Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Thappad


“Sometimes, doing the right thing doesn't always end in happiness.”

Tahun lalu, perfilman Korea Selatan menyuguhi kita sebuah menu mengusik aliran dan mengoyak hati bertajuk Kim Ji-young Born 1982. Dalam film yang memancing amarah kaum-kaum pemuja patriarki tersebut, penonton memperoleh sedikit banyak pandangan mengenai kultur di Negeri Gingseng yang seksis dan misoginis terhadap wanita. Karakter utama dalam film tersebut dikisahkan mengidap depresi bukan saja disebabkan oleh melahirkan (dengan kata lain, postpartum depression) tetapi juga akumulasi tekanan demi tekanan dari orang di sekelilingnya selama menahun yang terus direpresinya. Tekanan berwujud memenuhi ekspektasi untuk menjalankan tugas gender secara tradisional dimana perempuan semestinya di rumah alih-alih berkarir, dan tekanan berupa menghadapi cibiran society yang kerap mengecilkan kinerjanya sebagai ibu rumah tangga. Kita ikut nelangsa menyaksikan ketidakadilan yang terus merongrongnya di sepanjang durasi sampai-sampai tak tahan untuk nyeletuk, “gini amat ya hidup di Korea?”. Kenyataannya, persoalan ini tidak semata-mata mendarah daging di Korea dan jamak dijumpai pula di negara-negara Asia lain termasuk Indonesia serta India yang belakangan mulai rajin menyuarakan kritiknya mengenai kesetaraan gender maupun pelecehan melalui medium film layar lebar. Yang terbaru – dan sedikit banyak mempunyai keserupaan dengan ceritanya Mbak Kim – yaitu Thappad (Slap) garapan Anubhav Sinha (Mulk, Article 15) dimana akar permasalahannya bermula dari sebuah tamparan yang tak disangka-sangka di sebuah pesta.

Pada permulaan film, penonton melihat Amrita (Taapse Pannu) dan Vikram (Pavail Gulati) sebagai pasangan yang mesra. Mereka tampak bahagia, saling mengasihi satu sama lain, serta serba berkecukupan secara finansial. Bahkan, keduanya tengah bersiap-siap untuk pindah ke London alasannya Vikram dikabarkan akan menerima promosi dari kantornya yang hendak menempatkannya di cabang Inggris. Usai sebuah presentasi yang berjalan secara sukses, jalan Vikram untuk mendapatkan posisi impiannya tersebut semakin bersinar jelas. Guna merayakan kesuksesannya, ia pun meminta Amrita beserta ibunya, Sulekha (Tanvi Azmi), dan ajudan rumah tangganya, Sunita (Geetika Vidya Ohlyan), untuk mempersiapkan pesta di rumah. Untuk sesaat, pesta yang dipersiapkan secara mendadak ini berlangsung meriah… sampai lalu Vikram mendapatkan kabar jelek dari atasannya yang disampaikan melalui telepon. Tak ada karir di London alasannya satu dan lain hal. Vikram yang hancur lebur pun tersulut api amarahnya tatkala mengetahui rekan kerjanya ternyata terlibat dalam penggagalan promosinya, dan mereka bertengkar di pesta. Amrita yang berniat melerai dengan mengajak pergi sang suami justru ikut ketiban sial. Tamparan ahli mendarat di pipinya yang seketika membuatnya terguncang. Senyum yang selama ini terus mengembang di wajahnya tak lagi ada, tergantikan oleh raut muka penuh kesedihan, kekecewaan, serta amarah yang bercampur menjadi satu. Dia bahkan enggan untuk berbincang dengan suaminya yang tak pernah sekalipun meminta maaf kepadanya. Saat Amrita menyadari bahwa Vikram tidak pernah menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya, protagonis kita ini lantas mengambil satu keputusan besar dan berani: ia berniat menggugat cerai suaminya.


Yang lantas menjadi kendala – inilah persoalan paling genting yang dihadapi si aksara utama – adalah, Amrita dianggap tidak memiliki alasan cukup kuat untuk berpisah dari suaminya. Di mata ibu mertuanya, begitu juga dengan ibunya sendiri, Sandhya (Ratna Pathak Shah), Amrita “gres” mendapat satu tamparan dan pertengkaran dalam rumah tangga yaitu masalah yang masuk akal. Terlebih, Vikram sedang mengalami persoalan berat pada malam itu. Di titik ini, kita lalu mendapati sebuah citra yang merobek hati. Gambaran yang berbanding lurus dengan realita. Meski para perempuan yang berada di sekeliling Amrita termasuk tetangganya yang menentukan untuk tidak menikah lagi selepas maut sang suami, Shivani (Dia Mirza), berusaha menawarkan simpatinya kepada sang protagonis, mereka ironisnya malah menormalisasi tindakan Vikram dengan beragam dalih. Mereka terus mendesaknya untuk memperbincangkan dilema ini dengan sang suami, ketimbang mencoba membaca situasi memakai kacamata Amrita dan menilai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai satu problematika yang semestinya ditanggapi serius. Yang tidak diketahui oleh karakter-aksara ini, tapi diketahui dengan baik oleh penonton, dua aksara sentral sudah pernah duduk bersama usai insiden tamparan yang divisualisakan dengan sangat mendebarkan oleh Anubhav Sinha hingga hamba ikutan shock di adegan tersebut. Hasilnya? Ego Vikram menghalanginya mengucap “saya minta maaf” dan ia nyerocos ihwal ke-aku-annya tanpa pernah sekalipun menanyakan perasaan istrinya yang ikut terseret sebagai korban kemarahannya. Sangat menyebalkan, memang. Ada kalanya aku ingin menenggelamkannya ke dasar Samudra Atlantik utamanya setiap kali dia memaksa istrinya yang minggat ke rumah orang tuanya untuk balik ke pangkuannya. Apalagi beliau selalu memberi label “drama queen” kepada Amrita dalam setiap perdebatan.

