini yang ditempuh oleh Richard? Menjumpai titik terang kah, atau justru dihadapkan pada jalan buntu? Ketimbang memberi tanggapan atas keingintahuan penonton dengan mendedahnya ke dalam bentuk narasi, Andibachtiar Yusuf bersama M Irfan Ramli selaku penulis skenario justru mengkreasi satu jalinan pengisahan gres dengan problem lebih kompleks dimana salah satu misinya ialah membawa penonton kepada pemahaman bahwa Arini bukanlah aksara bengis yang sepatutnya dilaknat. Dia tidak menyerupai aksara Summer dari 500 Days of Summer (yang bahwasanya juga tidak keji), beliau malah lebih mendekati karakter Mary Poppins yang berniat membagikan kebahagiaan kepada orang-orang yang membutuhkan. Orang-orang yang membutuhkan belaian kasih sayang. Sungguh mulia, bukan? Love for Sale 2 memang memberi kita sedikit pandangan terhadap abjad Arini meski pada karenanya tak ada penggalian lebih mendalam guna menjaga sisi misterius dari sosoknya, dan ketiadaan waktu untuk menjabarkannya secara menyeluruh. Saya langsung tidak mengeluhkan mengenai hal ini sebab “misterius” yakni kata kunci yang menciptakan film pertama mampu bekerja dengan baik, disamping persoalan yang relate ke banyak orang. Kita sama sekali tidak mengenal Arini, kita tidak benar-benar mengetahui tentang Love Inc yang ada kalanya mencurigakan, dan kita justru menaruh ketertarikan karena itu. Dalam instalmen kedua ini, sisi misterius tersebut agak tereduksi karena billboard halte yang mengindikasikan bahwa Love Inc yakni aplikasi komersil yang menyasar khalayak ramai. Bukan hanya mampu terdeteksi oleh orang-orang tertentu yang membutuhkan jasanya.


Dibandingkan jilid pertama (sulit untuk tak mengomparasi alasannya adalah ada perhiasan “2” pada judul) yang sanggup menguarkan kesan “misterius nan magis”, Love for Sale 2 cenderung kurang menggigit. Memang betul senyuman Arini yang semakin lebar di sini akan meluluhkan hati banyak penonton dan duduk perkara yang berkisar pada “orang tua banyaomong yang gemar merongrong anak-anaknya dengan ijab kabul” akan teresonansi ke banyak penonton. Hanya saja, film mengajukan terlalu banyak konflik beserta aksara yang menciptakan narasi kesulitan dalam menempatkan fokusnya. Keberadaan Arini beserta Love Inc cenderung terpinggirkan, Ican hanya memiliki peranan krusial di menit-menit pertama yang lalu kian kabur seiring berjalannya durasi, abjad pendukung di sekeliling nyaris tak berkontribusi pada pergerakan dongeng (pola: Iskandar yang diperankan oleh Egi Fedly), dan film bahwasanya berceloteh mengenai Bu Ros yang tidak mampu menerima keluarganya secara apa adanya. Ada ekspektasi-ekspektasi tinggi yang dibebankan kepada putra-putranya, tanpa pernah sekalipun memberi kesempatan untuk membuka obrolan lintas generasi dengan satu pertanyaan awal, “apa yang sebenarnya kau inginkan dalam hidup?.” Walau abjad Bu Ros ini sejatinya menggelitik, film tak menyediakan cukup banyak momen personal antara dirinya dengan anak-anaknya dimana pesan mengenai “komunikasi dan pengertian dalam lingkup keluarga” dapat berbicara sangat lantang. Alhasil, abjad ini menjadi sosok mengesalkan satu dimensi yang sulit diberi tenggang rasa. Saat film menapaki paruh simpulan, perubahan mendadak menghinggapi para karakter tanpa titik balik yang meyakinkan: Bu Ros datang-tiba bersedia menerima keadaan, sementara Ican yang tadinya tak peduli pada urusan hati datang-datang menaruh rasa pada Arini. Dua aksara ini, khususnya Bu Ros yang tampak sangat mencintai Upiak Arini, juga tak terlihat terpukul begitu kala kontrak Upiak berakhir dan beliau menghilang tanpa kabar. Saya lebih merasakan sakitnya Richard, daripada keluarga ini yang menanggapinya secara tulus.

Tapi memang, Love for Sale 2 mampu dibilang minim chemistry. Ikatan kimia dalam keluarga Tauhid Sikumbang hanya muncul kurang jelas, begitu pula dengan Arini-Ican yang tak pernah menciptakan saya yakin bahwa ada rasa yang benar-benar timbul diantara mereka. Para pemain ini lebih unggul dikala bangun sendiri-sendiri daripada bersama-sama, meski penggunaan Bahasa Minang dari Ratna Riantiarno terdengar janggal di indera pendengaran. Apakah alasannya dia yaitu orang Manado? Bisa jadi. Yang terperinci, saya yang menggemari film pertama mengalami kekecewaan periode mendapati ada setumpuk elemen yang urung bekerja secara semestinya di Love for Sale 2. Apalagi film telah menunjukkan pengharapan tinggi dengan premisnya yang seolah menjanjikan akan memberi kehangatan, film telah memberi pengharapan tinggi dari tampilan visualnya yang elegan, dan film juga memberi pengharapan tinggi lewat adegan sangat keren di Baralek pada opening scene yang dibawakan secara long take. Agaknya, harapan untuk memperumit narasi dengan menjejalkan banyak konflik (termasuk menyelipkan budaya Minang yang belakangan tak menambah apa-apa pada penceritaan) justru berakhir blunder alih-alih menciptakan film terasa semakin sedap untuk dikudap. Sayang sekali. 
  

Note : Ada adegan tambahan di sela-sela end credit. Jangan buru-buru beranjak ya.

Acceptable (3/5) 

Post a Comment for "Review : Love For Sale 2"