Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Terbang Menembus Langit


“Beranikan hati. Raihlah kebebasan kau. Terbang, terbang setinggi-tingginya.” 

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, nama Onggy Hianata memang tidak terdengar familiar. Membutuhkan jasa teknologi canggih yang disebut Google untuk mengetahui latar belakang dan profesi dari pemilik nama tersebut. Dari hasil berselancar ke dunia maya – mengunjungi satu demi satu web dan blog yang membahas wacana Onggy – saya memperoleh satu kesimpulan bahwa Onggy merupakan seorang motivator keturunan Tionghoa asal Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebarkan pengalamannya selama merintis karir sebagai pebisnis melalui acara bernama Value Your Life: A Life Changing Bootcamp. Beliau telah melanglang buana (ruang lingkupnya telah berada di taraf internasional) demi memotivasi para pebisnis pemula supaya mereka menerima iktikad diri dan keberanian dalam membangun kerajaan bisnis. Yaaaa kurang lebih seperti Merry Riana atau Mario Teguh lah. Kepenasaran aku untuk mengetahui sosoknya dilandasi oleh keputusan Demi Istri Production menitahkan Fajar Nugros (Moammar Emka’s Jakarta Undercover, 7/24) untuk menggarap film bertajuk Terbang: Menembus Langit yang guliran penceritaannya didasarkan pada cerita hidup Onggy Hianata. Saya dibuat bertanya-tanya, “apa sih yang begitu istimewa dari kehidupan sang motivator sampai-sampai dirasa perlu untuk diangkat ke dalam format film layar lebar?.” 

Well, jalan hidup Onggy Hianata (Dion Wiyoko) yang penuh lika-liku harus diakui merupakan sebuah bahan yang seksi untuk difilmkan. Seorang pebisnis sukses yang memulai karirnya dari nol. Dia berasal dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang miskin di Tarakan, memiliki delapan saudara, dan nyaris tidak mampu mengenyam kursi pendidikan sebab kedua orang tuanya terhimpit secara finansial. Sang ayah (Chew Kin Wah) hanyalah pekerja di toko kelontong, sementara ibunya (Aline Adita) mengurus rumah tangga. Selepas meninggalnya sang ayah, kedua kakak Onggy (Baim Wong dan Delon Thamrin) yang bertugas dalam menafkahi keluarga. Onggy sendiri memilih untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari jurang kemiskinan dengan cara mencari peruntungan di perantauan. Bermodal nekat, Onggy pun meninggalkan kampung halamannya dan bertolak menuju Surabaya – suatu kota yang sering dijadikan sebagai destinasi andalan oleh para perantau di kotanya. Tanpa uang saku dari kedua kakaknya, Onggy membiayai kuliah sekaligus menyambung hidup dengan menjadi distributor apel ke toko buah, menjual jagung bakar, memproduksi kerupuk, sampai kesannya bekerja sebagai pegawai di pabrik pembuatan benang. Penghasilan tetap yang diperolehnya di pabrik ini nyatanya tak lantas menciptakan Onggy bahagia alasannya beliau menyadari bahwa menjadi budak korporat bukanlah mimpinya. Dia ingin memperoleh kebebasan penghasilan dari perjuangan yang dibangunnya sendiri, bukan bergantung dari perjuangan yang dibangun oleh orang lain.


Menyoroti sepak terjang Onggy dalam mengentaskan dirinya, keluarganya di Tarakan, dan keluarga kecil yang gres dibinanya bersama sang istri, Candra (Laura Basuki), dari penderitaan hidup yang disebabkan kemiskinan, bahan dialog yang disodorkan Terbang: Menembus Langit berkisar pada keberanian dalam menggapai mimpi, kekuatan tekad, serta kerja keras. Ini yaitu modal utama yang diharapkan untuk mengkreasi sebuah film biopik yang inspiratif. Entah kalian suka atau tidak dengan pilihan kata ‘inspiratif’ yang kerap digunakan secara sembrono oleh sineas-sineas Indonesia demi jualan film asal bikin, kata ini nyatanya terasa tepat untuk mendeskripsikan seperti apa Terbang: Menembus Langit. Sebuah film yang akan menggugah semangatmu ketika melangkahkan kaki ke luar bioskop untuk memperbaiki kualitas diri sekaligus mengoreksi etos kerja demi menerima kehidupan yang lebih baik. Penceritaannya memang tidak selalu mulus, seperti kehidupan subjeknya. Problematika paling mencolok kentara terasa abad menjelang klimaks yang cenderung tergesa seakan-akan ingin cepat tuntas sampai lupa menjabarkan satu pekerjaan baru yang dikejar-kejar oleh Onggy termasuk bagaimana sistem penggajiannya (alasannya ada kalanya beliau tampak tak menerima hasil apapun) dan meminggirkan subplot terkait kerusuhan Mei 1998 yang sejatinya mempunyai potensi dramatik menarik ketika dikulik (semacam, apa impak peristiwa ini pada Onggy dan keluarganya?) terlebih film pun sejatinya ingin berceloteh soal kebhinekaan Indonesia. 

