Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Doctor Sleep


“When I was a kid, there was a place, a dark place. They closed it down, and let it rot. But the things that live there, they come back.”

Sebagai seseorang yang menggemari genre horor, aku sangat menyukai The Shining (1980). Bagi aku, film garapan Stanley Kubrick tersebut terhitung layak untuk bangun tegak pada posisi puncak dalam daftar “film horor paling seram yang pernah dibentuk sepanjang periode”. Memang betul Stephen King sebagai pereka versi novelnya mengaku kurang sreg dengan interpretasi Kubrick. Alasannya, sang sutradara terlampau banyak melaksanakan improvisasi sehingga menciptakan versi layar lebarnya lebih layak disebut “terinspirasi” ketimbang “penyesuaian” dari buku milik King. Akan tetapi, jikalau kita bersedia meniadakan komparasi dan semata-mata memandangnya sebagai sajian angker, The Shining berhasil. Secara perlahan tapi niscaya, film akan “menelanmu” hidup-hidup melalui kombinasi narasi, akting, serta trik menakut-nakuti yang ciamik. Ada banyak adegan ikonik di sini (seperti bocah kembar, banjir darah, hingga “here’s Johnny!”) yang masih membekas sampai kini, dan sempat pula beberapa kali bergentayangan dalam mimpi sesaat sesudah menontonnya. Hiii… Menilik legacy cukup mahir yang ditinggalkan olehnya, saya jelas sempat dirundung keraguan begitu mendengar adanya wacana sekuel berdasar novel kelanjutan bertajuk Doctor Sleep yang masih ditulis oleh King dan dirilis pada tahun 2013 silam. Yang lalu menciptakan saya optimis ialah faktor sutradara. Sebagai pengganti Kubrick, pihak Warner Bros memercayakan ekranisasi novel ini untuk ditangani oleh Mike Flanagan. Seorang sutradara dengan jejak rekam gilang gemilang yang filmografinya meliputi serial seram bertajuk The Haunting of Hill House (2018) dan beberapa film horor kece semacam Oculus (2013), Hush (2016), serta Gerald’s Game (2017) yang juga disadur dari prosa gubahan King. Terdengar menjanjikan, bukan?

Guliran penceritaan Doctor Sleep sendiri dimulai pada tahun 1980 selepas insiden di Hotel Overlook yang menewaskan Jack Torrance. Guna melanjutkan hidup, istri Jack, Wendy (Alex Essoe), pun menetapkan untuk pindah ke Florida bersama putra semata wayangnya, Danny (Roger Dale Floyd). Tanpa sepengetahuan Wendy, Danny mengalami trauma atas rentetan insiden yang terjadi di Hotel Overlook. Kemampuan supranatural (disebut sebagai “shining”) yang dipunyainya memungkinkan dia untuk senantiasa dikunjungi oleh lelembut keji dari hotel tersebut. Satu-satunya penolong bagi sang bocah yakni arwah dari Dick Hallorann (Carl Lumbly) yang mengajarinya dalam menunjukkan perlawanan ketika si hantu tiba meneror. Mengetahui cara bertahan dari serangan dan memiliki mentor seperti Dick nyatanya tak menjamin Danny (saat akil balig cukup akal diperankan oleh Ewan McGregor) dapat hidup hening sentosa. Protagonis kita yang lantas memilih untuk dipanggil Dan ini rupanya mengalami trauma berkepanjangan yang menjerumuskannya ke alkohol yang dimanfaatkannya untuk menekan shining. Hidup penuh ketidakpastian selama bertahun-tahun sebagai alkoholik, Dan kesudahannya nekat mengambil satu tindakan dengan berpindah ke suatu kota kecil dimana dia mencoba untuk sembuh. Perkenalannya dengan Billy (Cliff Curtis) yang mengajaknya mengikuti Alcohol Anonymous – organisasi mantan pecandu alkohol – menciptakan hidupnya berangsur-angsur berubah. Saat Dan mengira ini yaitu jalan yang dibutuhkannya untuk berdamai dengan stress berat, takdir justru mempertemukannya dengan gadis berusia 13 tahun yang juga dikaruniai shining, Abra (Kyliegh Curran). Kepada Dan, Abra meminta tunjangan untuk diselamatkan dari incaran Rose the Hat (Rebecca Ferguson) beserta kelompoknya yang memburu orang-orang dengan kemampuan khusus ini guna “disantap” hidup-hidup.


