Review : Spider-Man: Homecoming
"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it." Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah jawaban sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia keuntungan-keuntungan, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kau rajin mengikuti perkembangan info film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan biar Spider-Man mampu melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas janji kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si insan keuntungan-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey karenanya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming.
Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang cukup umur SMA berusia 15 tahun yang mempunyai otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers balasan perbedaan prinsip mirip diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun menentukan beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan impian suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang usang, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan agresi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan dukungan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya pertanda kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.
Hanya butuh tiga karakter untuk mendeskripsikan mirip apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, hidangan rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup menunjukkan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga gampang untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut aku, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens tabrak yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi hero kita bersama ini yang menciptakan perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen tabrak mendebarkan yang mencuri atensi aku secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, saat si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi tamat yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka.
Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka sampai penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan memakai pendekatan film dewasa 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, kemudian Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film sampaumur pencarian jati diri terbilang masuk nalar karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas akil balig cukup akal kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan legalisasi) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat eksistensi Tony Stark di sisinya pun sangat mampu dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero cukup umur yang masih labil sehabis selama ini kita lebih sering menyaksikan agresi para superhero akil balig cukup akal yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur?
Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey masa beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut menerima sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton ialah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di dikala bersamaan menyelidiki motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon yakni seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai sahabat sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May ialah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam tugas singkat yang bikin gemes!) yang menciptakan film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming mirip halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta periode mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan gres tak terbayangkan sebelumnya.
Note : Pastikan kau bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan pelengkap tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.
Outstanding (4/5)
Post a Comment for "Review : Spider-Man: Homecoming"