Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Review : Shazam!


“Hey, what's up? I'm a superhero.”

Sebagai seseorang yang tidak pernah mampu cocok dengan gelap-gelapan ala DC Extended Universe (DCEU), aku tentu bersorak bahagia begitu mengetahui bahwa mereka telah mempertimbangkan untuk ganti haluan. Dimulai dari Wonder Woman (2017) yang mengedepankan info women empowerment dengan penuh suka cita kemudian disusul oleh Aquaman (2018) yang mengambarkan bahwa “norak” tidak selalu berarti negatif, sekarang DCEU menghadirkan sebuah superhero movies yang paling ramah penonton cilik, Shazam! Tak seperti rekan-rekan sejawatnya dari semesta serupa yang mempunyai nama besar, Shazam! bukanlah pahlawan yang dielu-elukan oleh generasi muda masa kini. Bahkan tak sedikit pula yang bertanya-tanya, “siapakah sih ia sesungguhnya?”.  Padahal aksara berjulukan asli Captain Marvel ini (well, setidaknya di awal kemunculannya sebelum kemudian diubah demi menghindari konflik dengan tetangga) telah diperkenalkan sedari tahun 1939 dan konon pernah pula disejajarkan dengan popularitas Superman. Versi layar lebarnya pun sejatinya sudah dipersiapkan sedari awal 2000-an tapi terus terkatung-katung selama bertahun-tahun lamanya yang salah satu sebabnya dipicu oleh ambisi Warner Bros. untuk menghadirkan nada penceritaan yang bermuram durja (!). Usai mengalami banyak sekali pengembangan sekaligus perombakan di sejumlah sektor, Shazam! yang ditangani oleh David F. Sandberg (Lights Out, Annabelle Creation) ini jadinya diputuskan untuk dilepas sebagai tontonan dengan warna pengisahan mengikuti materi sumbernya. Itu berarti, bersinonim erat dengan kata sifat berbunyi: cerah ceria, kocak, serta penuh dengan kegembiraan. Tiga hal yang memang acapkali saya harapkan bisa diperoleh dari superhero movies.

Berhubung ada berbagai penonton film di dunia yang belum ngeh dengan Shazam!, maka tentu saja instalmen pembuka ini difungsikan sebagai origin story yang menginformasikan penonton dengan jati diri sang hero. Kita dipertemukan kepada seorang bocah berusia 14 tahun berjulukan Billy Batson (Asher Angel) yang hidupnya berpindah-pindah dari satu rumah bimbing ke rumah didik lain pasca ditelantarkan oleh kedua orang tuanya. Dia mengalami krisis kepercayaan kepada orang tua angkatnya dan sangat berdedikasi dalam mencari eksistensi sang ibu yang diyakininya masih menyayanginya. Dalam pencarian terbarunya, Billy bahkan bertindak nekat dengan mempermainkan dua polisi yang tak ayal mendorong petugas bantuan anak untuk mencarikan keluarga baru bagi bocah bengal ini. Billy pun dititipkan ke satu keluarga yang konfigurasinya terdiri atas belum dewasa adopsi. Meski Billy sendiri memperlihatkan sikap hirau tak hirau, keluarga anyarnya ini justru menyambutnya dengan hangat terutama teman sekamarnya, Freddy Freeman (Jack Dylan Grazer), yang digambarkan sebagai penggila superhero. Ketidakpedulian Billy terhadap Freddy lantas berubah secara perlahan tapi pasti setelah beliau mengalami insiden abnormal dalam pelariannya menggunakan kereta api bawah tanah. Alih-alih tiba di stasiun tujuan, ia justru dibawa menuju Rock of Eternity dimana dia berkomunikasi dengan seorang penyihir (Djimon Hounsou) yang datang-tiba menyerahinya dengan kekuatan abnormal. Billy mampu menjelma pria bertubuh kekar (Zachary Levi) yang dikaruniai beberapa jurus seperti berlari dengan sangat cepat maupun mengeluarkan petir setiap dia mengucap mantra berbunyi “shazam!”. Dilingkupi rasa senang dan resah di waktu bersamaan, Billy pun meminta pinjaman Freddy untuk memandunya semoga ia bisa bertindak selayaknya superhero sejati.


Ditinjau dari sisi penceritaan, Shazam! sebetulnya tak menawarkan pembaharuan. Si pembuat film masih patuh dalam mengikuti pola sebuah origin story dimana narasi lebih menekankan pada pencarian jati diri dari karakter satria bersangkutan. Atau lebih spesifiknya, film mengaplikasikan tema “from zero to hero”. Klasik? Memang benar adanya. Tapi seperti kita tahu bersama, bukan soal inspirasi ceritanya “segar atau usang” yang lalu menjadi faktor penentu utama apakah suatu film dapat terhidang secara istimewa. Kunci paling krusial terletak pada hukuman. Siapa yang menduga jikalau kemudian seorang David F. Sandberg yang lebih dikenal sebagai sineas horor ternyata bisa menghadirkan Shazam! sebagai sebuah tontonan kepahlawanan yang ciamik? Bagi mereka yang mendamba tontonan superhero sangat teramat serius dan penuh filosofi apalah-apalah seperti para petinggi di Warner Bros. yang referensinya ialah trilogi The Dark Knight kepunyaan Christopher Nolan, maka bersiaplah untuk mengomel-ngomel sebab Sandberg tidak berniat sedikitpun mengarahkan film ke mode penceritaan tersebut. Menilik latar belakang si aksara tituler yang sejatinya sangat konyol (berlandaskan premis “bagaimana alhasil jika bocah berusia 14 tahun datang-datang mampu berubah jadi pendekar super?”), sudah barang tentu agak mustahil melihatnya dilantunkan tanpa taburan humor melimpah. Dan memang, film ini pun tidak pernah diniatkan untuk menganggap dirinya secara serius. Ada berbagai kegembiraan tersaji di setiap menitnya yang disebabkan oleh banyolan-lelucon sarat referensi budaya terkenal, banyolan bersifat slapstick, dan interaksi Shazam-Freddy dengan tingkah laku norak yang menciptakan diri ini berulang kali tergelak-gelak secara lepas.