Selaiknya sang predesesor, Doctor Sleep pun tak bergegas dalam mengutarakan narasinya. Usai adegan pembuka menghentak yang menghadapkan Danny cilik pada musuh besarnya dan True Knot – kelompok bentukan Rosie – memanipulasi seorang bocah polos, film menurunkan intensitasnya. Tujuan Flanagan yaitu mengajak penonton berkenalan secara intim dengan jajaran huruf utamanya yang terbagi ke dalam tiga poros: 1) Dan yang berupaya untuk menaklukkan sisi gelapnya dengan bergabung bersama satu komunitas dan memulai hidup baru di satu kota kecil, 2) Abra yang pencarian jati dirinya menghadapkan ia pada marabahaya, dan 3) Rosie yang berusaha untuk melacak keberadaan Abra yang dinilainya memiliki kekuatan diatas rata-rata. Selama kurang lebih 30 menit, narasi berpindah-pindah dari satu titik ke titik lain yang sempat menciptakan diri ini terusik sehingga melontarkan satu tanya, “selain Dan, siapa bahu-membahu karakter-huruf ini? Adakah urgensinya pada penceritaan?”. Mesti diakui, babak introduksi yang diterapkannya memang cukup menguji kesabaran. Jika kemudian ada penonton yang melontarkan keluhan lantaran jenuh atau mengantuk, aku sama sekali tidak heran. Tapi selepas menit-menit pelan yang ditujukan untuk memberi kita pemahaman mengenai latar belakang para aksara (dalam tempo yang agak terlalu panjang), Doctor Sleep secara perlahan mulai menunjukkan taringnya terhitung sedari berlangsungnya satu adegan pembunuhan yang benar-benar mengusik kenyamanan. True Knot menghabisi satu bocah dengan kemampuan shining (Jacob Tremblay) yang jejaknya tanpa sengaja terendus oleh Abra. Pada titik ini, aku mulai memahami keterkaitan dari tiga dongeng yang tadinya terkesan bangun secara acak dan tidak memiliki hubungan antar satu dengan yang lain.

Pertautan tiga poros narasi ini dibarengi dengan daya cekam yang turut mengalami eskalasi. Berbeda dengan pendekatan Kubrick yang cukup sering mendayagunakan jumpscares untuk memantik ketakutan ditengah-tengah suasana serba sunyi, Flanagan mengarahkan Doctor Sleep cenderung ke ranah tabrak kolam tontonan superhero dimana aksi kerap dijumpai. Tidak sampai eksplosif berdentum-dentum, tentu saja, tapi kita bisa melihat adanya pertarungan tabrak kekuatan antara dua-tiga abjad dengan tampilan visual cukup imajinatif dan membangkitkan gairah. Satu momen paling membekas dalam film adalah saat Rosie lantas memanfaatkan kelebihannya untuk “menyambangi” lokasi Abra tanpa pernah menyadari bahwa si bocah telah menyiapkan perangkap. Saya terkesan pada penggambaran perjalanan yang dilalui oleh Rosie, saya bersemangat dalam menanti duel dua abjad ini, dan aku juga merasa ngeri masa melihat apa yang mampu diperbuat oleh Abra. Ngeri? Ya, meski Flanagan membawa Doctor Sleep ke arah yang lebih gegap gempita, elemen horor sama sekali tidak memudar di sini. Kengerian yang dihembuskan oleh film bersumber dari atmosfer bernada muram, tindakan True Knot dalam menyedot “uap” dari para pemilik shining yang didahului dengan siksaan keji, sederet rujukan ke film pertama (tonton The Shining dulu untuk mampu mendapatkan ikatan emosinya), serta sosok Rosie the Hat yang tidak segan-segan untuk berbuat apapun guna memenuhi ambisinya. Dimainkan dengan sangat cemerlang oleh Rebecca Ferguson, kehadiran Rosie senantiasa membawa diri ini pada rasa tidak nyaman dan kecurigaan. Ada jiwa bengis dibalik rupa elok dan ramah yang ditunjukkannya ke publik. Dia memang sempat kewalahan dalam menghalau kekuatan Abra, tapi bukankah itu malah menjadikannya sebagai villain yang semakin sulit diterka? Siapa tahu apa yang dipersiapkannya untuk membalas dendam.


Disamping Ferguson, Doctor Sleep turut berjaya berkat sokongan akting apik dari Ewan McGregor dan pendatang baru Kyliegh Curran. Karakter Dan dilakonkan secara simpatik oleh McGregor yang merangkul penonton untuk menemani perjalanan spiritualnya dalam menemukan kedamaian diri dan closure atas problematika hidupnya. Chemistry yang dibentuknya bersama Curran pun memunculkan kesan meyakinkan lebih dari sekadar korelasi mentor bersama anak didiknya. Terdeteksi pula, korelasi dua manusia terbuang yang saling memahami satu sama lain. Tanpa disanding McGregor, Curran juga tampil berpengaruh sebagai Abra yang ternyata tidak digambarkan sebatas “korban lemah tanpa daya”. Ada perlawanan, ada tekad bulat, dan pada akibatnya ada penerimaan yang membawa kita pada sebuah konklusi menghangatkan hati.
  
Outstanding (4/5)

Post a Comment for "Review : Doctor Sleep"