Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Us


“They look exactly like us. They think like us. They know where we are. We need to move and keep moving. They won’t stop until they kill us… or we kill them.”

Dikenal sebagai seorang komedian, siapa yang menyangka kalau Jordan Peele ternyata amat lihai dalam meramu sajian horor yang sanggup membuat para penontonnya merasa tidak nyaman? Dalam debut penyutradaraannya, Get Out (2017), yang menghantarkannya meraih piala Oscars untuk kategori Naskah Asli Terbaik, Peele memang tidak menggedor jantung penonton dengan penampakan-penampakan memedi maupun gelaran adegan sadis. Dia memperlihatkan mimpi jelek melalui “rumah calon mertua yang penuh belakang layar” dimana white supremacy ternyata masih dijunjung tinggi dibalik penampilan luar serba toleran dan terbuka. Bagi masyarakat Amerika Serikat yang tengah dirundung dilema rasisme – dan sejatinya ini terjadi pula ke banyak sekali bagian dunia – apa yang disampaikan oleh Peele di sini terasa relevan. Mewakili keresahan publik terhadap situasi sosial politik yang semakin gonjang-ganjing khususnya bagi masyarakat dari kalangan minoritas. Alih-alih terdengar banyaomong, komentar si pembuat film justru terasa efektif berkat kecakapannya dalam bercerita dimana berita yang mendasari keresahannya lantas diwujudkan sebagai sumber teror. Entah bagi kamu, tapi bagi aku, insan memang tampak lebih mengerikan ketimbang makhluk-makhluk supranatural semacam hantu karena ada bahaya kasatmata yang ditunjukkan terlebih saat mereka dibutakan oleh nafsu berbalut kebencian. Bukankah terdengar mengerikan dikala manusia rela menghalalkan segala cara hanya demi memenuhi kepuasan eksklusif? Peele menyadari betul hal itu sehingga ia pun kembali memanfaatkan sisi gelap insan sebagai “sang peneror” dalam film terbarunya, Us, yang ternyata oh ternyata… terasa lebih mencekam dibanding film perdananya!

Seperti halnya Get Out, abjad utama yang menggerakkan roda penceritaan dalam Us pun berasal dari satu keluarga kelas menengah. Yang kemudian membedakannya ialah personil keluarga yang menjadi sentral dongeng di sini kesemuanya berkulit hitam serta tidak mempunyai duduk perkara dengan white supremacy maupun rasisme. Mereka tampak bahagia, mereka pun tampak normal. Bahkan mereka mempunyai sebuah villa di erat pantai yang dapat dimanfaatkan untuk berlibur dan melepas penat. Kaprikornus, apa yang mungkin salah kali ini? Well, (lagi-lagi) seperti halnya Get Out dan tentu saja realita dalam kehidupan ini, tidak ada insan yang sempurna. Seseorang yang terlihat bahagia seolah tidak mempunyai beban hidup pun dapat menyimpan sebuah diam-diam kelam yang tidak pernah terbayangkan oleh siapapun. Dalam konteks Us, diam-diam tersebut dipendam oleh Adelaide Wilson (Lupita Nyong’o) yang rupanya memiliki pengalaman traumatis semasa kecil dikala bertandang ke taman hiburan di akrab pantai. Dia bertemu dengan doppelganger atau seseorang yang memiliki kemiripan wajah dengannya sampai-sampai Adelaide tak mampu berbicara selama beberapa dikala. Saking eratnya Adelaide menyimpan rahasia ini, tak seorang pun yang mengetahuinya termasuk sang suami, Gabriel (Winston Duke – rekan main Nyong’o dalam Black Panther), dan kedua anaknya, Zora (Shahadi Wright Joseph) beserta Jason (Evan Alex). Rahasia yang telah dipendam oleh Adelaide selama tiga dekade lamanya ini perlahan mulai tersingkap ketika keluarga Wilson menerima kunjungan tak terduga di villa pada malam ini. Kunjungan tak terduga yang jauh dari kata erat dari satu keluarga yang seluruh personilnya memiliki kemiripan fisik dengan Adelaide, Gabriel, Zora, maupun Jason. Hiii… ngeri!