Akan tetapi, apa yang lalu membuat Thappad terasa sangat mengikat disamping cara penyajian sang sutradara yang mengondisikan film untuk melaju bergegas dan sarat dialog-obrolan menampar mengenai posisi perempuan dimana kita kerap disodori langgar argumentasi – salah satu pemicunya berasal dari pengacara Amrita, Netra (Maya Sarao) – ialah keengganan film untuk semata-mata menyalahkan kaum laki-laki. Ketimbang menelurkan kesimpulan berbunyi “lelaki adalah sumber masalah”, film memberi kesempatan bagi penonton untuk membuka ruang diskusi bersama pasangan, orang tua, teman, maupun publik selepas menonton. Thappad memang menempatkan Vikram sebagai antagonis utama. Kita pun berjumpa dengan beberapa aksara laki-laki yang bertindak semena-mena terhadap perempuan. Namun, film juga memunculkan sosok penyelamat dalam rupa seorang ayah, Sachin (Kumud Mishra), serta sosok pemberat masalah dalam rupa dua orang ibu. Dalam artian, tidak ada keberpihakan gender dan film mencoba berargumentasi dengan menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Amrita memanglah sungguh pelik. Tidak mampu disederhanakan sebagai “perempuan vs pria” alasannya adalah kalau ditelusuri lebih jauh, patriarki turut berkenaan dengan kultur, tradisi turun temurun, sampai pola latih. Ini sudah sangat mengakar sampai pada tahapan para perempuan mewajarkan dan tulus adanya KDRT. Itulah mengapa mirip halnya Amrita yang penulisan karakternya memudahkan kita untuk bersimpati berkat kesediaannya untuk melawan ketimbang mendapatkan keadaan, Vikram pun sejatinya karakter yang kompleks karena dia tumbuh berkembang bersama keluarga yang tak pernah mengajarinya untuk menghargai wanita dan menjunjung tinggi toxic masculinity. Dia mengasihi Amrita, ia juga mengasihi ibunya, tapi dia kebingungan dalam menyuarakannya. Tentu ini bukan dimaksudkan untuk menjustifikasi perbuatannya, melainkan demi memberi petunjuk mengenai asal mula munculnya tamparan.


Ini menarik, dan sungguh setiap karakter dalam Thappad memiliki latar belakang yang sama menariknya. Entah itu Shivani yang bersikukuh mempertahankan status jandanya, Netra yang karirnya dibayang-bayangi oleh nama besar sang suami, Sunita yang saban hari ditampar suaminya, Sandhya yang memegang berpengaruh prinsip tradisional mengenai peranan wanita dalam rumah tangga, dan Swati (Naila Grewal), ipar Amrita, yang enggan tunduk pada kultur yang memberatkan posisinya sebagai perempuan. Kesemuanya menerima kesempatan untuk dieksplorasi dengan cukup baik dalam rentang waktu 141 menit sehingga keberadaan mereka tidak semata-mata berakhir sebagai hiasan semata, tapi ikut menguatkan karakteristik Amrita. Dia mendapatkan dampak dari mereka, ia juga menawarkan efek bagi mereka. Sebagai penonton, saya pun mau tak mau ikut terpengaruh apalagi Amrita dimainkan dengan sangat brilian oleh Taapse Pannu. Sejak awal film, aku sudah dibentuk jatuh cinta oleh pembawaannya yang gampang disukai. Dia ramah, ia selalu tersenyum, dan ia terlihat lapang dada menjalani rutinitasnya. Maka begitu tamparan tersebut mendarat di pipinya, hati ini pun ikut retak acak-acakan dibuatnya. Selama sisa durasi, tak ada yang mampu dilakukan kecuali memperlihatkan santunan kepadanya sekalipun jalannya tampak terjal dan mustahil. 

Kesanggupan saya untuk menginvestasikan emosi kepada Amrita menjadi landasan lain mengapa Thappad bisa sebegitu mengikat. Kita ingin memegang akrab tangannya, kita ingin memeluknya, dan kita ingin mendengar segala keluh kesahnya. Ketika Amrita kesannya “meledak” secara elegan di depan ibu mertuanya dalam syukuran kehamilan – aku mesti bilang, ini yakni adegan emas dalam film – hamba pun bercucuran air mata. Taapse Pannu betul-betul tampil meyakinkan sebagai seorang istri yang kebahagiaan dan hak untuk dihormatinya dirampas secara paksa, begitu pula dengan seluruh pelakon dalam Thappad yang layak disebut sebagai film penting ini. Sebuah film yang tak saja menawarkan deskripsi tepat sasaran mengenai satu realita pahit yang mudah pula dijumpai di Indonesia, tetapi juga membuka mata mengenai ketidakadilan yang dilanggengkan dan menguatkan para perempuan dengan menyatakan harapan masih ada selama ada harapan untuk memperjuangkannya. Go watch it!

Outstanding (4/5)


Post a Comment for "Review : Thappad"