Andai Terbang: Menembus Langit berkenan memperpanjang durasinya, lalu mengupas ini lebih tuntas, memperlihatkan bagaimana Onggy sebagai keturunan Tionghoa dapat bertahan di kurun orde baru yang sarat diskriminasi, dan memberi kita gambaran lebih utuh mengenai pekerjaan yang membawa Onggy pada era kejayaannya, film mampu jadi akan tersaji lebih menggigit. Bahkan dengan adanya ganjalan di penghujung pun, Terbang: Menembus Langit masih bisa terhidang sebagai film biopik yang cukup memuaskan berkat kombinasi serba apik dari pengarahan Fajar Nugros, elemen teknis yang menyokongnya, serta performa jajaran pelakonnya. Di sini, kau akan mendapati nuansa pekat dari era 80-90’an yang dipancarkan melalui pilihan busana, tata rias, sampai artistik, dan atraksi akting mengagumkan yang menggerakkan film. Dion Wiyoko sebagai Onggy yang dikenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya yaitu pilihan yang sempurna alasannya adalah dia sanggup membawa kita melewati aneka macam fase emosi; kita kecewa dan terpuruk bersamanya, kemudian kita yakin dan bersorak kepadanya. Keinginan kita pun sejalan dengannya, ialah melihat Onggy merasakan manisnya buah kerja keras. Beruntung bagi Dion, ia mempunyai lawan main yang mumpuni seperti Chew Kin Wah bersama Aline Adita sebagai orang tuanya yang menyuplai sisi haru berikut rasa hangat, kemudian kuartet penghuni kos-kosan (Dayu Wijanto, Indra Jegel, Mamat Alkatiri, Fajar Nugra) yang memberi sejumput gelak tawa mengasyikkan pada film, dan Laura Basuki yang merupakan bintang bahu-membahu dari film ini.


Laura bertransformasi dengan amat meyakinkan sebagai Candra – lengkap dengan aksen Cina Suroboyoannya – yang menyediakan harapan hidup bagi Onggy. Sesosok perempuan besar lengan berkuasa yang senantiasa memberi dorongan untuk suaminya sekalipun keputusan Onggy yang berani (bila tak mau disebut nekat) seringkali menempatkan mereka pada posisi sulit. Adegan yang berlangsung di kontrakan, mirip saat Candra meluapkan kekecewaannya yang begitu mendalam atas pilihan suaminya atau dikala kandungannya bermasalah atau abad Rich (putra mereka yang masih bayi) merengek kepanasan, memperlihatkan range emosi seorang Laura yang luas. Apakah ini akting terbaik sepanjang karirnya? Dapat dikatakan demikian. Chemistry yang dirajutnya bersama Dion pun tak kalah apiknya. Membuat kita cukup mampu memaafkan pergerakan cerita yang tergesa di paruh tamat (sungguh ini sayang sekali), menciptakan kita bersedia mendengarkan cerita hidup Pak Onggy beserta Bu Candra, menciptakan kita rela dihanyutkan ke dalam cerita mereka yang terkadang hangat terkadang lucu terkadang pilu, menciptakan kita berharap mereka berhasil menggapai mimpi mereka, dan pada balasannya membuat kita terinspirasi untuk mencetak cerita sukses yang serupa. Performa Dion-Laura yang mempunyai emosi sedemikian besar lengan berkuasa terperinci berkontribusi banyak terhadap Terbang: Menembus Langit sehingga film dapat terbang cukup tinggi meninggalkan film-film sejenis seperti Menebus Impian (2010) atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2014) contohnya.

Exceeds Expectations (3,5/5)

Post a Comment for "Review : Terbang Menembus Langit"