Berbeda dengan Get Out yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memanas, Us telah menebar kengerian sedari prolog. Bukan tipe kengerian bertabur jump scares dimana penonton dibentuk terkaget-kaget oleh kemunculan suatu entitas dengan iringan musik yang telah diatur untuk senantiasa berada dalam volume tertinggi, melainkan tipe kengerian yang membuat hati merasa was-was. Penonton dikondisikan untuk mencicipi ada sesuatu yang salah di sekitar Adelaide cilik ketika ia berkunjung ke taman bermain bersama kedua orang tuanya. Apa itu dan darimana asalnya? Hanya Tuhan dan tim pembuat film yang mengetahui. Yang jelas, kenyamanan saya sudah terusik sedemikian rupa sehingga tak lagi bisa duduk dengan tenang di bangku bioskop. Saya hanya bisa menanti dengan cemas seraya bertanya-tanya: apa yang akan menimpa Adelaide di menit berikutnya? Sesuai dengan prediksi, kemalangan tersebut memang pada alhasil menghampiri si gadis cilik. Melalui adegan pembuka ini, aku menjumpai rasa ingin tau lain untuk menemukan relevansinya dengan narasi utama. Sebelum kita mendapati jawabannya, penonton diperkenalkan terlebih dahulu kepada keempat karakter utama yang konfigurasinya terdiri dari Adelaide yang tampak menyimpan banyak kecemasan, Gabriel yang selow abis mengikuti fungsi karakternya sebagai comic relief, Zora yang cenderung acuh tak acuh terhadap kondisi sekitar, serta Jason yang sedikit nyentrik. Peele mengupayakan supaya kita membentuk ikatan dengan mereka sehingga dikala teror berwujud home invasion secara resmi dimulai, kita pun menaruh kepedulian atas nasib keempatnya. Kita berharap banyak semoga mereka dapat terlepas dari peristiwa ini.

Setelah “para kembaran” mulai memasuki arena penceritaan, Us yang tadinya sempat mengalun kalem pun tak lagi memperkenankan para penontonnya untuk menghela nafas lega. Adegan kucing-kucingan antara keluarga Wilson dengan kembaran mereka yang mendominasi sebagian besar durasi mampu dihantarkan dengan sangat mencekam oleh Peele berkat ketelatenannya dalam meramu banyak sekali macam bahan baku. Bahan baku yang dimanfaatkan oleh si pembuat film antara lain: 1) pemilihan gambar yang menguarkan nuansa yang bikin bulu kuduk meremang, 2) penyuntingan yang rapat, 3) iringan musik menghantui bernafaskan orkestra yang dibawakan oleh paduan bunyi, 4) jalinan penceritaan yang sarat komentar sosial, serta 5) performa para pelakon yang mendefinisikan kata “sinting”. Ya, materi baku ini memang kurang lebih senada dengan Get Out. Hanya saja, Peele memilih untuk menggeber teror yang tertampang kasatmata sedari mula dalam wujud “kembaran jahat” yang mengenakan pakaian susukan berwarna merah dan membawa gunting tajam alih-alih menyembunyikannya. Melalui mereka, penonton seolah diminta membayangkan, “bagaimana jikalau kau ternyata mempunyai saudara kembar yang sangat keji dan tidak segan-segan menghabisimu?”. Melalui mereka pula, penonton diajak berkontemplasi mengenai sisi kelam insan yang merupakan pesan utama dari Us. Kita acapkali mempunyai ketakutan terhadap orang lain yang berbeda dari segi warna kulit, agama, ras, strata sosial, hingga cara berpikir sampai-sampai muncul prasangka bahwa mereka ialah ancaman. Mereka ialah musuh terbesar umat manusia yang harus diperangi atau minimal, dikucilkan. Tapi bagaimana jika ternyata selama ini musuh terbesar yang harus diperangi yaitu diri kita sendiri? Bagaimana bila ternyata kita mempunyai aliran-ajaran kejam dan ‘menyimpang’ yang tak pernah sekalipun kita sadari? Bagaimana jikalau ternyata kita bukanlah “orang baik” seperti yang kita bayangkan?


Komentar menggelitik anutan mengenai “musuh terbesar manusia yang bekerjsama” ini berpadu pula dengan komentar lain bernada sosial politik terkait opresi terhadap kaum minoritas serta privilege yang dipunyai masyarakat kelas menengah. Tak sekalipun terkesan menceramahi, komentar ini justru menawarkan daya tarik tersendiri bagi Us lantaran menyodori bahan bagi penonton untuk berdiskusi selepas menonton termasuk membedah simbol-simbol yang ditebar sepanjang durasi (acuan: apa makna Jeremiah 11:11? Hands Across America?) dan mempelajari abjad Adelaide beserta sang doppelganger yang disebut Red. Jika sederet orbolan ini terdengar berat untuk dicerna – terlebih jikalau kau hanya ingin memperoleh hiburan – tak perlu risau karena Peele masih akan memanjakanmu dengan rentetan teror yang bikin jantung berdegup kencang. Ada momen-momen sunyi yang menggelisahkan, ada adegan pertikaian berhiaskan muncratan darah, ada elemen sabung di saat para abjad inti berusaha melarikan diri dari “sang kembaran”, dan paling penting, ada Lupita Nyong’o yang penampilan hebatnya akan memberimu mimpi jelek. Dia terlihat amat tangguh sekaligus rapuh dikala melakonkan Adelaide yang dihantui oleh trauma kala lalu, sementara dikala menghidupkan huruf Red… well, tatapan matanya pun sudah bikin terkencing-kencing. Adegan ketika Red mengajak keluarga Wilson berdialog di depan perapian ruang tunggu merupakan salah satu momen emas yang dipunyai Us. Tengok air mukanya, amati gesturnya, dan dengarkan suara paraunya, maka kau pun tak ingin berbuat macam-macam dengannya alasannya adalah sudah jelas Red yaitu salah satu villain paling mengesankan dalam sejarah sinema horor.

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Us"