Sensitivitas Sandberg dalam merancang elemen-elemen komedik menjadi satu alasan mengapa setiap humor yang dilontarkan di aneka macam kesempatan dapat mengenai target. Alasan lainnya dipengaruhi oleh performa jajaran pemain yang patut kita beri tepuk tangan meriah mirip Zachary Levi, Jack Dylan Grazer, Asher Angel, Faithe Herman sebagai si kecil Darla yang sangat teramat ceriwis (namun sangat menggemaskan!), serta Mark Strong yang diserahi tugas untuk melakonkan sang villain bernama Dr. Thaddeus Sivana. Mereka terlihat sangat menikmati peran masing-masing khususnya Levi yang kentara bersenang-bahagia sebagai Shazam yang masih memberikan kepolosan cara berpikir bocah berusia 14 tahun, dan Grazer yang membentuk chemistry asyik bersama Levi. Berkat interpretasi tugas keduanya, kita bisa melihat Billy (dalam tubuh Shazam) beserta Freddy mirip dua bocah yang gres saja diberi mainan gres. Alih-alih memikirkan “bagaimana cara kita menyelamatkan dunia?” yang menurut Billy merupakan tanggung jawab Superman dan Batman, mereka lebih menentukan mendayagunakan kekuatan Shazam untuk bermain-main. Mereka rekam segala kegiatan uji coba kekuatan si jagoan, kemudian mengunggahnya ke Youtube. Seperti bisa diterka oleh siapapun, sosok Shazam segera menjadi bahan perbincangan di jagat maya dan jagat nyata dalam film yang bahu-membahu tidak lagi menganggap superhero sebagai suatu keajaiban. Seiring semakin meroketnya popularitas si pendekar, korelasi persahabatan diantara Billy dengan Freddy pun terkena dampaknya yang sebagian besar disebabkan oleh keserakahan. Billy yang tak pernah menerima perhatian orang tua berniat mengarahkan semua lampu sorot dari publik kepadanya. Dia membutuhkan pengesahan, ia menganggap dielu-elukan masyarakat sama artinya dengan memperoleh kasih sayang. Tapi benarkah demikian?


Dari sini, aku mulai menyadari bahwa Shazam! tidaklah seceria mirip terlihat di permukaannya dan tidak pula sesederhana “tontonan lucu-lucuan”. Ini adalah sebuah kisah perihal orang-orang yang terbuang, manusia-manusia kesepian, dan mereka yang tak mampu mengikhlaskan periode lalu. Terdengar suram? Memang begitu adanya, walau Shazam! sendiri enggan untuk mengeksploitasinya dan lebih menentukan untuk menghantarkan pesan aktual yang membuatnya terasa seperti film keluaran Disney atau sajian coming of age dari periode 80-an. Pesan yang dimaksud berkenaan dengan tanggung jawab, bersikap baik kepada sesama, hingga pentingnya menjaga hubungan harmonis dalam keluarga. Guna menyampaikan pesan ihwal keluarga, penonton diberi studi kasus dalam wujud kala kecil Thaddeus yang sekaligus berfungsi untuk memberinya motivasi mengenai tindakan kejinya. Ada rasa benci kepadanya, ada pula rasa iba alasannya adalah kita melihat dia telah diperlakukan tidak manusiawi oleh keluarga inti yang seharusnya memberi tunjangan moril. Yang lalu menjadi pertanyaan ialah, bisakah kita memafhumi tindakannya? Berkaca pada apa yang juga dialami oleh Billy, jawabnya tentu tidak. Si pembuat film memang ingin berseru “wahai orang renta, tolong jangan lakukan ini kepada anak kalian!” tapi di waktu bersamaan beliau pun ingin mengingatkan para anak bahwa mereka juga memiliki andil dalam memilih abad depan sendiri. Alhasil, kesalahan tak mampu sepenuhnya dialamatkan kepada orang tua apabila mereka tersungkur akibat ketidakmampuan untuk memaafkan era lalu. Sungguh deep deep gimanaaa gitu yaa?

Note : Ada dua adegan bonus dalam Shazam! yang lokasinya terletak di sela-sela end credit dan penghujung durasi. Bertahanlah, bertahanlah.

Outstanding (4/5)  


Post a Comment for "Review : Shazam!"